Jokowi dan Sekjen PBB Sepakat Dorong Penyelesaian Krisis Rohingya

Presiden Jokowi melakukan pertemuan bilateral dengan Sekjen PBB yang mengapresiasi kontribusi Indonesia soal Rohingya.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 14 Nov 2017, 13:30 WIB
Anak-anak pengungsi Muslim Rohingya berebut permen yang dibagikan oleh LSM di Teknaf distrik Ukhia, Bangladesh (6/10). Bangladesh akan membangun kamp pengungsi terbesar di dunia untuk menampung 800.000 orang. (AFP PHOTO/Fred Dufour)

Liputan6.com, Manila - Presiden Indonesia Joko Widodo melakukan pertemuan bilateral dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres di sela-sela KTT ASEAN pada Senin 13 November 2017.

Di awal pertemuan, Sekjen Guterres menyampaikan apresiasi terhadap peran Indonesia dalam membantu penyelesaian krisis kemanusiaan etnis Rohingya di Rakhine State, Myanmar.

Baik Jokowi maupun Guterres juga memiliki kekhawatiran yang sama mengenai krisis kemanusiaan di Rakhine State. Presiden dan Sekjen PBB sepakat untuk terus berupaya membantu penyelesaian krisis kemanusiaan di Rakhine State.

"Jika tidak selesai, maka krisis ini akan berdampak pada stabilitas dan keamanan kawasan. Krisis yang berkelanjutan juga akan melahirkan radikalisme dan bahkan meningkatnya ancaman terorisme," kata Presiden Jokowi seperti dikutip dari rilis resmi Sekretariat Presiden yang diterima Liputan6.com, Selasa (14/11/2017).

Selain itu, Presiden Jokowi dan Sekjen PBB membahas pentingnya segera diselesaikan MOU Repatriasi antara Myanmar dan Bangladesh.

"Penyelesaian MOU sangat penting artinya bagi proses repatriasi," kata Presiden Jokowi.

 


Jokowi: ASEAN dan Myanmar Tak Boleh Diam Atas Krisis Rohingya

Di hadapan para pemimpin ASEAN dan beberapa negara mitra, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyinggung krisis kemanusiaan Rohingya sebagai salah satu topik bahasan pidatonya.

Pidato yang disampaikan Presiden Jokowi merupakan bagian dari rangkaian Pleno KTT ASEAN ke-31 yang diselenggarakan di Manila, Filipina pada Senin 13 November 2017.

"Kita semua sangat prihatin dengan krisis kemanusiaan di Rakhine State dan juga paham akan kompleksitas masalah di Rakhine State. Namun kita juga tidak dapat berdiam diri," ujar Presiden Jokowi seperti yang dikutip dari rilis resmi Istana Negara, Senin 13 November 2017.

"Krisis kemanusiaan itu tidak saja menjadi perhatian negara-negara anggota ASEAN, namun juga dunia," imbuhnya.

Jokowi melanjutkan, untuk mengatasi krisis kemanusiaan tersebut, harus ada kepercayaan dan solidaritas di antara negara-negara anggota ASEAN.

Pembiaran krisis Rohingya akan berdampak pada keamanan dan stabilitas kawasan termasuk munculnya radikalisme dan perdagangan manusia.

"Kita harus bergerak bersama. Myanmar dan ASEAN tidak boleh tinggal diam," tutur Presiden ke-7 RI tersebut.

Indonesia sendiri telah turut membantu mengatasi krisis kemanusiaan Rohingya dengan berkontribusi memberikan bantuan kemanusiaan, menyampaikan usulan formula 4+1 untuk Rakhine, serta mendukung implementasi rekomendasi Kofi Annan, lanjut Jokowi.

Indonesia juga mencatat pidato "Report to the People" dari State Counsellor Myanmar Aung San Suu Kyi. Presiden mengharapkan agar tiga butir dalam pidato tersebut -- repatriation and humanitarian assistance, resettlement and rehabilitation, dan development and durable peace -- dapat diimplementasikan.

"Indonesia mengharapkan pembicaraan antara Bangladesh dan Myanmar mengenai repatriasi agar segera diselesaikan dan diimplementasikan," ungkap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Presiden Jokowi juga berharap agar The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on disaster management (AHA Centre) dapat diberikan akses secara penuh untuk dapat membantu.

Di akhir pidatonya, Presiden menegaskan bahwa ASEAN harus berkontribusi aktif terlibat dalam penyelesaian krisis kemanusiaan di Rakhine.

"Dan akan baik jika ASEAN menjadi bagian penyelesaian masalah. Kita harus buktikan kepada masyarakat kita dan dunia bahwa kita mampu menangani masalah kita," kata ayah tiga anak itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya