Kendali Mimpi hingga Hapus Memori, Ini 5 Hal yang Nyaris Mustahil

Kadang-kadang pertanyaannya terdengar konyol, tapi memicu pemikiran mendalam untuk menjawabnya.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 17 Nov 2017, 20:20 WIB
Ilustrasi mimpi yang jelas atau dikenal sebagai 'lucid dreaming'. (Sumber Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Menarik sekali menyimak hal-hal yang ingin diketahui orang ketika mereka mencari melalui Google. Kadang-kadang pertanyaannya terdengar konyol, tapi memicu pemikiran mendalam untuk menjawabnya.

Misalnya tentang kemungkinan menghapus sidik jari manusia. Tentu saja mungkin, tapi jelas menyakitkan karena menggunakan cara-cara seperti penggunaan silet, mengamplas, melepuhkan, atau membuatnya cacat dengan cairan asam.

Menurut FBI, ratusan kriminal melakukan semua itu agar lolos dari deteksi pihak penegak hukum. Namun, sidik jari terbentuk bahkan sebelum lahir dan akan tumbuh kembali ke pola semula.

Diringkas dari toptenz.net pada Jumat (17/11/2017), berikut ini adalah sejumlah hal yang mungkin dilakukan walaupun kedengarannya mustahil:


1. Mungkinkah Mengendalikan Mimpi?

 

Ilustrasi mimpi (iStock)

Ada beberapa teknik untuk meraih kendali atas mimpi kita, yang dikenal sebagai mimpi jernih (lucid dream). Kuncinya adalah agar kita sejak awal mawas bahwa kita sedang bermimpi.

Hal itu bisa dicapai dengan mengatur kebiasaan "uji kenyataan" ketika sedang bangun, misalnya membaca teks dan membacanya ulang untuk melihat apakah teksnya berubah. Menurut beberapa penelitian, sekitar 95 persen teks dalam mimpi berubah ketika dibaca ulang.

Gagasannya adalah agar sering melakukan kebiasaan ini saat terbangun sehingga terbawa ke dalam mimpi dan mengundang kesadaran diri (self-awareness).

Pilihan lain adalah dengan memanfaatkan masker lucid dream yang dilengkapi lampu LED terprogram untuk berkedip nyala-mati ketika kita tidur.

Digabungkan ke dalam situasi mimpi apa pun yang kita alami, lampu-lampu yang berkedip dimaksudkan sebagai pengingat bahwa sudah waktunya kita mengambil kendali.

Setelah mengerti tentang hal ini, orang melakukan berbagai hal lain. Mereka bisa melakukan apa pun, misalnya terbang ke udara, terbenam dalam khayalan seksual, menciptakan dunia dari ketiadaan, dan menjelajahi ruang-ruang rahasia.

Kemampuan untuk mengendalikan mimpi juga berguna untuk mengatasi ketakutan atau mimpi buruk. Misalnya, seseorang yang mendapati dirinya terkunci dalam jeruji besi milik sosok monster bisa dengan tenang mengusir monster tersebut ketika ia menyadari bahwa itu semua hanya mimpi.


2. Mungkinkah untuk Tidak Bermimpi?

 

(Sumber iStockphoto)

Beberapa orang mengaku tidak pernah bermimpi sekali pun, atau hanya bermimpi di bawah keadaan tertentu. Sebenarnya, semua orang bermimpi, hanya saja ada orang-orang yang lebih baik dalam mengingat-ingatnya.

Menurut suatu penelitian tim Prancis pada 2013, orang yang tidak mengingat mimpi mereka – sehingga mengaku tidak bermimpi – menampilkan pola wicara dan perilaku yang kompleks ketika tidur, sama seperti orang-orang lain.

Pola itu termasuk berbicara, bertengkar, atau mencaci-maki saat tidur dalam keadaan rapid eye movement (REM), yaitu siklus tidur ketika mimpi terjadi.

Diduga, kunci untuk mengingat mimpi adalah keseringan orang terbangun (walaupun hal terbangun itu sendiri biasanya juga terlupakan).

Suatu penelitian mendapati bahwa orang yang paling mengingat mimpi-mimpi mereka rata-rata terbangun selama 30 menit pada malam hari. Orang-orang yang tidak mengingat mimpi hanya terbangun rata-rata 14 menit dalam semalam.


3. Mungkinkah Tidak Berpikir?

 

(Sumber iStockphoto)

Kita semua pernah mengalami saat-saat ketika kita ingin sejenak mengistirahakan otak kita atau bahkan menghentikannya sekaligus. Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan semua organ dalam tubuh, otak terus-menerus bekerja.

Mungkin kita pernah mencoba meditasi, tapi kemudian menyerah karena begitu derasnya arus pikiran dalam otak. Jadi kita mengetahui betapa sulitnya mencapai pikiran yang benar-benar kosong.

