Mau Bebas Korupsi, Pangeran Arab Harus Serahkan 70 Persen Aset

ternyata pemerintah Arab Saudi menawarkan solusi 'perdamaian' bagi petinggi kerajaan yang terseret kasus korupsi.

oleh Vina A Muliana diperbarui 20 Nov 2017, 22:17 WIB
Kendaraan melintas dekat hotel Ritz Carlton Riyadh yang sedang ditutup di Arab Saudi, 5 November 2017. Hotel bintang lima itu dijadikan sebagai rumah tahanan sementara 11 pangeran, empat menteri, dan puluhan mantan anggota kabinet. (FAYEZ NURELDINE/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Sebanyak 200 orang petinggi kerajaan dan pejabat Arab Saudi ditangkap pada awal November lalu terkait keterlibatan dalam kasus korupsi. Mereka ditahan oleh lembaga anti korupsi Arab Saudi yang dinahkodai oleh putera mahkota Pangeran Muhammad bin Salman.

Bagi petinggi kerajaan yang ingin bebas dari jeratan hukum tersebut, ternyata pemerintah Arab Saudi menawarkan solusi 'perdamaian'. Seperti dilaporkan CNBC, Senin (20/11/2017), para tahanan negara ini bisa bebas apabila menyerahkan 70 persen aset kekayaannya kepada negara, termasuk properti dan saham.

"Ada kesepakatan soal memisahkan uang dengan aset seperti properti dan saham. Pemerintah juga akan memeriksa akun bank untuk mengecek jumlah uang milik orang-orang yang ditahan," kata sumber yang dirahasiakan identitasnya.

Jika mereka setuju maka dana itu akan masuk ke anggaran pemerintah. Arab Saudi selama ini sangat bergantung dengan minyak dan rendahnya harga minyak dalam beberapa tahun belakangan menyebabkan defisit anggaran mencapai rekor hingga US$ 98 miliar pada 2015 dan tahun lalu defisit mencapai US$ 79 miliar.

Pemerintah Saudi juga memotong pengeluaran negara dan menaikkan pajak untuk mengatasi defisit anggaran.

Pengamat menilai tawaran kesepakatan ini bisa mengakhiri kehebohan kampanye anti-korupsi di Saudi tapi juga mempengaruhi citra Saudi di mata para investor.

"Mengakhiri ketidakpastian tentang apa yang akan dilakukan pemerintah dalam kasus ini membuat pasar lebih nyaman dan bisa menekan defisit," kata Louis Gargour, pengamat keuangan berbasis di London.

Sebelumnya, seorang mantan pejabat senior Arab Saudi bersedia menyerahkan kepemilikan saham bernilai empat miliar riyal atau sekitar Rp 14 triliun. Sementara pejabat yang lain masih dalam pemeriksaan terkait aset dan jumlah harta yang dimiliki.


Selanjutnya

Praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan petinggi kerajaan itu ternyata memberikan kerugian yang tidak sedikit. Jaksa Agung Arab Saudi, Sheikh Saud Al Mojeb, mengestimasi negara telah dirugikan US$ 100 miliar atau Rp 1.353 triliun (asumsi kurs Rp 13.535 per dolar Amerika Serikat) akibat praktik KKN di lingkungan pejabat selama beberapa dekade.

Dilansir dari Washington Post, ternyata praktik korupsi di kerajaan Arab Saudi tidaklah dilakukan dengan penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, seperti jalan-jalan atau suap, tetapi pejabat-pejabat ini sering menggelembungkan nilai kontrak proyek tertentu.

Para pangeran Arab dan pejabat senior bisa tiba-tiba menjadi miliarder gara-gara kontrak yang nilainya dilipatgandakan berkali lipat. Tak jarang, kontrak itu malah hanya ada di atas kertas alias fiktif belaka.

Salah satu contohnya proyek pembangunan gorong-gorong besar-besaran di Jeddah. Kontraktor hanya menaruh penutup lubang got di seluruh kota, tapi tidak pernah ada pipa pembuangan di bawahnya.

Contoh lainnya adalah pembangunan bandara di lokasi yang tidak semestinya. Hanya agar pangeran yang memiliki tanah tersebut mendapatkan keuntungan besar.

Sementara terkait dengan pangeran dan miliarder Alwaleed Bin Tawal, pria ini disebut terlibat pencucian uang, suap, dan kerap memeras para pejabat.

Hal yang sama juga dilakukan oleh mantan menteri utama kerajaan dan kepala Garda Nasional, Pangeran Miteb. Pangeran satu ini diduga melakukan penggelapan dan memberikan kontrak pada perusahaannya sendiri senilai puluhan miliar dolar AS.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya