Liputan6.com, Naypyidaw - Angkatan Bersenjata Myanmar telah mencopot seorang jenderal yang bertanggung jawab atas Negara Bagian Rakhine. Pencopotan itu terjadi di tengan krisis kemanusiaan Rohingya di Rakhine.
Komandan Wilayah Barat di Rakhine, Jenderal Maung Maung Soe dicopot pada Jumat 10 November pekan lalu. Demikian seperti dikutip dari media India Scroll.id yang melansir Reuters, Selasa (14/11/2017).
Pencopotan sang jenderal, meski tak jelas alasannya, terjadi di tengah krisis kemanusiaan Rohingya di Rakhine. Di mana berbagai laporan tentang kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan terhadap militer Myanmar terhadap etnis mayoritas pemeluk Muslim itu mencuat ke permukaan.
Baca Juga
Advertisement
"Saya tidak tahu alasan pemindahannya," kata Mayjen Aye Lwin, Deputi Direktur Departemen Peperangan Psikologis dan Relasi Publik, Kementerian Pertahanan Myanmar kepada Reuters.
"Saat ini, yang bersangkutan belum ditempatkan dalam posisi struktural apa pun. Ia ditempatkan di dalam pasukan cadangan."
Kini, Komandan Wilayah Barat di Rakhine dijabat oleh Brigjen Soe Tint Naing yang sebelumnya mengisi posisi Direktur Logistik Kemhan Myanmar.
Pencopotan itu juga terjadi beberapa hari jelang lawatan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson ke Myanmar. Tillerson dijadwalkan tiba pada Rabu 15 November 2017. Sebelumnya, Tillerson sempat mengumumkan agar otoritas setempat segera memulihkan situasi di Myanmar.
Para pemimpin dunia dan organisasi HAM internasional mengkritik habis-habisan pemerintah, militer, dan kelompok etnis mayoritas Myanmar atas dugaan praktik 'pembersihan etnis' yang dilakukan terhadap Rohingya.
Sejak Agustus 2017, krisis kemanusiaan Rohingya memasuki babak baru, di mana hampir lebih dari setengah juta kelompok etnis itu mengungsi dari Rakhine ke Bangladesh.
Sosok Jenderal di Balik Pembantaian Rohingya
Di tengah derasnya kritik yang mengalir kepada pemimpin de facto Myanmar yang menudingnya sebagai subjek paling bertanggung jawab atas krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya, sejumlah pihak menduga bahwa dalang sesungguhnya adalah salah satu elite militer Burma.
Ia adalah Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Dominasi Jenderal Aung Hlaing yang didukung oleh kuatnya pengaruh militer di pemerintahan membuat Aung San Suu Kyi --yang sejatinya merupakan pemimpin de facto Myanmar-- tak berdaya menghentikan kiprah kekerasan tentara di Rakhine.
"Sebagai pimpinan tertinggi unsur militer dan memiliki suara mutlak di parlemen, tentunya akan sangat berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil oleh State Councellor (Suu Kyi), terutama dalam hal penanganan masalah gangguan keamanan," ujar Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Ito Sumardi, lewat keterangan tertulis kepada Liputan6.com pada 10 September lalu.
"Ia (Aung Hlaing) adalah tokoh militer yang tentunya memiliki kedekatan dengan pemerintah lama (junta), dan saat ini sangat berperan untuk menjalankan pengaruh militer dalam politik nasional Myanmar," tambahnya.
Sementara itu, menurut organisasi pegiat HAM, Burma Campaign, sang jenderal memiliki kuasa untuk menghentikan tindak kekerasan militer terhadap Rohingya.
"Hanya ada satu orang di Burma yang dapat memerintahkan tentara untuk menghentikan pembunuhan dan aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya, ia adalah Min Aung Hlaing," jelas Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign, organisasi pegiat HAM yang berbasis di Inggris.
Sang jenderal juga disebutkan sebagai salah satu figur yang menyuburkan persekusi, diskriminasi, dan dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap kelompok etnis Rohingya.
"Biarkan dunia tahu bahwa tidak ada etnis Rohingya di negara kita," kata Aung Hlaing seraya menegaskan status tanpa kewarganegaraan etnis tersebut di hadapan para prajurit Myanmar dalam sebuah pidato Hari Angkatan Bersenjata pada 27 Maret 2017, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Sementara, pada 25 Agustus 2017, hari dan pekan yang sama ketika konflik bersenjata kembali meletus di Rakhine, sang jenderal menegaskan komitmennya bahwa Rohingya bukanlah warga Myanmar.
"Penyebutan mereka sebagai warga harus diselaraskan dengan hukum yang ada di Myanmar. Etnis itu (Rohingya) tidak terkategori dan teridentifikasi dalam hukum negara. Mereka yang tidak teridentifikasi, harus dibatasi," jelasnya seperti dikutip dari media Myanmar, Mizzima.com.
Hasil laporan Human Rights Watch dan Burma Campaign menyebut bahwa sebagai komandan angkatan bersenjata Myanmar, Aung Hlaing diyakini bertanggung jawab atas aksi tentara yang melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan ekstra-yudisial terhadap warga sipil etnis Rohingya.
Tim pencari fakta PBB kini juga tengah melakukan investigasi atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, yang dilakukan militer Myanmar yang dipimpin oleh Aung Hlaing terhadap etnis Rohingya.
Burma Campaign juga menekankan agar komunitas internasional juga harus menyoroti Jenderal Aung Hlaing, figur yang diyakini sebagai dalang utama atas rangkaian kekerasan yang terjadi di Rakhine.
"Min Aung Hlain adalah hambatan besar bagi reformasi HAM dan demokrasi di Burma. Ia memerintahkan prajuritnya membantai, lalu menembak warga sipil tak bersenjata dan bayi, serta memerkosa warga sipil," demikian menurut pernyataan tertulis dari Burma Campaign.
Advertisement