Tentu saja, pengurangan percikan-percikan mental tidak sama dengan kematian otak. Menurut pengkuan banyak rahib (biarawan), hal itu mungkin dilakukan.

Tapi, kalau tidak berpikir sama sekali, maka secara evolusioner hal itu tidak mungkin dilakukan oleh manusia.

Serupa dengan leluhur prasejarah kita, dalam berbagai bentuk, kita terus waspada terhadap pemangsa, ancaman, dan jalan keluar.

Dan, sebagai makhluk sosial, kita secara alamiah terbentuk untuk terus-menerus menelaah hubungan, status, dan pengaruh kita, serta kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan semua itu.

Kenyataannya, berpikir menjadi bagian penting bagi eksistensi kita sehingga memerlukan 20 persen energi kita ketika sedang beristirahat, padahal berat otak hanya 2 persen dari berat tubuh.


4. Mungkinkah Mati Kebosanan?

 

(Sumber iStockphoto)

Ada dua cara untuk menjawab pertanyaan ini, walaupun pada dasarnya dua jawaban itu bernada sama, yaitu "begitulah kira-kira."

Pertama, orang mati kebosanan ketika melakukan hal-hal berbahaya untuk melawan kebosanan itu. Dan orang yang gampang bosan lebih berkemungkinan mengambil risiko lebih tinggi.

Mereka juga lebih rentan terhadap ketagihan narkoba, alkohol, agresi, dan perilaku-perilaku kompulsif lain yang bisa membawa maut.

Lebih parah lagi, perlahan-lahan mereka cenderung memerlukan lebih dan lebih lagi stimulus berisiko tersebut untuk mencapai dampak yang sama, yaitu semburan endorfin yang membantu melepaskan diri dari kebosanan.

Orang juga sepertinya bisa meninggal sebagai akibat langsung kebosanan itu sendiri. Pada 1980-an, ribuan pegawai sipil Inggris berusia antara 35 dan 55 disurvei tentang tingkat kebosanan mereka dalam empat minggu sebelumnya.

Kemudian, pada 2009, para peneliti memeriksa siapa saja yang sudah meninggal, kecuali mereka yang memang sudah memiliki penyakit jantung dari awal.

Temuan mereka, orang-orang yang melaporkan tingkat kebosanan yang lebih tinggi di tempat kerja lebih berkemungkinan mati muda karena masalah jantung dan juga menilai kesehatan mereka secara keseluruhan memang lebih buruk.

Hasil-hasil itu memang jauh dari kesimpulan yang kokoh karena ada faktor-faktor lain yang terlibat, tapi dampak negatif keadaan pikiran terhadap tubuh sudah sangat diketahui. Misalnya stres, kesepian, dan depresi yang semuanya dapat menghancurkan sistem kekebalan yang sehat.


5. Mungkinkah Menghapus Ingatan?

 

Ilustrasi hipnosis. (Sumber Pixabay)

Jawabannya, bukan hanya menghapus ingatan (memory), tapi ternyata mungkin juga menyisipkan ingatan.

Karena kemajuan-kemajuan pengertian kita tentang caranya ingatan bekerja, maka obat dan terapi untuk menghapus, mengubah, atau mengganti ingatan-ingatan yang buruk menjadi prospek yang sangat nyata.

Tidak seperti dikira banyak orang, menggali ingatan bukan seperti orang mengakses laci arsip, tapi lebih seperti orang membuat kaca, yakni dengan cara meniup kala kaca itu tengah panas. 

Seperti halnya kaca yang meleleh, ingatan-ingatan bisa ditempa ketika dalam pembentukannya dan baru belakangan mendapatkan bentuk tetapnya.

Maka, setiap kali ingatan digali, ingatan itu menjadi lunak lagi melalui proses yang dikenal sebagai rekonsolidasi. Selama proses itulah ingatan-ingatan bisa disergap untuk diubah atau dihapus sama sekali. Walaupun teknik itu belum diuji pada manusia, ada beberapa alasan mengapa cara itu akan berhasil.

Pada 2014, pada peneliti menggunakan laser untuk melakukan manipulasi neuron-neuron tikus sehingga berhasil menghapus ingatan-ingatan tentang kejutan-kejutan listrik pada kaki-kaki tikus-tikus tersebut.

Mengenai pencangkokan ingatan-ingatan palsu, para ahli psikologi sudah lama mengerti tentang kekuatan sugesti.

Melalui manipulasi ingatan-ingatan dalam tahap lunak saat rekonsolidasi tersebut, orang bisa diyakinkan tentang segala sesuatu, bahkan, misalnya agar merasa bersalah tentang kejahatan yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya