Kisah Pilu Bocah 12 Tahun Berbobot 8,5 Kilogram

Anisa kini telah berumur 12 tahun. Namun, bobot tubuhnya hanya 8,5 kilogram, setara dengan bayi 1 tahun.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 11 Nov 2017, 10:00 WIB
Prihatin mengggendong anaknya, Anisa yang berusia 12 tahun dan hanya berbobot 8,5 kilogram. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Anisa tampak nyaman dalam di gendongan sang kakak, Nabila (16). Siang itu, Anisa banyak tidur. Beberapa hari terakhir, bocah mungil itu terserang pilek. Ia lebih banyak digendong ibunya, Prihatin (39) atau Nabila, kakak satu-satunya.

Seperti biasanya, usai pulang sekolah, Nabila mengajak Anisa bermain ke rumah tetangganya, berbaur dengan anak-anak lain. Anisa pun tampak riang. Ia melambaikan tangan. Bermain tos-tosan dan salaman, serta tertawa gembira.

Bagi seluruh tetangganya, Anisa adalah adik terkecil mereka. Mereka biasa bergantian menggendong Anisa yang hingga menjelang usia remaja baru bisa duduk. Teman-temannya tetap menganggap Anisa sebagai adik. Mereka memanggilnya dengan panggilan kesayangan, "Dek", meski umur Anisa sebenarnya jauh di atas.

Sebenarnya, bocah bernama lengkap Alsa Anisa ini telah berumur 12 tahun. Namun, entah kenapa, bobot tubuhnya hanya 8,5 kilogram, setara dengan bayi berumur 1 tahun.

Prihatin menuturkan, Anisa tumbuh normal pada awal kelahirannya pada 2005. Namun, di usia enam bulan, Anisa terserang demam tinggi berulang kali. Anisa sempat dilarikan ke mantri kesehatan dan puskesmas.

Namun, setelah sembuh, Anisa seperti tak memiliki daya dan nyaris tak pernah bergerak. Pertumbuhan tubuhnya pun seolah terhenti. Ia menduga, anaknya menderita gizi buruk.

Tak hanya itu, Anisa mulai kehilangan daya penglihatan di usia sekitar 1 tahun. Mata bocah mungil yang tadinya normal, tutur Prihatin, kerap bergerak tak beraturan, dan tampak juling (stratibmus). Perlahan, kedua mata Anisa tak merespons gerakan di depannya. Anisa, hampir buta.

“Kalau sedang sakit maunya digendong terus. Saya menjahit pun harus sambil menggendong,” ucap Prihatin, ketika ditemui di rumahnya di Rejamulya, Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Kamis, 9 November 2017.

Rumahnya amat sederhana. Dinding, terbuat dari anyaman bambu dan papan. Bangunannya menempel di tembok belakang rumah adik suaminya, yang nasibnya lebih beruntung. Ukuran rumahnya pun mungil, hanya 4x7 meter. Terdiri dari satu kamar, dapur, dan ruang tamu merangkap ruang menjahit.

Prihatin kelihatan repot meluruskan kain jahitan borongan di mesin jahit pinjaman bosnya dengan tangan kiri. Adapun tangan kanannya, menjaga Anisa agar tak sampai terjembab dari gendongan. Tetapi, itu harus dilakukannya untuk mengejar setoran. Jika berhenti, setoran mingguannya bisa tekor.

 


Kehabisan Harta untuk Biaya Berobat

Di rumah ini, Prihatin dan dua anaknya, Nabila dan Anisa, tinggal. Sementara, suaminya merantau ke Jakarta sebagai buruh bangunan. (Foto: Liputan6.com)

Ia pun mengaku amat merasa tertolong ketika saudara, tetangga atau bahkan anak-anak tetangga, mengajak Anisa bermain. Kesempatan itu digunakan untuk mempercepat menyelesaikan orderan jahit. Itu dilakukan untuk membantu suaminya, Sarimin (45) yang merantau ke Jakarta sebagai buruh bangunan.

Anisa telah diobati di mana-mana dan menghabiskan biaya yang tak sedikit. Tak terhitung banyaknya Anisa diperiksa mantri, dokter puskesmas, hingga dokter spesialis di rumah sakit. Namun, penyakitnya tak lantas sembuh, meski harta Prihatin dan Sarimin nyaris kandas.

Prihatin mengaku kesulitan memeriksakan Anisa dan mengantarkannya terapi medis rutin. Ia mengaku tak lagi memiliki lagi biaya untuk berobat, apalagi ke Rumah Sakit Sarjito Yogyakarta, yang beberapa kali sudah dilakukan. Ia pun lantas pasrah dan menerima nasib untuk merawat anaknya yang disebut banyak orang sebagai bocah kerdil itu.

“Sudah, saya ke Yogyakarta. Dipijet-pijet. Kalau ada uang itu. Tetapi, setelah dipikir-pikir, sudah begini saja. Ya sudah pasrah sajalah,” ucapnya.

Prihatin mengemukakan, ia adalah pemegang Kartu BPJS (PBI). Namun, kartu itu tak banyak membantunya untuk mengobati Anisa. Sebab, untuk melakukan terapi, ia harus ke RS Sarjito Yogyakarta yang jaraknya ratusan kilometer dari desanya. Tentu, hanya untuk biaya transportasi saja membutuhkan biaya, yang bagi keluarga Prihatin, amat berat.

“Mungkin kalau berobatnya gratis. Tapi ongkos menunggu berobatnya kan biayanya banyak juga. Terus terang sudah berat sekali kalau dari Cilacap,” Prihatin menerangkan.

Namun, ia tak lantas tinggal diam meski tak lagi memiliki biaya. Ia memilih untuk mengobati anaknya secara tradisional dengan cara dipijat dan diberi berbagai ramuan. Belakangan, Anisa mulai mau makan, selain bubur bayi. Bagi Prihatin, itu adalah perkembangan yang luar biasa. Sebab, selama 12 tahun terakhir, bocah mungil hanya mau makan bubur bayi.

Prihatin menambahkan, saat ini Anisa mulai terlihat aktif dan mau berkomunikasi dengan orang lain. Namun, Anisa belum bisa mengucapkan banyak kata dan kalimat, meski itu sudah cukup membahagiakan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya