Kisah Tunadaksa Berdayakan Sesama Lewat Kafe Kopi

Jangan marah jika mengajak ngobrol pelayan kafe ini tak terlalu ditanggapi. Bisa jadi dia penyandang tunawicara.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 16 Nov 2017, 13:01 WIB
Jangan marah jika mengajak ngobrol pelayan kafe ini tak terlalu ditanggapi. Bisa jadi dia penyandang tunawicara. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Sekilas tak ada yang ganjil dari sebuah kafe yang berlokasi di Jalan Ketintang Madya, Surabaya. Kafe berukuran 56 x 20 meter persegi itu ramai dikunjungi muda-mudi yang ingin bersantai atau bekerja sambil menikmati makanan.

Cafe Mbok Kom namanya. Meski 90 pekerja adalah kaum disabilitas, layanan maupun kuliner yang disajikan tak kalah dari racikan yang dibuat orang umum.

"Masyarakat akan disuguhkan dengan berbagai menu minuman dan makanan oleh kalangan disabilitas," kata Mochammad Shobik (31) sebagai pemilik kafe, Rabu malam, 16 November 2017.

Shobik menyatakan sengaja mempekerjakan kalangan disabilitas yang selama ini sering dipandang sebelah mata. Hal itu untuk menunjukkan bahwa kaum tersebut juga memiliki keinginan berusaha seperti layaknya orang normal.

Mereka yang bekerja di kafe itu ada yang mengidap tunarungu, tunawicara, maupun tunadaksa. Keberadaan mereka akan menarik perhatian sebagian besar tamu yang baru pertama kali datang. Tak sedikit pula pengunjung yang komplain karena respons yang ditunjukkan pegawai tak seperti yang diharapkan.

"Ada yang ditanya diam saja, ada juga yang diajak ngobrol tapi enggak bersuara. Di sana, customer sempat merasa jengkel dan kecewa," ucap Shobik.

Meski begitu, semua keluhan ditanggapi santai oleh Shobik. Pasalnya, tidak seluruh tamu mengetahui jika yang melayani mereka adalah kalangan disabilitas. Begitu tahu, tamu yang komplain berubah jadi kagum.

 Saksikan video pilihan berikut ini:


Sembunyi-sembunyi di Awal

Pemilik kafe Cafe Mbok Kom, Mochammad Shobik (31) bersama para karyawan yang 90 persen kalangan disabilitas. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Tak jarang, para pelanggan mendoakan agar usaha kafenya lancar. Sebagian besar mereka datang dari berbagai kota, seperti Nganjuk, Trenggalek, Kediri, Sidoarjo, Surabaya, dan Bali.

"Soal komunikasi, sebenarnya bagi saya sendiri enggak ada kesulitan dengan pekerja disabilitas. Tapi ada sebagian karyawan lain yang belum mengerti bahasa isyarat yang digunakan, terutama pelanggan kafe," ujarnya.

Dia menceritakan, warung kopi semi modern baru dibuka sebulan. Dia yang juga mengalami tunadaksa harus menyembunyikan keinginannya dari keluarga untuk membuka usaha bersama kalangan disabilitas.

"Istri saya baru dikasih tahu H-3 jelang launching. Sedangkan, keluarga baik orangtua maupun saudara tahunya saat launching," tuturnya.

Mereka tak menyangka jika usaha ini digeluti bersama kalangan disabilitas. Namun, tekad dan doa restu orangtuanya yang membuat dirinya untuk terus melangkah dan mengajak kalangan difabel berkembang tanpa memangku tangan orang lain.

"Sebagai kalangan difabel, kami banyak merasakan pelajaran dari orang lain. Bagaimana dikucilkan, dicemooh, dan lain-lain. Mereka beranggapan kita bisa apa. Tapi, saya berkeyakinan saya bersama teman-teman ini mampu layaknya orang normal," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya