Liputan6.com, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dinilai perlu membuat panitia khusus (pansus) Pertamina. Ini menyusul adanya potensi kehilangan pendapatan yang dialami oleh perusahaan plat merah tersebut sebesar Rp 19 triliun pada periode Januari-September 2017.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Menurut dia, dengan adanya masalah ini, DPR dan pemerintah harus melakukan audit investigasi terhadap kinerja keuangan Pertamina.
Baca Juga
Advertisement
"Harus di audit. Jika perlu buat Pansus Pertamina," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (19/11/2017).
Selain itu, lanjut Bhima, seharusnya Pertamina bisa lebih bersinergi dengan pemerintah, khususnya Kementerian ESDM dalam mengatasi potensi kehilangan pendapatan ini. Hal tersebut guna menghindari terjadinya kerugian akibat adanya masalah ini.
"Pertamina harus bisa sinergi dan pemerintah perlu mengawasi kinerja khususnya risiko keuangan," kata dia.
Sinergi tersebut, lanjut Bhima, perlu dilakukan karena persoalan kerugian yang dialami oleh Pertamina ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan kinerja yang terus menurun.
"Dengan adanya potensi kehilangan pendapatan ini ada dugaan kuat terjadi karena inefisiensi," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Potensi kehilangan pendapatan
Diberitakan sebelumnya, PT Pertamina (Persero) kehilangan potensi pendapatan sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 19 triliun hingga kuartal III 2017. Penyebabnya kenaikan harga minyak dunia yang tidak diimbangi dengan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi penugasan dari pemerintah.
Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik mengatakan, dalam 9 bulan terakhir harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) naik sebesar 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 37,88 per barel.
Dari kenaikan ini, Pertamina sebenarnya berharap ada kebijakan penyesuaian harga BBM. "Harga ICP itu rata rata 9 bulan di 2016 itu hampir US$ 38, US$ 37,88. Rata rata 9 bulan di tahun ini naik 30 persen, rata rata memang naik. Tentu harga naik ini tentunya kita berharap ada penyesuaian harga per tiga bulan," ujar dia di kawasan Thamrin, Jakarta.
Jika harga BBM tersebut dinaikkan, maka pendapatan yang diterima hingga kuartal III diperkirakan akan mencapai US$ 32,8 miliar. Namun, karena tidak ada penyesuaian maka pendapatan Pertamina tercatat hanya sebesar Rp 31,38 miliar.
"Hampir US$ 1,5 miliar (selisih). Dikalikan Rp 13 ribu maka hampir Rp 19 triliun. Jadi kita kekurangan revenue karena harga enggak disesuaikan," kata dia.
Meski demikian, pendapatan yang diraih Pertamina di kuartal III 2017 ini tetap lebih tinggi jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya sebesar US$ 26,62 miliar.
Namun laba bersih Pertamina hingga kuartal III tahun ini turun dibandingkan periode yang sama di 2016. Hingga September 2017, perusahaan plat merah tersebut hanya meraih laba bersih US$ 1,99 miliar, dari sebelumnya US$ 2,83 miliar.
"Walaupun tanpa laba, kita bisa mencatatkan laba US$ 2,83 miliar (kuartal III 2016). Cost kita naik 30 persen, bahan baku naik, maka kenaikannya hampir 27 persen. Angka EBITDA juga turun (dari US$ 6,23 miliar menjadi US$ 4,88 miliar)," jelas dia.
Meski mengalami kehilangan potensi pendapatan dan penurunan laba, namun Elia mengaku tak mempermasalahkan hal tersebut. Sebab, apa yang dijalankan Pertamina selama ini telah sesuai dengan kebijakan pemerintah.
"Tapi it's okay. Ini kan kebijakan pemerintah dinikmati oleh konsumen Pertamina. Konsumen dapat harga BBM yang lebih murah. Masalah harga banyak kan selama ini, ini ditentukan oleh pemerintah. Kedua, Pertamina kan sebenarnya milik pemerintah 100 persen," tandas dia.
Advertisement