Operasi Rig di AS Bertambah Bikin Harga Minyak Turun

Perusahaan di Amerika Serikat (AS) menambah rig minyak menjadi katalis negatif untuk harga minyak.

oleh Agustina Melani diperbarui 11 Nov 2017, 06:01 WIB
Ilustrasi Tambang Minyak (iStock)

Liputan6.com, New York - Harga minyak sedikit turun seiring harapan OPEC dan produsen lainnya akan perpanjang kesepakatan pemotongan produksi diimbangi dengan produsen minyak Amerika Serikat (AS) yang menambah rig minyak. Ini menunjukkan produksi minyak akan terus bertambah.

Berdasarkan laporan perusahaan energi General Electric Co Baker Hughes, perusahaan energi AS menambah sembilan rig pengeboran minyak pada pekan ini. Hal itu mendorong jumlah rig mencapai 738.

Harga minyak Brent pun turun 41 sen atau 0,6 persen menjadi US$ 63,52 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) susut 43 sen menjadi US$ 56,74 per barel.

Awal pekan ini, harga minyak Brent naik menjadi US$ 64,65, dan merupakan level tertinggi sejak Juni 2015. Harga minyak WTI mencapai US$ 57,92 tertinggi sejak Juli 2015. Harga minyak tersebut naik lebih dari dua persen dalam minggu ini.

Pelaku pasar menilai, kenaikan harga minyak dalam beberapa pekan terakhir merupakan hasil usaha yang dipimpin the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan Rusia untuk memperketat pasar dengan mengurangi produksi, permintaan yang kuat dan meningkatnya ketegangan politik.

Ada juga harapan di pasar kalau pertemuan OPEC berikutnya pada 30 November akan menyetujui untuk memperpanjang pemangkasan produksi di luar batas akhir masa berlaku pada Maret 2018.

"Pelaku pasar memperkirakan OPEC akan memperpanjang penurunan produksi melampaui Maret 2018 dan pasokan akan turun. Namun tingkat harga lebih tinggi juga harus mengarah pada peningkatan produksi shale minyak AS," kata Analis Commerzbank seperti dikutip dari laman Reuters, Sabtu (11/11/2017).

Produksi minyak AS diperkirakan meningkat menjadi 9,2 juta barel per hari pada 2017. Kemudian diperkirakan 10 juta barel per hari pada 2018.

Goldman Sachs juga memperingatkan ada volatilitas harga minyak lebih tinggi ke depan. Ini seiring meningkatnya ketegangan di Timur Tengah terutama antara anggota OPEC Arab Saudi dan Iran. Ini juga bersamaan dengan melonjaknya produksi minyak AS.

Pemimpin Hizbullah mengatakan Arab Saudi telah mengumumkan perang terhadap Lebanon dan kelompoknya yang didukung Iran.

"Situasi politik di Arab Saudi cukup bergejolak untuk menaikkan harga minyak," ujar Jim Ritterbusch, Presiden Direktur Ritterbusch & Associates, perusahaan konsultan energi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Pada Perdagangan Kemarin, Harga Minyak Menguat Imbas Ketegangan di Arab Saudi

Sebelumnya harga minyak mentah dunia naik hampir 1 persen didukung penurunan pasokan dari eksportir utama, serta berlanjutnya kekhawatiran investor tentang perkembangan politik di Arab Saudi.

Melansir laman Reuters, Jumat 10 November 2017, harga minyak mentah Brent naik 59 sen atau 0,9 persen menjadi US$ 64,08 per barel, masih mendekati level tertinggi di posisi US$ 64,65, sejak Juni 2015.

Sementara harga minyak mentah mentah AS naik 46 sen atau 0,8 persen menjadi US$ 57,27, juga mendekati harga di atas dua tahun di level US$ 57,69 per barel.

"Langkah ini didorong oleh perkembangan di Arab Saudi dalam beberapa hari ini dan antisipasi bahwa konsolidasi kekuasaan oleh Raja Salman dan Putra Mahkota akan berlanjut," kata Abhishek Kumar, Analis Energi Senior di Global Gas Analytics Interfax Energy di London.

Arab Saudi berencana untuk mengurangi ekspor minyak mentahnya sebesar 120.000 barel per hari pada Desember dibandingkan November. Langkah ini mengurangi alokasi minyak ke semua wilayah, menurut juru bicara kementerian energi Arab Saudi.

Beberapa pedagang mengatakan, harga minyak mendapat dorongan dari desas-desus yang belum dikonfirmasi bahwa Raja Saudi Salman akan menyerahkan tahta kepada putranya Putra Mahkota Mohammed Bin Salman. Rumor serupa menghantam pasar pada bulan September dan Oktober namun tidak pernah terwujud.

Harga mendapat dorongan awal pekan ini dari tindakan keras pangeran mahkota Arab Saudi terkait korupsi yang mengatakan bahwa dia bertekad untuk merombak negara konservatifnya menjadi negara modern yang tidak lagi bergantung pada minyak.

Analis mengatakan kedatangannya ke takhta akan menambah ketegangan antara Arab Saudi dan beberapa negara termasuk Iran, Lebanon dan Yaman.

Di sisi lain, OPEC akan membahas kebijakan output pada pertemuan di 30 November, dan diperkirakan organisasi ini akan memperpanjang kebijakan pembatasan output di luar batas target mereka pada Maret 2018.

"Dengan kesepakatan OPEC atau non-OPEC di luar perkiraan pada Maret 2018, harga minyak bisa menjadi lebih kuat mencapai kisaran US$ 65 - US$ 70 per barel pada 2018," kata konsultan energi FGE.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya