Liputan6.com, Jakarta - Hingga Senin malam, pasukan Detasemen Khusus (Densus) 88 menjaga ketat kontrakan Eka Fitria Akbar. Pemuda 24 tahun itu adalah satu dari dua terduga pembakar Markas Polres Dharmasraya, yang berlokasi di Jalan Lintas Sumatera KM 200, Gunung Medan, Sumatera Barat.
"Sampai sekarang masih dijaga (polisi)," kata Agus, seorang warga yang tinggal tak jauh dari kontrakan Eka, kepada Liputan6.com, Senin (13/11/2017).
Advertisement
Keterlibatan Eka mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, sehari-hari pemuda yang sudah beristri itu dikenal sebagai sosok yang baik, sopan, juga pendiam. Apalagi, ia diketahui sebagai seorang anak polisi. Ayahnya adalah Kanit Reskrim Polsek Plepat, Polres Muaro Bungo Polda Jambi, bernama Iptu Muhammad Nur.
Secara ekonomi, hidup Eka juga terbilang cukup, meski dia memilih hidup mandiri dan tidak malu berjualan es tebu.
"Saya tahu dia (Eka). Beberapa kali ketemu, saling sapa biasa saja, enggak pernah cerita-cerita," ujar Agus lagi.
Hal lain yang membuat warga tidak habis pikir, jarak antara tempat tinggal Eka dengan Mapolres Dharmasraya tidaklah dekat.
Pemuda yang lahir tahun 1993 itu bersama istrinya tinggal di pusat kota, di kawasan Jalan Damar, Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Rimbo Tengah, Kabupaten Bungo, Jambi. Tak jauh dari Polres Bungo maupun kantor pemerintah setempat.
Adapun Mapolres yang dibakar berada di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, yang harus ditempuh dua jam perjalanan darat dari Kabupaten Bungo.
Eka sehari-hari diketahui berjualan es tebu di sebuah persimpangan di Kota Muara Bungo, ibu kota Kabupaten Bungo. Sehingga, warga pun tidak menaruh curiga dengan pergerakannya.
Eka bersama rekannya yang juga dari Jambi, Enggria Sudarmadi (25), membakar Mapolres Dharmasraya pada Minggu, 12 November 2017, pukul 02.45 WIB.
Aksi keduanya diketahui setelah petugas pemadam kebakaran, yang datang ke lokasi untuk memadamkan api, melihat dua orang berbaju hitam yang memegang busur panah berada di sekitar markas Polres Dharmasraya.
Polisi yang mendapat informasi itu langsung mengepung mereka. Namun, keduanya melawan dengan melepaskan busur panah ke arah polisi. Tak mau ambil risiko, polisi membalas dengan menembakkan peluru ke udara lalu ke arah mereka, hingga keduanya tersungkur dan dan meninggal dunia.
"Kedua pelaku saat melakukan penyerangan menggunakan perlengkapan yang membahayakan, seperti anak panah, sangkur, dan busur," kata Kapolres Dharmasraya AKBP Rudy Yulianto di Pulau Punjung, Minggu, 12 November 2017.
Dari tangan keduanya, polisi menyita sejumlah barang bukti, seperti satu busur panah, delapan buah anak panah, tiga buah sangkur, sebilah pisau kecil, sebuah sarung tangan berwarna hitam, dan selembar kertas berisikan pesan bertuliskan, "Saudara Kalian ABU 'AZzam Al Khorbily 21 Safar 1439 H di Bumi Allah".
Berdasarkan bukti-bukti ini, polisi mengetahui Eka adalah bagian dari Jamaah Ansor Daulah (JAD), salah satu jaringan ISIS di Indonesia. Kelompok ini menganggap polisi adalah thogut yang menjadi musuh mereka.
Detasemen Khusus 88 mengidentifikasi kelompok ini tak segan-segan menyerang fasilitas kantor, asrama, atau anggota Polri yang sedang bertugas.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Cara ISIS Merasuk ke Aparat
Mantan teroris, yang sebelumnya merupakan anggota Brimob Polri, Sofyan Tsauri, mengaku tak heran ada anak polisi terlibat dalam jaringan teroris ISIS.
Sebab, menurut Sofyan, Eka bukanlah satu-satunya anggota keluarga polisi yang pernah terlibat ISIS.
Sebelumnya, ujar dia, ada beberapa aparat yang justru tak kuat terpapar propaganda ISIS, termasuk dirinya.
Dia mengungkapkan, sebelumnya pada 2015 ada anggota Polri di Jambi berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS dan berperang di pihak militan hingga tewas di Suriah.
Ada juga dua anggota Polri di Mako Brimob Kelapa Dua berangkat ke Suriah bersama saudaranya seorang direktur BUMN, yang belakangan keluar dari ISIS dan kembali ke Tanah Air.
Menurut Sofyan, propaganda ISIS bisa mengenai siapa saja. Karena mereka melancarkan aksinya dengan memanfaatkan sentimen keagamaan.
"Memang ini bahaya laten indoktrinasi, situasinya erat dengan kondisi global saat ini, ketidakadilan terhadap Islam. ISIS membawa sentimen keagamaan," ujar Sofyan kepada Liputan6.com, Senin (13/11/2017).
Sofyan mengatakan, ISIS "membuai" sasarannya menggunakan doktrin keagamaan dengan menyebut diri mereka sebagai nubuat akhir zaman, sehingga siapa pun akan terbawa dan terhalusinasi.
Dia juga memastikan serangan di Mapolres Dharmasraya dilakukan oleh jaringan ISIS. Ini dilihat dari ciri serangan mereka.
"Pertama sasarannya lebih kepada musuh dekat, ke polisi, tentara. Kedua, mereka menggunakan senjata apa saja. Tidak hanya dengan senjata api dan bom, tapi juga bisa dengan golok atau panah," ucap Sofyan.
Sebelum serangan ke Mapolres Dharmasraya, ucap Sofyan, telah beredar broadcast di kalangan kaum muslimin untuk menjauhi pos-pos polisi supaya tidak menjadi sasaran. Meski demikian, Sofyan mengakui aksi kelompok-kelompok teroris terutama yang bergerak sendiri atau lone wolf, sulit terdeteksi.
Pengamat terorisme dari Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, juga memastikan serangan di Dharmasraya dilakukan oleh kelompok pro-ISIS. Namun, menggunakan teknik baru.
"Dengan melakukan pembakaran ini adalah teknik baru, yang saya kira cukup berbahaya jika tidak diwaspadai," kata Ridlwan saat dihubungi Senin (13/11/2017).
Dia meminta pemerintah dan aparat keamanan mewaspadai modus baru ini, karena tidak menggunakan modal besar, tapi menimbulkan efek dahsyat.
"Teror itu tidak hanya membuat orang mati, tapi efek kejut atau surprise yang membuat orang ternganga juga merupakan teror yang berhasil," ujar Ridlwan lagi.
Terkait keterlibatan Eka, Ridlwan mengatakan, ini sebagai bukti bahwa ide-ide teror ISIS bisa merasuk ke siapa saja, termasuk kalangan terdidik dan anggota keluarga aparat keamanan. "ISIS ini bisa mengubah seorang anak ibaratnya melawan bapaknya. Ini jangan diremehkan oleh masyarakat. Mereka ada terus," ucap dia.
Menurut Ridlwan, serangan di Dharmasraya ini menunjukkan bahwa kelompok teroris masih eksis di Indonesia, khususnya di Sumatera.
"Serangan ini memberi simbol kepada teman-temannya (sesama ISIS) supaya tidak ragu-ragu melakukan serangan karena kelompok mereka masih ada," jelas Ridlwan.
Advertisement
Orangtua Minta Maaf
Apa yang dilakukan Eka Fitria Akbar membuat keluarganya malu berat. Orangtuanya pun meminta maaf atas penyerangan dan pembakaran Mapolres Dharmasraya yang dilakukan sang anak.
"Orangtua dan mewakili pihak keluarga menyampaikan permohonan maaf, secara umum kepada kepolisian, dan khususnya kepada seluruh personel Polres Dharmasraya atas perbuatan anaknya yang telah membakar Mako Polres Dharmasraya," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (13/11/2017).
Selain permohonan maaf, ada hal lain yang disampaikan pihak keluarga. Keluarga korban meminta kepada kepolisian untuk memakamkan jenazah almarhum di Kabupaten Dharmasraya secara islami dan di tempat yang layak, serta mendokumentasikan pelaksanaan proses pemakaman tersebut.
Orangtua Eka mengaku anaknya pernah ke Sumedang dan menikah. Di sanalah ia diduga terkena paham radikal.
Seorang tetangga Eka bernama Agus mengungkapkan, Eka adalah sosok yang piawai memanah. Ia kerap menggelar latihan rutin setiap Minggu pagi bersama beberapa orang rekannya.
Mereka berlatih di belakang sebuah masjid di kompleks tempat tinggalnya. Sesekali mereka berlatih menggunakan busur panah api.
"Saya kurang tahu dari mana teman-temannya itu. Sekali latihan bisa sepuluh orang lebih. Saya tak curiga, saya pikir ya latihan biasa saja. Karena memang sering begitu," ucap Agus.
Polisi sendiri kini masih terus memburu jaringan Eka. Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian telah memerintahkan Densus 88 mengejar mereka. Tito juga meminta meminta jajarannya meningkatkan sistem pengamanan di masing-masing daerah, kantor-kantor kepolisian, tingkat polda, polres, polsek, atau pos polisi.
Sebelumnya, disebutkan, ada 16 titik sel ISIS di Indonesia. Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, sel-sel ISIS ini adalah jaringan Jamaah Anshorut Daulah (JAD) dan sudah dipetakan jelas oleh tim Densus 88 Antiteror.
Menurut Tito, Polri melihat teror-teror yang terjadi setelah 2013 dilakukan kelompok JAD. Awalnya, jaringan ini bernama Tauhid Waljihad yang dipimpin Aman Abdurrahman.
"Kasus teror yang terjadi selama ini, saya sangat tegas sampaikan adalah JAD, di mana link pattern jaringan ini berpusat di Raqqa, Suriah. Kemudian penghubungnya adalah Bahrun Naim, kemudian juga ada Bahrum Syah, dan ada Abdul Jandal yang infonya sudah meninggal," kata dia.
Kapolri Tito mengatakan, kendala melumpuhkan JAD masih terbentur Undang-Undang Terorisme. Polri belum memiliki payung hukum yang kuat guna menindak atau mengkriminalisasi jaringan teror dengan berlandaskan perbuatan awal.