KPK: SPDP Sudah Dikirim ke Rumah Setya Novanto 3 November

Namun, penetapan tersangka ini tidak diterima oleh pihak Setya Novanto.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 10 Nov 2017, 17:57 WIB
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP. KPK pun telah mengantarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Setya Novanto di kediaman pribadinya.

"Telah mengantar surat pada 3 November perihal SPDP, diantar ke rumah SN (Setya Novanto) di Wijaya, Kebayoran Baru pada sore hari," kata Wakil Ketua KPK Saut Sitmorang di Gedung KPK, Jumat (10/11/2017).

Saut mengatakan, proses pemeriksaan saksi telah dilakukan pada tahap penyidikan dengan unsur anggota DPR, swasta, hingga pejabat kementerian.

Dia mengatakan, Setya Novanto disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 sub Pasal 3 UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Namun, penetapan tersangka ini tidak diterima oleh pihak Setya Novanto. Melalui pengacaranya, Fredrich Yunadi, politikus Partai Golkar itu menyatakan perlawanannya.

"Kami akan melaporkan KPK ke Bareskrim Polri malam ini dengan dasar melawan keputusan praperadilan Setya Novanto. Terkait rilis KPK sore ini (penetapan Setnov tersangka) itu hak mereka. Cuma yang kami bawa bukan soal rilis KPK," kata Fredrich kepada Liputan6.com, Jumat petang.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Penetapan Tersangka

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus megakorupsi KTP elektronik (e-KTP).

Status tersebut diumumkan pada Jumat (10/11/2017) di Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan.

"Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan KPK, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum melakukan gelar perkara pada 28 Oktober KPK menerbitkan sprindik atas nama tersangka SN, sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

KPK menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) pada 31 Oktober 2017.

Kasus ini diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari total paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya