Gubernur Sultra Nonaktif Nur Alam Didakwa Perkaya Diri Rp 2,7 M

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam telah merugikan negara sebesar Rp 4,3 triliun.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 20 Nov 2017, 22:12 WIB
Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam (tengah) mengenakan rompi tahanan KPK saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/7). Sebelumnya, Rabu (5/7), KPK menahan Nur Alam untuk 20 hari pertama. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam telah merugikan negara sebesar Rp 4,3 triliun. Nur alam juga didakwa telah memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi dalam jabatannya sebagai Gubernur.

Menurut jaksa, Nur Alam telah melawan hukum dalam memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi. Kemudian dari Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi jadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

Dari perbuatan melawan hukum itu, Nur Alam diduga telah memperkaya diri sebesar Rp 2,7 miliar. Selanjutnya Nur Alam juga memperkaya korporasi, yakni PT Billy Indonesia sebesar Rp 1,5 miliar.

"Terdakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara," kata Jaksa Afni Carolina membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (20/11/2017).

Jaksa mengungkapkan, kasus dugaan korupsi yang menjerat Nur Alam berawal sejak tahun 2009. Saat itu, Nur Alam minta anak buahnya Ikhsan Rifani untuk dicarikan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Kemudian, Rifani menyampaikan bahwa PT AHB sesuai dengan permintaan Nur Alam.

Kemudian Rifani menjalankan arahan Nur Alam dengan menyerahkan dokumen terkait PT AHB kepada Widdi Aswindi. Dalam dakwaan Widdi disebut selaku konsultan pemenangan Nur Alam saat mencalonkan diri sebagai gubernur.

Setelah itu, Rifani menyerahkan dokumen perusahaan PT AHB kepada Kepala Bidang Pertambangan Umum Dinas ESDM Provinsi Sultra tahun 2008-2013, Burhanuddin. Dari dokumen itu, Burhanuddin kemudian membuat surat permohonan IUP eksplorasi atas nama PT AHB.

"Rifani kemudian membawa surat permohonan itu untuk ditandatangani oleh Direktur Utama PT AHB M Yasin Setiawan Putra," imbuh jaksa.

Menurut jaksa, draf surat permohonan itu mencantumkan tanggal mundur (backdated), yakni tanggal 28 November 2008. Dan masih menurut Jaksa, Nur Alam bersama Burhanuddin dan Widdi Aswindi memberikan persetujuan pencadangan wilayah, IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi kepada PT AHB dengan melanggar prosedur.

"Nur Alam membuat kegiatan pertambangan PT AHB di Pulau Kabaena seakan-akan sesuai dengan ketentuan. Padahal semua proses persetujuan yang dilakukan Nur Alam bertentangan dengan ketentuan yang berlaku," ujar Jaksa.

 


Musnahkan Ekologis

Jaksa menambahkan, perbuatan Nur Alam telah mengakibatkan kerugian negara yang berasal dari musnahnya atau berkurangnya ekologis lingkungan di lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT AHB. Adapun kerugian terkait kerusakan tanah dan lingkungan yang diakibatkan pertambangan PT AHB di Kabupaten Buton dan Bombana itu mencapai Rp 2,7 triliun.

Jumlah tersebut diatas telah dihitung oleh ahli kerusakan tanah dan lingkungan hidup, Basuki Wasis. "Selain itu berdasar hasil audit penghitungan kerugian negara, ditemukan kerugian sebesar Rp1,5 triliun," imbuh dia.

Di sisi lain keuntungan yang didapat Nur Alam adalah pemberian Rp 1 miliar untuk membayar pelunasan satu unit mobil BMW Z4 tipe 2.3 warna hitam. Ada juga pembelian sebidang tanah berikut bangunan di Komplek Perumahan Premier Estate Blok I/9 seharga Rp 1,7 miliar.

Mobil dan rumah itu dibeli Nur Alam dengan atas nama Ridho Insana. Dia adalah salah satu pegawai negeri sipil di bawah Sekretaris Daerah Sulawesi Tenggara.

Nur Alam didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya