Liputan6.com, Jakarta - Ada beberapa ciri yang dengan gampang dikenal sebagai bagian dari DNA, misalnya warna rambut dan mata, tinggi, dan bentuk hidung yang dapat ketahuan dari orangtua kita.
Demikian juga dengan tekanan darah tinggi atau gangguan mental yang mungkin melibatkan faktor keturunan.
Kebanyakan ciri yang kita kaitkan dengan genetik memang bersifat fisik, tapi ada juga yang berpengaruh kepada perilaku.
Baca Juga
Advertisement
Misalnya, pandangan politik kita tidak hanya berdasarkan kepada nilai-nilai dan moral pribadi kita.
Para peneliti mengungkapkan bahwa kecenderungan untuk bersepakat dipengaruhi oleh genetik.
Penelitian yang melibatkan pasangan-pasangan kembar fraternal dan identik mengungkapkan bahwa para kembar identik lebih berkemungkinan berbagi nilai-nilai yang sama, misalnya sama-sama tradisional atau sebaliknya.
Diringkas dari listverse.com pada Selasa (14/11/2017), berikut ini adalah 8 perilaku yang ternyata merupakan hal yang diwarisi secara genetis:
1. Sifat Ramah
Kemampuan kita untuk ramah dan menunjukan empati ditentukan oleh DNA. Ada gen tertentu yang menghasilkan reseptor untuk oksitosin, yang sering dijuluki sebagai hormon cinta.
Reseptor itu menentukan berapa besar kecenderungan menunjukan welas asih kepada orang lain. Gen yang menghasilkan reseptor oksitosin tersebut ada dalam tiga varian, yaitu G/G, A/G, dan A/A.
Mereka yang memiliki varian G berganda yang diturunkan oleh dua orangtuanya menampilkan kemampuan terbesar untuk ramah. Mereka yang memiliki varian A/A memiliki empati terendah terhadap orang lain. Sementara itu A/G ada di tengah-tengah.
Bukan hanya itu, varian G/G telah dikaitkan dengan risiko lebih rendah untuk autisme dan kecemasan sosial, berlawanan dengan varian A/A.
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa orang yang berbakat ramah dapat menjaga keramahan mereka walaupun sedang berada dalam keadaan sulit.
Para peneliti menelaah bagaimana orang bertindak ketika mereka sedang takut dan mengamati bahwa hal ini berkaitan dengan varian yang ditemukan dalam DNA.
Hasilnya mengungkapkan bahwa orang-orang dengan varian G/G menunjukkan niat baik yang setara kepada sesamanya walaupun mereka sedang merasa tak aman.
Sedangkan orang dengan varian A/G atau A/A yang merasa terancam menanggapinya melalui pengurangan keramahan terhadap orang lain.
Kabar baiknya, keramahan adalah hal yang lazim. Dalam suatu penelitian terhadap 348 orang, sekitar 51,5 persen memiliki varian G berganda dan hanya 7,2 persen yang memiliki jenis A/A.
Advertisement
2. Hobi Travel
Ada orang yang puas menghabiskan hidup mereka di satu tempat dan tidak berjauh-jauh dari kampung halaman. Beberapa orang lain malah mengutamakan berjalan-jalan ke seluruh dunia.
Perbedaan ini ditemukan pada variasi gen reseptor dopamin. Variasi tertentu gen ini, yaitu DRD4-7R, dikaitkan dengan sifat penasaran dan tak lelah yang seringkali dijuluki sebagai "gen pengelana."
Beberapa penelitian tentang DRD4-7R menunjukkan bahwa orang dengan varian ini memiliki semangat bertualang dan terbuka kepada pengalaman-pengalaman baru.
Sekitar 20 persen orang di dunia memiliki varian gen ini. Varian ini lebih banyak di negara-negara yang semakin jauh dari Afrika. Temuan ini berkaitan dengan pandangan bahwa semua kehidupan manusia bermula di Afrika.
Jika manusia-manusia mula-mulai berasal dari Afrika, maka populasi manusia di tempat yang jauh dimulai oleh para moyang yang berpergian cukup jauh untuk menemukan rumah baru mereka.
Gen DRD4-7R juga memiliki kaitan dengan "perilaku Neanderthal."
Jadi, pembawa gen ini mungkin menghabiskan hidup mereka bepergian dan menjelajahi tempat-tempat eksotis, tapi mereka juga mungkin memukul-mukul dada dan kadang-kadang mempraktikan kanibalisme.
3. Kecenderungan Rasa Makanan
Beberapa orang senang dengan makanan berbumbu dan sebagian lagi menyenangi hambarnya nasi putih atau kesederhanaan roti lapis selai kacang dan jeli buah.
Makanan yang nikmat untuk seseorang mungkin memuakkan bagi orang lain. Ya, rasa yang kita nikmati ditentukan oleh genetik.
Suatu temuan awal tentang hubungan DNA dan rasa terungkap pada 1931. Seorang ahli kimia bernama Arthur Fox sedang meneliti bubuk peniltiokarbamid (phenylthiocarbamide, PTC).
Ketika ada bubuk yang tersebar di udara, seorang rekan Fox mengeluhkan rasa pahitnya. Fox tidak mengerti apa maksudnya, karena bubuk PTC tidak berasa apapun baginya.
Kejadian itu mengarah kepada eksperimen di antara teman dan kerabat untuk mengetahui bagaimana rasa PTC menurut orang-orang. Hasilnya sangat bervariasi dari sangat pahit hingga benar-benar hambar.
Kemudian terungkaplah bahwa rasa PTC berkaitan dengan TAS2R38, suatu gen yang berdampak kepada kuncup pengecap (taste bud).
Variasi tertentu TAS2R38 yang dimiliki seseorang menentukan apakah PTC terasa pahit atau hambar sama sekali. Varian gen berbeda itu disebut dengan "mengecap rasa" dan "tidak mengecap rasa."
Penelitian 2005 mengungkapkan bahwa variasi-variasi TAS2R38 juga berdampak kepada betapa senangnya anak-anak kepada permen.
Anak-anak yang memiliki dua versi gen "mengecap rasa" pahit lebih berkemungkinan menyukai makanan dan minuman dengan kandungan gula yang tinggi.
Bagi orang-orang yang tidak terlalu suka yang manis-manis, pengaruh gen ikut berperan.
Ada beberapa orang yang digolongkan sebagai "pengecap super" (supertaster). Orang-orang itu diwarisi lebih banyak titik kucup pengecap dibandingkan dengan orang-orang biasa sehingga mereka kewalahan akibat beberapa rasa tertentu.
Mereka menghindari makanan-makanan yang rasanya kuat, termasuk makanan penutup (dessert) yang sangat manis. Jadi, tidak heran kalau mereka cenderung kurus.
Advertisement
4. Keterampilan Mengemudi
Suatu kali nanti kita dihentikan oleh polisi, coba jelaskan bahwa kinerja kita yang buruk ketika mengemudi adalah karena DNA.
Suatu penelitian oleh para ilmuwan syaraf di University of California–Irvine mendapati bahwa orang-orang dengan varian genetik tertentu adalah pengemudi yang lebih parah dibandingkan dengan gen "normal."
Zat yang disebut brain-derived neurotrophic factor (BDNF) adalah sebuah protein yang dihasilkan otak ketika melakukan kegiatan-kegiatan tertentu.
BDNF menjaga sel-sel otak tetap berfungsi optimal dan membantu ingatan serta pembelajaran.
Orang yang memiliki varian gen menghasilkan BDNF yang lebih sedikit dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki varian yang dimaksud.
Artinya, selama melakukan tugas tertentu, orang yang memiliki varian tersebut kurang mampu belajar hal baru, menjaga informasi atau memperbaiki tindakan berdasarkan kesalahan.
Dalam penelitian, para ilmuwan menciptakan simulasi uji mengemudi dengan rute sulit yang penuh lengkungan dan belokan. Para peserta diminta mengemudi sebanyak 15 lap.
Mereka dinilai berdasakan betapa baiknya menghadapi lintasan dan apakah kemampuan mengemudinya meningkat setelah mengulangi lap.
Dari 29 peserta, ada 7 orang yang memiliki varian gen. Para pengemudi yang memiliki varian berkinerja 20 persen lebih buruk daripada para pengemudi yang tanpa varian.
Di Amerika Serikat (AS), sekitar 30 persen warganya memiliki varian gen ini. Jadi, kalau kita sedang di AS dan merasa frustrasi dengan 3 di antara 10 pengemudi yang kita temui, maklumlah bahwa kecerobohan mereka bukan sepenuhnya salah mereka.
5. Ketenaran
Jika kita memiliki banyak teman, mungkin saja kita diwarisi "gen popularitas."
Para ahli genetik mengidentifikasi beberapa gen yang membuat orang berperilaku dalam cara-cara yang disukai.
Mereka menelaah perilaku-perilaku mana yang ditentukan oleh DNA dan apakah perilaku-perilaku itu mengundang tanggapan-tanggapan positif dari lingkungannya.
Suatu penelitian mengungkapkan bahwa ketenaran di kalangan pria memiliki kaitan kuat dengan gen yang berpengaruh pada kadar serotonin.
Kadar serotonin yang lebih tinggi telah dikaitkan dengan letupan-letupan yang bisa mengarah kepada pelanggaran aturan. Dan pelanggaran aturan cenderung membuat seorang pria muda disukai di antara sebayanya.
Lebih dari 200 pria ditelaah dalam sebuah penelitian yang membandingkan genetik mereka dengan betapa populernya mereka dianggap dalam suasana kelompok.
Para pembuat onar dinilai sebagai lebih populer, dan mereka biasanya membawa "gen ketenaran."
Gen dimaksud diteliti untuk mengungkap kaitannya dengan perilaku lain yang disukai orang maupun dampaknya kepada kaum wanita.
Advertisement
6. Bakat Musik
Perlu latihan bertahun-tahun agar seseorang bisa menjadi pemain piano handal atau pemain bass musik cadas. Tapi, hal itu juga memerlukan gen yang tepat.
Seorang ilmuwan syaraf Swedia memimpin sebuah penelitian yang mempelajari kemampuan-kemampuan musik pada kembar identik.
Para peserta dievaluasi berdasarkan betapa telitinya mereka mendeteksi tinggi nada (pitch) dan mengenali irama. Lalu mereka ditanyai seberapa sering berlatih alat musik.
Hasilnya mengungkapkan bahwa pasangan-pasangan kembar menampilkan tingkat kemampuan musik yang setara, tidak bergantung kepada perbedaan kebiasaan latihan.
Dalam suatu contoh esktrem, ada sepasang kembar yang perbedaan masa latihan musik mereka berbeda 20 ribu jam, tapi mereka meraih kemampuan musik yang setara.
Para peneliti juga mengungkapkan bahwa kecenderungan untuk berlatih alat musik diwariskan antara 40 hingga 70 persen.
Kesimpulannya, genetik mempengaruhi kapasitas bakat musik dan juga kemungkinannya seseorang merawat bakat itu melalui latihan dan perulangan.
Tapi, para ilmuwan wanti-wanti agar kita kemudian menganjurkan anak-anak untuk tidak usah rajin latihan alat musik. Hanya saja, orang-orang dengan gen tertentu memiliki batasan yang lebih rendah dalam bermusik.
7. Tingkat Kemalasan
Ada orang pergi ke pusat kebugaran setiap pagi, sebaliknya ada yang menganggap jalan dari kasur ke kulkas sebagai penyiksaan fisik. Kalau kita termasuk jenis yang kedua, mungkin kita diwarisi gen kemalasan.
Sebuah penelitian menengarai bahwa DNA menentukan seberapa aktifnya kita secara fisik. Para ilmuwan mengungkapkan daerah-daerah pada genom tikus yang mempengaruhi tingkat kegiatan.
Dengan memanfaatkan daerah pada genom tikus yang mempengaruhi tingkat kegiatan, tikus bisa dibiakkan agar aktif atau tidak aktif secara fisik.
Sebuah penelitian 2008 yang membandingkan tikus dengan gen "aktif" dengan gen "tidak aktif" mengerucut kepada hasil yang menarik.
Semua tikus percobaan ditaruh dalam kandang yang berisi roda latihan. Para tikus dengan gen aktif langsung berlari pada roda hingga terengah-engah, sedang tikus dengan gen tidak aktif menggunakan roda itu untuk keperluan lain.
Seekor tikus menggunakan serutan untuk membuat tempat tidur di roda latihan, sedangkan seekor tikus lain memanfaatkannya sebagai toilet.
Sebuah studi lain pada 2013 melakukan eksperimen serupa dengan tikus.
Para peneliti bukan hanya mengamati perilaku tikus aktif dan tidak aktif, tapi mereka juga mengkawinkan tikus paling aktif dengan sesamanya, demikian juga tikus malas dengan sesama tikus malas.
Setelah 10 generasi, tikus-tikus dengan gen aktif 10 kali lebih berkemungkinan menggunakan roda latihan sesuai dengan kegunaannya dibandingkan dengan tikus-tikus dari keluarga yang malas.
Manusia memiliki gen yang berkaitan dengan gen yang teridentifikasi pada tikus.
Penelitian pada tikus memang menjadi indikator yang baik, sehingga langkah selanjutnya adalah mengulangi hasilnya untuk percobaan pada manusia.
Advertisement
8. Ketagihan Kopi
Ada orang yang merasa cukup dengan satu atau dua seruput kopi pagi, sementara itu ada orang-orang lain yang seakan perlu infus espresso. Perbedaan itu terkait dengan genetik.
Pada 2016, para ilmuwan mencirikan suatu gen, yaitu PDSS2, yang mempengaruhi konsumsi kafein. Penelitian terhadap populasi Italia dan Belanda menunjukkan korelasi antara PDSS2 dengan jumlah kopi yang diminum seseorang.
Sebenarnya PDSS2 ada pada DNA semua orang, tapi ada beberapa orang yang memiliki varian yang lebih aktif daripada yang lain. Orang dengan variasi yang lebih aktif melaporkan minum kopi dalam jumlah yang lebih sedikit.
Para ilmuwan menduga PDSS2 mengatur produksi protein yang melakukan metabolisme kopi.
Dengan demikian, orang-orang yang memiliki versi aktif PDSS2 lebih lambat dalam merasakan dampak kafein dan dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga mereka lebih sedikit mengkonsumsinya.
Mereka yang memiliki varian malas PDSS2 segera merasakan dampak kafein, tapi juga pupus lebih cepat.
Orang-orang ini cenderung minum lebih banyak kopi atau minuman berkafein lainnya agar terus merasa awas dan sadar.