Liputan6.com, Washington, DC - Pemerintahan Donald Trump pada Jumat lalu, mengancam akan menutup kantor Palestine Liberation Organization (PLO) atau Organisasi Pembebasan Palestina di Washington DC. Langkah itu akan diambil jika Palestina tidak menunjukkan iktikad serius dalam melakukan perundingan damai dengan Israel. Demikian kata beberapa pejabat Kementerian Luar Negeri AS.
Menteri Luar Negeri Rex Tillerson mengungkapkan bahwa Palestina telah melanggar perundingan damai itu. Rencana penutupan misi itu adalah hal langka. Namun, dalam undang-undang, AS dapat menyerukan penutupan misi Organisasi Pembebasan Palestina jika mereka bertindak melawan Israel di Pengadilan Pidana Internasional (ICC), kata beberapa pejabat Deplu AS.
Dikutip dari CNN pada Minggu (19/11/2017) Kemlu AS menegaskan bahwa Presiden Palestina Mahmoud Abbas menghadapi pelanggaran hukum pada September lalu. Saat itu, Abbas meminta ICC untuk menyelidiki dan mengadili Israel karena kejahatan perang terhadap orang-orang Palestina.
Baca Juga
Advertisement
Dalam sebuah pidato di Majelis Umum PBB, Abbas mengatakan bahwa orang-orang Palestina telah meminta ICC "untuk membuka penyelidikan dan mengadili pejabat Israel atas keterlibatan mereka dalam kegiatan permukiman dan agresi terhadap rakyat kita".
Saeb Erekat, pejabat tinggi PLO dan negosiator utama Palestina, mengatakan, Palestina telah menanggapi tekad Tillerson dengan memperingatkan bahwa mereka akan mengakhiri semua kontak dengan pemerintah Trump jika menutup kantor AS.
"Ini adalah tekanan yang diberikan pemerintahan AS dari pemerintah Netanyahu, pada saat kita berusaha untuk bekerja sama untuk mencapai kesepakatan akhir, mereka mengambil langkah-langkah yang akan melemahkan seluruh proses perdamaian," kata Erekat dalam sebuah pernyataan kepada CNN.
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengeluarkan sebuah pernyataan singkat yang menyebutkan rencana pemerintah Trump adalah "masalah hukum AS".
"Kami menghormati keputusan tersebut dan berharap dapat terus bekerja sama dengan AS untuk memajukan perdamaian dan keamanan di wilayah ini," katanya.
Associated Press pertama kali melaporkan berita tentang rencana Menlu Tillerson untuk menutup misi PLO di AS.
Penutupan Misi Palestina Ancaman bagi Donald Trump
Ancaman terhadap Palestina akan kehilangan kantor mereka di Washington bisa menjadi titik tolak bagi Presiden Donald Trump saat ia berusaha membujuk orang-orang Palestina ke meja perundingan.
Pihak Israel dan Palestina sendiri tidak terlibat dalam perundingan langsung, tapi Jared Kushner, menantu Presiden Donald Trump dan seorang penasihat dewan tinggi Gedung Putih, dan Jason Greenblatt, seorang pembantu senior yang dituduh melakukan perundingan mengenai perdamaian Timur Tengah, telah bekerja untuk menjadi perantara kesepakatan damai demi mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Bulan ini, Gedung Putih mengatakan bahwa para pejabat sedang mempersiapkan sebuah proposal perdamaian yang ingin mereka sampaikan pada waktu yang tidak ditentukan.
Mereka tidak memberikan rincian apa pun tentang proposal tersebut. Namun, Kushner dan Greenblatt telah kembali ke wilayah Timur Tengah untuk bertemu dengan orang-orang Palestina, Israel, dan negara-negara Arab dengan harapan mendapatkan sebuah kesepakatan.
Latar Belakang Misi Palestina di AS
Meskipun Amerika Serikat tidak mengakui kenegaraan untuk rakyat Palestina, Presiden Bill Clinton mengeluarkan undang-undang pada era 1980-an yang melarang mereka untuk memiliki sebuah kantor perwakilan. Namun, saat itu ia memperbolehkan PLO, yang secara resmi mewakili semua orang Palestina, untuk membuka sebuah misi di Washington pada 1994.
Sementara itu, pada era Presiden Obama, pemerintah AS membolehkan misi Palestina tersebut mengibarkan bendera di atas kantor mereka dan meningkatkan status misi mereka, pada 2011.
Kongres menambahkan ketentuan undang-undang tersebut pada 2015, yakni penutupan misi jika Palestina berusaha "memengaruhi keputusan ICC dalam penyelidikan yang berwenang secara yudisial, atau untuk secara aktif mendukung investigasi semacam itu, yaitu meminta penyelidikan Israel atas dugaan kejahatan terhadap orang Palestina".
Sebelum perubahan undang-undang tersebut, presiden dapat membolehkan misi PLO tetap buka. Langkah itu demi melarang perwakilan Palestina di PBB atas nama kepentingan AS. Namun, peraturan itu berakhir pada November ini.
Sementara itu, Trump bisa menolak rencana keputusan Tillerson (untuk menutup misi PLO). Presiden kini memiliki waktu 90 hari untuk mempertimbangkan apakah Palestina terlibat dalam "negosiasi langsung dan bermakna dengan Israel" sebelum membuat keputusan semacam itu.
Namun, undang-undang tersebut tidak secara khusus menentukan seperti apa bentuk negosiasi yang dilakukan Paletina.
Bahkan, jika Trump memutuskan untuk menutup kantor tersebut, seorang pejabat Departemen Luar Negeri mengatakan bahwa Amerika Serikat tidak akan sepenuhnya memotong hubungan dengan Palestina dan fokus untuk mewujudkan kesepakatan damai yang komprehensif.
"Kami tetap fokus pada kesepakatan damai komprehensif antara Israel dan Palestina yang akan menyelesaikan masalah inti antara kedua belah pihak," kata pejabat tersebut dalam sebuah email.
"Tindakan (penutupan) ini sama sekali tidak ada hubungannya usaha perdamaian antara Israel dan Palestina. AS tetap akan mendukung,"
"Rencana penutupan juga tidak boleh dimanfaatkan oleh mereka yang berusaha bertindak mengalihkan perhatian dari kesepakatan damai ke masalah administrasi semacam ini." tutup pernyataan pejabat Kemlu AS.
Advertisement