Liputan6.com, Jakarta Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya resistensi bakteri. Kondisi ini dapat menyebabkan kemampuan bakteri menjadi lebih kuat dari antibiotik sehingga pengobatan menjadi tidak efektif dan memperparah infeksi.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Dra Maura Linda Sitanggang, Apt, PhD, menjelaskan ada tiga penyebab pemicu terjadi resistensi antibiotik.
Advertisement
"Resistensi ini bisa dipicu oleh pemakaian yang berlebihan secara bebas tanpa resep dokter. Padahal, tidak semua penyakit membutuhkan antibiotik," ucap Linda saat ditemui di Gedung Kemenkes pada Selasa (14/11/2017).
Linda mengatakan, penyakit seperti batuk dan flu umumnya tidak membutuhkan antibiotik. Antibiotik hanya dibutuhkan apabila seseorang terkena penyakit yang disebabkan bakteri, seperti tifus, disentri, dan tuberkulosis. Namun, sering kali orang menganggap antibiotik adalah obat dari segala penyakit.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, penggunaan antibiotik yang tidak patuh juga dapat menyebabkan resistensi antibiotik. Hal ini biasanya terjadi saat seseorang berhenti mengonsumsi antibiotik yang diresepkan dokter karena merasa sudah sembuh.
Saksikan video menarik berikut :
Harus dihabiskan
Untuk menggunakan antibiotik secara tepat, Linda mengimbau kepada masyarakat yang mendapatkan resep antibiotik untuk meminum sesuai dosis yang diberikan dan harus dihabiskan.
"Penggunaan antibiotik yang diberikan dengan resep dokter seharusnya dihabiskan. Sering kali masyarakat berhenti minum antibiotik saat merasa sudah sembuh. Padahal, bakteri di dalam tubuh belum sepenuhnya mati. Hal ini justru membahayakan," lanjut dia.
Linda menekankan agar menghabiskan antibiotik dan tidak menyimpannya sebagai obat sisa untuk digunakan pada lain waktu.
"Antibiotik sudah diberikan sesuai aturan sehingga tidak bisa disimpan dalam bentuk obat sisa. Jika seseorang sakit, jangan minum antibiotik yang sebelumnya disimpan karena belum tentu penyakitnya disebabkan bakteri," pungkasnya.
Advertisement