2 Perempuan Peneliti Bangun Alat Pendeteksi dan Pemusnah Kanker

Dua perempuan peneliti pemenang L'Oréal-UNESCO FWIS 2017 membangun alat pendeteksi dan pemusnah sel kanker dari bahan alami.

oleh Citra Dewi diperbarui 15 Nov 2017, 16:31 WIB
Ilustrasi Foto Peneliti (iStockphoto)

Liputan6.com, Bern - Globalisasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia. Derasnya arus informasi, kemajuan teknologi, dan pergerakan yang makin dinamis menjadi beberapa hal yang tak dapat dielakkan.

Munculnya berbagai penyakit baru juga menjadi salah satu dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi. Salah satunya berkontribusi pada perubahan gaya hidup, makanan, dan lingkungan.

Kanker menjadi salah satu penyakit penyebab kematian terbesar pada era saat ini. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2003, kanker menjadi penyebab kematian kedua terbesar setelah penyakit jantung di negara berkembang.

Kasus kanker pun diperkirakan meningkat hingga 70 persen hingga tahun 2030.

Ilmuwan dunia merespons hal itu dengan mengembangkan pengobatan baru. Kampanye pola hidup sehat juga gencar dilakukan untuk menimalisasi orang yang terjangkit penyakit tersebut.

Sejumlah peneliti dari Indonesia pun turut berkontribusi untuk mengobati dan mencegah timbulnya penyakit kanker pada masyarakat.

Dalam acara penghargaan L'Oréal-UNESCO For Women in Science (FWIS) National Fellowship Awards 2017 untuk yang ke-14 kalinya, Liputan6.com berkesempatan mewawancarai dua perempuan peneliti asal Indonesia yang sedang mengembangkan perangkat untuk mendeteksi dan mengobati kanker.

Mereka adalah Dr Siti Nurul Aisyiah Jenie dan Dr Yuliati Herbani. Keduanya merupakan pemenang L'Oréal-UNESCO FWIS National Fellowship Awards 2017 dalam kategori Material Sciences dan Engineering Sciences.

Selain itu, terdapat dua pemenang FWIS 2017 kategori Life Sciences yang penelitiannya masih berkutat di bidang medis, yakni Retno Wahyu Nurhayati Ph.D dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, dan Yulia Yusrini Djabir Ssi, MSi, MBmSc, Ph.D, Apt dari Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin.

Para pemenang L'Oréal-UNESCO For Women in Science 2017 beserta para dewan juri (L'Oréal Indonesia)

Presiden Direktur L'Oréal Indonesia, Umesh Phadke, menyampaikan masyarakat perlu mendukung perempuan peneliti. Pasalnya, apa yang mereka lakukan tak hanya bermanfaat untuk kehidupan pribadinya tapi juga untuk orang banyak.

"Melalui penghargaan L'Oréal-UNESCO For Women in Science National Fellowship Awards 2017, kami ingin mendukung perempuan dalam sains karena kontribusi besar mereka tidak boleh diabaikan," demikian ujar pria yang akrab disapa Umesh tersebut.

"Mari merayakan peran mereka sebagai inspirasi yang telah mempertegas pentingnya sains untuk masa depan dan untuk mendorong mereka untuk mengejar karier di bidang sains," imbuh dia.


Deteksi Kanker Dini dengan Cara Mudah dan Sederhana

Secara statistik, kematian karena kanker berada di peringkat kedua di dunia. Sementara itu, di Asia Tenggara sendiri berada di peringkat ketiga dan Indonesia ada di peringkat kelima.

Sebanyak 33 persen dari pasien yang terdiagnosis kanker sudah berada pada stadium III. Padahal, jika kanker dapat dideteksi lebih dini, kemungkinan pengidap kanker untuk sembuh akan lebih tinggi.

Sadar akan hal tersebut, Dr Siti Nurul Aisyiah Jenie mengembangkan sebuah alat untuk mendeteksi kanker mulai dari stadium awal.

"Saya ingin mengembangkan suatu alat atau perangkat sistem deteksi kanker di stage awal. Tujuannya agar penanganan medisnya lebih mudah, juga agar harapan hidup masyarakat Indonesia atau global lebih panjang," ujar perempuan yang menyelesaikan gelar doktor pada bidang Materials & Minerals Science di University of South Australia itu.

Saat ditemui dalam penghargaan L'Oréal-UNESCO 2017 pada 9 November lalu, ia menjelaskan secara singkat soal penelitiannya yang berjudul "Pengembangan Nanopartikel Berfluoresens Berbasis Silika Alam Indonesia untuk Biomimaging Optik."

