Liputan6.com, Jakarta - Pulau-pulau dikenal karena berbagai alasan. Ada yang terkenal sebagai tujuan wisata karena pantai yang cantik, ombak yang bagus untuk selancar, atau terumbu karang yang indah untuk snorkeling.
Ada juga beberapa yang terkenal karena keberadaan gunung berapi, lintasan pendakian, atau suku-suku pribumi. Tapi, ada juga yang terkenal karena satwa khas di sana, semisal Pulau Komodo di Indonesia.
Sementara itu, Christmas Island, wilayah Australia yang terletak di Samudra Hindia, terkenal karena 40 hingga 50 juta kepiting merah cerah yang hanya ada di pulau tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Kebanyakan waktu hewan-hewan itu dihabiskan dalam parit-parit di dasar hutan hujan lembab di pulau demi kepentingan menjaga kelembaban tubuh.
Kepiting-kepiting jantan mulai bergerak ke pantai pada awal musim hujan di Oktober atau November, lalu menggali parit cinta di pantai untuk menunggu kepiting betina yang menyusul kemudian.
Setelah musim kawin, kepiting-kepiting kembali ke dalam hutan hujan meninggalkan telur-telur yang telah dibuahi di pantai, dan anak-anak kepiting menyusul 4 minggu kemudian setelah mereka menetas di pantai.
Ada juga hewan-hewan yang menjadi liar setelah leluhur mereka dibawa ke pulau. Seiring perjalanan waktu, mereka berbiak dan kembali menjadi liar.
Diringkas dari listverse.com pada Kamis (16/22/2017), berikut ini adalah enam pulau yang dihuni satwa yang leluhurnya bukan menjadi peliharaan manusia:
1. Iguana Hijau di Grand Cayman
Pulau terbesar di gugusan Kepulauan Cayman itu telah diserbu oleh iguana hijau yang sebenarnya hidup di Amerika Tengah dan Selatan, lalu dibawa manusia ke pulau itu sebagai hewan peliharaan pada 1980-an.
Iguana hijau memang termasuk herbivora yang jinak, tapi tetap membahayakan pulau karena mereka merusak batang pohon liar, merusak kebun dan ladang, dan bersaing pangan dengan spesies setempat.
Pemerintah mengkhawatirkan penyebaran iguana hijau dari Grand Cayman ke Little Cayman dan Cayman Brac sehingga dicarilah cara pemusnahan hewan itu di Grand Cayman.
Sebelum 2010, pembunuhan iguana merupakan tindakan melanggar hukum di Grand Cayman, tapi ada perkecualian terhadap iguana hijau.
Antara Mei 2916 dan November 2017, para pemburu terdaftar dihadiahi US$ 2 untuk setiap iguana hijau yang mereka bunuh.
Hasilnya, terjadi pengurangan lebih dari 8.500 iguana dari Grand Cayman. Tapi, itu belum apa-apa dibandingkan dengan kira-kira 1 juta iguana hijau yang hidup di sana.
Advertisement
2. Kuda Liar di Pulau Assateague
Pulau Assateague yang dimiliki bersama oleh Maryland dan Virginia merupakan rumah bagi 300 kuda liar. Dua per tiga pulau menjadi milik negara bagian Maryland, sedangkan sisanya di selatan menjadi milik Virginia.
Karena ada pagar pembatas, kuda-kudanya pun terbagi dalam 2 jenis. Kelompok di Virginia disebut dengan "kuda poni Chincoteague," sedangkan yang di utara dikenal sebagai "kuda liar Assateague."Kuda liar Assateague sebenarnya merupakan keturunan dari kuda peliharaan yang dikembalikan ke keadan liar.
Beberapa pihak mengatakan bahwa kuda poni Chincoteague seharusnya disebut kuda biasa, bukan kuda poni. Tapi kuda poni itu malah didaftarkan menjadi ras tertentu yaitu "Chincoteague Pony" pada 1994.
Rata-rata tinggi kuda di Pulau Assateague berada dalam rentang parameter yang lazimnya untuk kuda poni, bukan kuda biasa. Tubuh yang lebih kecil diduga menjadi akibat jenis makanan mereka, yaitu rerumputan rawa yang kurang gizi.
Belum diketahui cara pastinya kuda-kuda itu menetap di Pulau Assategue. Legenda setempat menceritakan bahwa mereka adalah hewan yang selamat dari sebuah kapal karam pada masa lalu.
Para pendukung teori ini mengacu kepada banyaknya bangkai kapal di kawasan dan juga adanya praktik lazim mengangkut kuda menggunakan kapal.
Pandangan-pandangan lain menduga bahwa kuda-kuda itu dibawa ke Pulau Assateague pada akhir 1600-an oleh para pemilik yang ingin mangkir dari aturan pemagaran dan pajak ternak.
Kuda-kuda di pulau itu menjadi atraksi populer, walau harus diingat bahwa mereka bukanlah hewan peliharaan. Setiap tahun, para pengunjung yang terlalu mendekat pun ditendang atau digigit.
3. Tikus di Pulau Henderson
Pulau Henderson adalah pulau terumbu terpencil di Pasifik Selatan. Tidak ada manusia hidup di sana, tetapi pulau itu kaya akan kehidupan liar.
Di Pulau Henderson ada burung, invertebrata, dan tanaman yang tidak ada di tempat manapun di seluruh dunia.
Tapi pulau itu juga memiliki masalah besar dengan tikus. Tikus-tikus Polinesia dibawa ke pulau itu oleh para pelaut pada kira-kira 800 tahun lalu.
Para peneliti yang berkunjung ke pulau pada masa kini harus berhati-hati dengan paket-paket makanan mereka karena tikus-tikus itu menggigiti tenda untuk bisa meraih kudapan yang ada di dalam.
Hewan-hewan itu bahkan menyantap anak-anak burung. Sekitar 95 persen piyik yang menetas di Pulau Henderson menjadi santapan tikus hanya dalam waktu 1 minggu saja.
Jenis burung yang menjadi korbannya termasuk burung petrel Henderson, yaitu burung laut yang bersarang di permukaan tanah dan termasuk satwa langka.
Demi menyelamatkan hewan-hewan penghuni asli, digagaslah suatu rencana untuk membasmi tikus-tikus. Pada 2011, ditebarlah 80 ton racun tikus di seluruh pulau.
Pada awalnya racun itu tampak berhasil dan jumlah tikus menyusut hingga kurang dari 100 ekor. Namun demikian, tikus-tikus yang tersisa berbiak dengan cepat.
Seekor tikus betina bisa melahirkan 6 bayi setiap beberapa bulan. Hewan betinanya pun hanya perlu 2 atau 3 bulan untuk menjadi dewasa dan mampu berbiak.
Sebagai akibatnya, populasi tikus di Pulau Henderson sekarang ini berada pada angka 50 hingga 100 ribu, sama dengan angka sebelum penyebaran racun.
Advertisement
4. Kucing di Pulau Tonawanda
Ada sebuah pulau kecil di sungai Niagara, negara bagian New York, yang dihuni oleh beberapa orang, tapi dipadati oleh kucing-kucing terlantar.
Beberapa tahun lalu, Pulau Tonawanda dibanjiri oleh ratusan kucing sakit yang tak terawat. Sebagian dari mereka mungkin tiba di pulau dengan caranya masing-masing, tapi orang-orang pun membuang kucing-kucing tak diinginkan ke sana.
Kucing-kucing itu membuang tinja di mana-mana dan bertengger ke atas perahu-perahu yang sedang berlabuh di dermaga. Hal itu menyebabkan masalah bau di pulau tersebut.
Pada 2014, Danielle Coogan yang tinggal di pulau utama North Tonawanda mengunjungi restoran populer di pulau dan mengkhawatirkan situasi kucing di pulau, lalu memutuskan untuk melakukan sesuatu.
Wanita itu memulai penggalangan dana "Operation Island Cats" yang sangat berhasil. Dengan uang yang didapat, Coogan dan sekelompok sukarelawan menangkap, melakukan kebiri, dan memberi vaksinasi kepada kucing-kucing di sana.
Anak-anak kucing diiklankan untuk diadopsi, tapi kucing-kucing yang lebih tua dikembalikan ke pulau asalnya.
Kucing-kucing yang hidup di Pulau Tonawanda sekarang ini terlindungi dari rabies dan penyakit lazim lainnya pada kucing. Mereka juga tidak bisa lagi beranak terlalu banyak.
Kucing-kucing di sana cukup sejahtera, tapi mengalami hambatan tahun lalu. Pada musim semi 2016, seorang pekerja melakukan bersih-bersih setelah kebakaran di restoran dermaga dan tidak sengaja menabrak penangkaran kucing menggunakan bulldozer.
Para pemilik restoran bersikeras bahwa kerusakan itu terjadi karena kecelakaan. Tidak ada kucing yang terdampak dan Coogan pun kembali melakukan penggalangan dana untuk memperbaiki yang telah rusak.
5. Kelinci di Okunoshima
Okunoshima adalah sebuah pulau kecl berjarak 3 kilometer dari pantai Jepang. Pulau itu dikenal juga sebagai Pulau Kelinci karena populasi besar kelinci jinak di sana.
Caranya kelinci-kelinci itu pertama kalinya tiba di pulau masih menjadi perdebatan. Beberapa orang mengatakan bahwa hewan-hewan itu tertinggal ketika Okunoshima masih menjadi situs rahasia milik militer pada masa Perang Dunia II.
Pulau kecil itu dihapus dari semua peta Jepang karena lokasinya menjadi tempat produksi gas beracun yang menewaskan puluhan ribu orang. Kelinci-kelinci dibawa ke sana untuk mencoba daya bunuh zat kimia tersebut.
Tapi banyak pakar yang tidak sepandangan. Menurut mereka, kelinci-kelinci percobaan telah mati semuanya dan tidak ada yang tersisa sehingga bisa berkeliaran di pulau.
Teori ke dua mengatakan adanya wisata sekolah ke pulau itu pada 1971 dan ada beberapa kelinci yang tertinggal. Karena tidak memiliki pemangsa alamiah, populasi kelinci membludak menjadi sekitar 1000 ekor sekarang ini.
Banyak orang berkunjung ke pulau untuk menyaksikan kelinci-kelinci, tapi wisata tersebut membawa dampak negatif. Karena orang memberikan cemilan, kelinci-kelinci itu semakin berkembang biak mencapai jumlah yang tidak bisa ditopang oleh sumberdaya di pulau.
Kelinci juga termasuk hewan yang makan sebanyak-banyaknya atau kemudian kelaparan sama sekali. Ketika menyantap terlalu banyak saat hari cerah karena diberi oleh para turis, sistem pencernaan mereka rusak saat turis tak datang karena terhalang cuaca buruk.
Advertisement
6. Wallaby di Pulau Lambay
Wallaby adalah sejenis hewan marsupial pribumi di Australia, tapi juga menyintas di Pulau Lambay, sebuah pulau kecil milik pribadi di lepas pantai Irlandia. Pulau Lambay berjarak 14.500 kilometer dari tempat asal wallaby.
Di Australia, wallaby menikmati cuaca yang lebih hangat, padahal Pulau Lambay jarang lebih hangat daripada 15 derajat Celcius.
Tapi, pulau itu memiliki bebatuan dan tebing-tebing terjal yang disukai wallaby dan mereka telah menyesuaikan diri dengan pertumbuhan bulu yang lebih lebat.
Wallaby juga tergolong hewan pemalu, sehingga keterpencilan pulau itu cocok bagi mereka.
Hewan-hewan itu dibawa ke sana oleh pemilik pulau pada 1950-an, bersama-sama dengan beberapa spesies lain seperti penyu dan kadal. Tapi hanya wallaby yang bertahan.
Pada pertengahan 1980-an, pulau itu kedatangan 7 ekor wallaby tambahan dari kebun binatang Dublin yang tidak lagi memelihara mereka.
Tidak diketahui jumlah wallaby di pulau itu sebelum ada tambahan dari Dublin dan jumlahnya sekarang juga tidak diketahui karena hewan-hewan itu tidak ditandai.
Perhitungan jumlahnya juga sulit karena kecenderungan hewan itu untuk bersembunyi, tapi diduga antara 30 hingga 50 ekor.