Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Ketua DPR Setya Novanto. Sejumlah penyidik langsung mendatangi kediaman tersangka kasus e-KTP itu, Rabu 15 November malam.
Mereka juga melakukan penggeledahan di rumah yang terletak di Jalan Wijaya Nomor 19, Jakarta Selatan tersebut.
Advertisement
Pengacara Setya Novanto, Fredrick Yunadi, mengatakan, penyidik KPK menggeledah hampir di semua tempat di kediaman keluarga Ketua Umum Partai Golongan Karya itu.
"Yang lama itu kan penggeledahan. Seluruh ruangan sampai pakaian dalam digeledah. Kamar pembantu, sopir, mungkin kalau ada kecoak atau apa dibongkar. Semua, WC juga dibuka," ujar Yunadi di depan rumah kliennya, Jakarta, Kamis (16/11/2017).
Dia juga protes putusan KPK menjemput paksa Setya Novanto. Terlebih, KPK baru memanggilnya sekali sebagai tersangka, yakni pada Rabu 15 November 2017. Oleh karena itu, dia menilai KPK melanggar KUHAP.
"Kalau ada alasan layak, (pemanggilan) ketiga, baru dijemput. Tapi ini malah pakai surat perintah penangkapan. Hal ini segera saya ajukan praperadilan. Khususnya untuk penangkapan kemarin," kata Yunadi. (Andri Setiawan)
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Setya Novanto Buron?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mempertimbangkan untuk menerbitkan surat permohonan agar Setya Novanto masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). KPK mengaku akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan Polri soal ini.
Pengacara Setya Novanto, Fredrick Yunadi, enggan menanggapi rencana penetapan Setya Novanto sebagai buron tersebut.
"Itu hak KPK, bukan urusan saya," kata Fredrick, di depan rumah Setya Novanto, Jalan Wijaya XIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (16/11/2017).
Menurut dia, KPK telah berbohong kepada publik perihal mangkirnya Setya Novanto dalam pemanggilan kasus korupsi E-KTP. Fredrick mengaku kesal karena KPK tidak mengindahkan undang-undang dasar dalam proses-proses hukum yang dilakukan.
"Karena KPK bersikeras dia punya undang-undang yang bisa mengalahkan segalanya, termasuk Undang-Undang Dasar bisa dikesampingkan," kata Fredrick.
Advertisement