Dr Siti Nurul Aisyiah Jenie (L'Oréal Indonesia)

Menurut penjelasan ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut, proses pembuatan nanopartikel yang dilakukannya menggunakan metode Modified Sol Gel, di mana silika yang diekstrak dari bahan alami di Indonesia akan diproses dengan basa dan ditambahkan dengan pewarna fluoresens menjadi bentuk gel.

"Jadi silika berfluoresens setelah jadi, masih dimodifikasi lagi dengan biomolekul, biomolekul itulah yang mengidentifikasi sel-sel kanker," ucap Siti.

Dalam bayangannya, Siti mengatakan bahwa alat itu nantinya akan berbentuk seperti testpack atau thin layer (lapisan tipis). Dengan alat tersebut, seseorang tidak harus menginjeksikan sesuatu ke dalam tubuh, melainkan menaruh sampel tubuh ke alat tersebut.

Cara kerjanya adalah, jika alat tersebut berpendar atau menyala setelah ditaruh sampel, maka kemungkinan besar terdapat sel kanker dalam sampel tubuh.

"Itu sebagai early detection (deteksi dini). Saya mau tekankan di sini, perangkat ini sebagai pendeteksi dini sebelum nanti dia berlanjut ke tes-tes yang lain, sama seperti tes kehamilan," jelas Siti.

Ibu dua anak itu berharap produk penelitiannya itu bisa terlihat wujudnya tiga sampai lima tahun lagi.


Nanopartikel Emas dan Kunyit untuk Pengobatan Kanker

Tingkat kejadian kanker di Asia Tenggara adalah yang teritinggi di seluruh dunia, dan Indonesia masuk di peringkat teratas bersama Malaysia dan Singapura. Di Tanah Air sendiri, kanker serviks dan payudara merupakan penyakit dengan prevalensi tertinggi di Indonesia.

Kanker serviks telah menjadi penyebab kematian perempuan ketiga di Indonesia, di mana pada 2013 terdapat 98 ribu orang penderita kanker serviks di Indonesia.

Selama ini radioterapi dan kemoterapi masih menjadi pengobatan kanker yang paling sering digunakan.

Namun, adanya sejumlah kerugian yang ditimbulkan atas pengobatan tersebut, misalnya saja terdapatnya residu yang tinggi di dalam tubuh, membuat kebutuhan adanya inovasi penerapan teknologi lain untuk penanganan penyakit kanker.

Melalui penelitian berjudul "Sintesis Nanopartikel Kurkumin-Emas dengan Teknik Ablasi Laser Femtosekon dan Studi Bioaktivitas Cytotoxic pada Sel Kanker untuk Terapi Pengobatan Kanker", Dr Yuliati Herbani mengembangkan terapi kanker yang didasarkan pada tiga hal, kunyit, emas, dan laser.

Kurkumin yang banyak terdapat dalam kunyit, terbukti dapat membunuh sel-sel kanker. Sementara itu, emas dapat membangkitkan panas yang dalam ukuran tertentu dapat menghancurkan sel-sel kanker.

Dr Yuliati Herbani (L'Oréal Indonesia)

Dari dasar itu, perempuan bergelar doktor di bidang teknik material terapan laser dari Universitas Tohoku, Jepang, itu mengawinkan dua bahan tersebut. Ia membuatnya menjadi ukuran nanopartikel dengan menggunakan teknologi laser.

Selain panasnya dapat menghancurkan sel kanker, perempuan yang akrab disapa Yuli itu menggunakan nanopartikel emas karena zat tersebut dapat keluar bersama metabolisme tubuh.

Secara singkat, alumni Institut Pertanian Bogor jurusan fisika tersebut menjelaskan tentang cara kerja "duet" kunyit dan emas yang dibantu dengan teknologi laser.

"Nanopartikel emas masuk ke dalam tubuh kemudian kita laser dengan energi rendah, dia akan membangkitkan panas, dari panas itu bisa menghancurkan sel-sel kanker. Jika dikawinkan dengan kurkumin, kurkumin itu tidak bisa terlarut dalam air, makanya dia dikawinkan dengan si emas tadi supaya bisa masuk ke dalam tubuh dengan sempurna," jelas Yuli.

"Begitu ada fototermal tadi, nanopartikel emasnya jadi panas sehingga kurkuminnya lepas dan itu bisa menyebar lebuh jauh jaraknya daripada nanopartikel, jadi efeknya ganda" imbuh dia.

Yuli menjelaskan, penelitiannya tersebut masih meneliti aktivitas nanopartikel tersebut di dalam sel. Meski demikian, ia bercita-cita bahwa penelitiannya itu dapat diinjeksikan ke bagian tubuh yang terkena kanker.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya