Liputan6.com, Cirebon - Wur Tawurji Tawur, Selamat Dawa Umur. Penggalan syair berbahasa jawa tersebut merupakan bagian dari tradisi masyarakat Cirebon menjelang memasuki Maulid Nabi.
Tawurji adalah tradisi warisan Sunan Gunung Jati yang diperingati setiap akhir Safar. Tepatnya setiap Rabu terakhir di Bulan Safar sehingga tradisi itu dikenal pula sebagai Rebo Wekasan.
Tradisi itu digelar untuk mendoakan orang-orang yang mampu dan bagian dari sedekah. Seperti yang dilakukan keluarga Keraton Kanoman Cirebon, mereka mengundang warga sekitar dan membagikan uang receh.
Tak sedikit warga berebut uang receh hingga nyaris terjadi kericuhan. Warga meyakini yang mendapat uang receh tersebut mendapat barokah.
"Karena uangnya juga didoakan dulu mas jadi saya yakin barokah," kata salah seorang warga Cirebon, Makmur, Rabu 15 November 2017.
Baca Juga
Advertisement
Tradisi Tawurji menyimpan sejarah yang belum diketahui banyak orang. Pangeran Kumisi Keraton Kanoman Cirebon Pangeran Muhammad Rokhim menuturkan, tradisi tawurji ada sejak Syekh Siti Jenar meninggal.
Saat itu, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga mempersilahkan santri Syekh Siti Jenar untuk mencari dana dengan mendoakan orang lain yang punya uang.
"Jadi penggalan syair tawurji itu sebenarnya doa dari Santri Syekh Siti Jenar kepada orang yang mampu," kata Rokhim.
Dia menjelaskan, kata Tawur berarti menebar dan Ji diambil dari kata Haji. Tawurji merupakan doa santri Siti Jenar kepada orang yang mampu bahkan kepada orang yang belum naik haji juga didoakan agar naik haji.
Umumnya, lanjut dia, Tawurji digelar setiap akhir bulan Safar dalam kalender jawa. Tawurji, lanjut dia juga bisa diartikan menebar barokah kepada warga sekitar dengan bersedekah.
Dahulu, kata dia, tradisi Tawurji hanya dilakukan di internal keluarga keraton. Namun saat ini, tradisi Tawurji melibatkan masyarakat luas.
"Tawurji juga bagian dari menolak bala atau tolak sial. Karena bulan Safar identik dengan bulan sial dan bahaya," ujar dia.
Tolak Bala Dengan Apem
Advertisement
Tolak Bala dengan Apem
Pada akhir bulan Safar dalam kalender jawa, sebagian meyakini sebagai bulan yang penuh sial. Biasanya, cobaan dan bencana alam datang pada setiap akhir Bulan Safar.
"Dipunahkannya dengan kue apem yang diyakini sebagai penolak bala," kata Rokhim.
Kue apem yang dibuat keluarga keraton langsung dibagikan gratis kepada masyarakat yang datang. Dalam tradisi ngapem, keluarga keraton bersama warga berdoa bersama di bangsal Paseban Keraton Kanoman Cirebon.
Doa tersebut sebagai bagian dari upaya manusia memohon kepada pencipta agar tidak ada bencana.
"Bulan Safar biasanya banyak kejadian yang tidak mengenakan yang melibatkan tokoh Islam. Seperti tragedi cucunya Rasul kan di Karbala pada bulan Safar," ujar dia.
Dia mengatakan, tradisi ngapem yang dirangkaikan dengan Tawurji hanya ada di Cirebon. Baik keraton maupun warga Cirebon pada umumnya membuat kue Apem untuk dibagikan gratis kepada masyarakat umum.
"Dulu ngapem dilakukan perorangan tiap akhir Safar orang mandi apem dan apemnya dikasih ke kucing atau binatng yang ada di sekeliling. Sekarang ngapem baren warga sekitar," ucap dia.