Liputan6.com, Jakarta Ananda Sukarlan berbeda dengan orang kebanyakan. Dan ini bukan hanya karena dia jauh lebih piawai mendentingkan piano dibanding rata-rata orang.
Pria kelahiran 10 Juni 1968 ini memiliki sindrom Asperger. Mengutip WebMD, Jumat (17/11/2017), sindrom asperger adalah kondisi yang dikategorikan sebagai gangguan spektrum autisme, dan lebih ringan dibanding spektrum autisme yang lain.
Advertisement
Orang dengan sindrom Asperger seperti Ananda Sukarlan bisa "berfungsi tinggi". Artinya mereka masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari dan memiliki kemampuan layaknya orang-orang lain tanpa sindrom ini.
Namun, sindrom asperger membuat penderitanya memiliki kesulitan berinteraksi sosial.
"Dulu waktu kecil saya sering dibilang enggak sopan, karena enggak mau lihat mata orang," kenang Ananda Sukarlan. Besar di tahun 70-an, orangtua Ananda sama sekali belum mengenal apa itu sindrom asperger atau bahkan austime.
"Tapi saya bersyukur karena saya tidak didiagnosis dari kecil, karena hal itu jadi memaksa saya belajar," ujarnya. Orangtua Ananda berusaha melatih anaknya agar bisa memiliki interaksi sosial yang lebih baik.
"Makanya saya bilang, jadi orang dengan autisme atau asperger itu bukan alasan untuk jadi brengsek," cetusnya. "Karena hal itu sebenarnya bisa dilatih."
Penjelasan Ananda Sukarlan itu dilontarkannya menanggapi stigma, orang-orang dengan sindrom asperger atau autisme memiliki perilaku tidak sopan, karena kesulitan mereka untuk melakukan interaksi sosial.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Ditemani oleh musik
Ananda Sukarlan belajar bermain piano sejak usia 5 tahun. Dia mengatakan, piano menolongnya dalam banyak hal.
"Saya itu susah berteman, tapi untungnya saya bisa bermain piano. Karena saya bisa main piano, jadi banyak yang mau main sama saya," cetusnya sambil tertawa.
Orang dengan sindrom asperger memang cenderung memiliki kelebihan atau fokus yang spesifik terhadap satu hal, misalnya sepert Ananda Sukarlan dengan musiknya.
"Jadi orang dengan sindrom asperger itu penyebaran sel otaknya berbeda dengan orang tanpa asperger," jelasnya. "Makanya kita ada yang jadi fokus atau jago banget pada satu hal, tapi ada hal lain yang kita enggak bisa sama sekali, padahal buat orang lain itu bukan masalah."
Piawai mendentingkan tuts-tuts piano, pria berusia 49 tahun ini mengaku sama sekalli tidak bisa menyetir. "Tiap belajar nyetir saya pasti nabrak. Itu karena otak saya enggak bisa koordinasinya."
Selain tidak bisa menyetir mobil, Ananda juga bilang dia memiliki kesulitan menggambar suatu benda tiga dimensi jadi dua dimensi saja.
Tapi ketika berbicara tentang musik, Ananda bisa jadi seorang jenius. Dia memiliki pemahaman yang sangat mendalam tentang nada-nada dan suara, serta konsep musik, jauh melebihi orang-orang lainnya.
"Ada satu kelas dimana kita mengalisis satu karya, misalnya Beethoven, dan kita diminta untuk membuat karya dengan struktur yang sama," Ananda Sukarlan berkuliah di Royal Conservatory of Den Haag di Belanda, "Kami biasanya diberi waktu satu minggu."
Buat Ananda, membuat karya baru dari struktur musik yang sudah ada sebelumnya adalah hal yang sangat mudah. "Saya bisa mengerjakannya hanya dalam beberapa menit, sambil di kamar mandi, atau apalah," ujarnya. Sedangkan untuk teman-temannya yang lain, satu karya membutuhkan waktu satu minggu. Semua itu berkat sindrom asperger yang dimilikinya.
Tak heran kalau kemudian pria yang namanya masuk dalam daftar Who's Who in Music versi Camridge ini sempat diduga ber-IQ tinggi alias jenius.
Advertisement
Terdiagnosis karena dikira jenius
Saat sedang memberi seminar di Bulgaria, seorang penonton mendekati Ananda Sukarlan setelah penampilannya selesai.
"Kamu besok ngapain?" Ananda menuturkan pertanyaan orang itu, yang ternyata adalah anggota Mensa (komunitas orang-orang dengan IQ tinggi tertua dan terbesar di dunia). Dia meminta Ananda untuk ikut ke tempatnya untuk dites.
Kepiawaiannya dalam bermain piano, membuat anggota Mensa yang tak disebutkan namanya ini mengira Ananda Sukarlan memiliki IQ di atas rata-rata atau seorang jenius. Batas paling rendah IQ anggota mensa adalah 132 (untuk tes IQ Stanford-Binet).
Walau mengaku ragu, Ananda memutuskan untuk datang untuk dites. "Tesnya ada banyak, psikologi, diagnosa segala macam," lanjutnya lagi.
"Setelah dites, terbukti memang kalau saya bukan jenius," ujarnya. Namun hasil tes itu juga memberikan informasi, kalau Ananda memiliki sindrom Asperger dan Tourette.
Bagi Ananda, diagnosisnya ini memberikan jawaban. "Ada kalanya saya memang mikir, 'kok saya enggak berguna banget, ya' saat saya enggak berhasil mengerjakan sesuatu yang gampang buat orang lain," kenangnya. "Jadi ketika terdiagnosis, hal ini memberikan jawaban, ada apa sebenarnya dengan saya."