Liputan6.com, Cilacap - Kalikudi adalah sebuah desa di Kecamatan Adipala Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Di tempat ini lahir dan berkembang berbagai adat tradisi warisan leluhur dan kepercayaan yang hidup berdampingan dengan agama lainnya.
Di tempat ini, kita bisa belajar, soal keterbukaan dan bagaimana mereka mengembangkan budaya toleransi agama. Saking tolerannya, doa di desa Kalikudi dilakukan setidaknya dua kali, dengan adat Jawa dan secara Islam.
Boleh dibilang, Kalikudi merupakan miniatur bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, ras dan budaya. Selain didiami oleh enam agama mainstream, di desa ini, berkembang pula kelompok penghayat kepercayaan dan pelestari adat kejawen yang jumlahnya mencapai 400 kepala keluarga.
Baca Juga
Advertisement
Sejak dahulu kala, agama-agama dan kepercayaan di Kalikudi belajar untuk bersikap terbuka, toleran, dan menghargai kepercayaan orang lain. Secara total, keseluruhan penduduk Kalikudi berjumlah sekitar 8.500 jiwa.
"Kalau ajaran kepada masyarakat yang memiliki kepercayaan lain, yang penting kita itu bisa hidup bisa terjalin kerukunan. Tidak usah saling menyalahkan, dan saling menyalahkan," Ketua Paguyuban resik Kubur Rasa Sejati (PRKRS) Kalikudi, Kiai Perna Gupala, mengisahkan, beberapa waktu lalu.
"Yang penting tidak saling intervensi, saling menghormati dan saling menghargai paham-paham yang lain."
Menurut Perna, mereka membuka ruang terbuka dan dialog yang memungkinkan anggota masyarakat yang berbeda kepercayaan itu saling berhubungan satu sama lain. Jika ada satu warga mengadakan selamatan atau kendurenan, maka dia akan mengundang tetangganya, tanpa memandang apa agamanya.
Saling Berkunjung untuk Mendoakan
Sudah menjadi kebiasaan, mereka saling berkunjung dan saling mendoakan tetangganya tanpa mempertimbangkan agamanya. Itu terjadi pada hari raya keagamaan, atau hanya ritual-ritual kecil, semacam selamatan memberi nama untuk bayi yang baru lahir.
Semua tetangga, baik yang beragama Muslim, Kristen, Buddha, Hindu, penghayat kepercayaan dan kejawen, berkumpul. Mereka saling mendoakan dengan caranya masing-masing. Nyaris tak ada sekat yang membedakan.
Penghulu Tengen Pasemuan Kidul, Kiai Pendi Winarso menuturkan, kebiasaan itu dilestarikan oleh penduduk selama puluhan, bahkan ratusan tahun, sejak awal mula berdiri Kalikudi. Pasemuan, adalah tempat ibadah penghayat kepercayaan dan kejawen yang telah berdiri sejak 150 tahun yang lalu, pada pertengahan 1800-an.
"Istilahnya kita itu tidak nge-blok. Kalau ada acara keagamaan, saya juga ikut. Apakah itu, rajaban atau peringatan maulid nabi. Biasanya itu ada undangan. Apakah itu di mushola, atau masjid. Meskipun saya orang adat, biasanya saya tetap diundang. Kalau saya punya acara ya, saya mengundang semua," Kiai Winarso mengisahkan.
Bahkan, saking tolerannya, doa dilakukan tak hanya sekali, namun bisa dua, tiga kali atau lebih. Doa dengan cara adat kejawen, dan dengan cara Islam. Dan dia pun yakin doanya akan dikabulkan Tuhan dengan cara apapun doa dipanjatkan.
"Doa secara Islam itu diserahkan kepada Pak Kayim. Kalau lainnya, secara adat, pengiriman seperti air suci, diserahkan kepada Kyai Kunci. Isi doanya sebenarnya sama saja. Ini adalah peninggalan adat," ia menerangkan.
Advertisement
Doa Dilakukan dengan Agama Masing-masing Tamu
Ia juga yakin, Tuhan akan menerima doa-doa yang dilakukan dengan berbagai prosesi. Sebab, doa adalah ungkapan-ungkapan kebaikan kepada sesama, bukan hanya sebuah golongan tertentu.
"Dari hati saya yang paling dalam, bahwa doa-doa dan puji-pujian itu akan diterima atau tidak, itu urusan Yang Maha Kuasa. Tetapi saya yakin, bahwa saya meminta agar doa kami diterima," ia menuturkan.
Adapun, Kayim desa setempat, Kadas berkomitmen untuk mendampingi seluruh golongan. Ia beralasan, sudah menjadi kewajibannya sebagai abdi masyarakat untuk melayani seluruh golongan.
Bahkan, tiap selapan hari atau 35 hari, pada ritual Muji Jumat Kliwon, kayim Kadas rela untuk tidak melaksanakan ibadah Salat Jumat berjamaah. Kayim yang jelas beragama Islam ini memilih untuk bersama-sama penganut kejawen dan penghayat kepercayaan menggelar ritual Muji jumat Kliwon. Menurut dia, itu merupakan bagian kewajibannya untuk melayani seluruh golongan.
"Karena kita itu sudah terikat. Dalam arti saya sebagai pamong desa atau kayim yang harus mengabdi kepada masyarakat. Sedangkan orang sini, yang ada di Pasemuan (rumah ibadah) ini betul-betul membutuhkan," ujar Kayim Kadas.
Lantas, bagaimana pendapat Ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) soal toleransi yang berkembang secara natural di di Desa Kalikudi ini?
Toleransi dalam Pandangan Ormas NU
Ketua Tanfidziyah Majelis Wakil Cabang Nahdatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Adipala, Cilacap, Kyai Haji Abdul Ghofur menerangkan, dalam kajian aqidah NU, disebut istilah ‘tasamuh’, yakni menghargai perbedaan dan kepercayaan orang lain, atau yang disebut sebagai toleransi.
Dalam Tarikh atau sejarah Nabi Muhamad, tasamuh atau toleransi juga sudah diajarkan. Tasamuh yang dibenarkan adalah tidak mengganggu agama lainnya. Itu termasuk menghormati kepercayaan dan agama yang berbeda.
"Islam yang toleran, adalah Islam yang menghargai terhadap semua golongan, semua aliran. Saya contohkan, kalau di Indonesia itu kan ada Islam NU, Muhamadiyah, Ahmadiyah, mungkin ada salafi. Di NU itu memang ada karakter atau sifat yang dimiliki oleh NU yang sangat mendasar, itu dikenal dengan istilah tasamuh. Menghargai kepada faham, aliran, juga kepada agama lain," Kiai Ghofur menerangkan.
Hal ini, ujar Kiai Ghofur, kemudian diperkuat dengan Surat Al Kafirun, yang salah satu ayatnya berbunyi “Lakum diinukum waliyadiin”. Yang artinya, “Untukmu agamamu untukku agamaku”. Ayat ini menurut Kyai Gofir menjadi penegas untuk saling menghargai kepercayaan, tanpa saling menyalahkan.
Iklim terbuka yang berkembang ini rupanya juga terjadi di tingkat keluarga. Toleransi di Kalikudi, tak hanya antar tetangga yang berlainan kepercayaan. Kepada anak-anaknya sekalipun, para penghayat kepercayaan dan penganut kejawen di Kalikudi tidak memaksakan anaknya mengikuti kepercayaan orangtua.
Menurut Bahu Pasemuan Lor, Kiai Sastro Kirwan, mereka tidak pernah memaksakan bahwa ajaran mereka yang paling benar. Sebab, pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa adalah sesuatu yang hakiki, dan diperoleh dengan belajar dan pengalaman hidup.
"Itu kenapa leluhur kita tidak memaksakan anak cucu. Bisa saja pengertian untuk ikut, tetapi soal ikut atau tidak ya tidak dipaksakan. Itu kepada anak cucu. Kalau ada orang lain yang mau ikut ajaran ini ya silahkan masuk, tidak dilarang. Kalau yang tidak butuh ya tidak dipaksakan," ucap Kiai Sastro, menegaskan.
Advertisement