Hallucinogenic, Membaca Gagasan Rempah Titarubi

Kemilau pala setakar emas adalah gelimang darah musnahnya bangsa Banda, jubah berkilau emas sebagai perangkap jiwa kosong penduduk Banda.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 22 Nov 2017, 06:30 WIB
Repeat History Itself, upaya mengulang kejayaan masa lalu. Jubah dari buah pala menyiratkan adanya ribuan nyawa akibat berebut pala. (foto : Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Sebuah jubah berwarna emas berdiri tegak. Tak ada sosok manusia di dalam jubah itu. Ini adalah sebuah seni instalasi berbasis rempah. Buah pala menjadi bahan utama.

Inilah Repeats History Itself, sebuah seni instalasi karya seniman Bandung, Titarubi. Digelar di Pekan Rempah Poros Maritim Dunia yang dipusatkan di Gedung Lawang Sewu, Semarang, Jawa Tengah, mulai Kamis, 16 November 2017 hingga Minggu, 19 November 2017. Repeats History Itself adalah sebuah imajinasi kemewahan rempah. Dibuat dari ribuan pala berlapis emas berangkulan membentuk sebuah jubah berdiri tegak. Berkilauan.

Repeats History Itself adalah kelanjutan dan pengembangan karya serupa bertajuk Hallusinogenic. Nyaris mirip dengan Repeats History Itself, Hallusinogenic juga memajang jubah pala berwarna emas. Sosok berdiri tegak. Tak ada manusia.

Namun ada dua tangan yang tiba-tiba nongol dari lengan jubah. Tangan kiri menggenggam batang pohonan sebagai tumpuan, tangan kanan memegang buku berwarna perak diangkat tinggi.

Buah pala (Myristica Fragran) menjadi materi utama karya instalasi Repeats History Itself. Seni instalasi ini memiliki efek halusinogenic, berupa distorsi visual dan paranoid ideation. Layaknya kisah masa silam sengketa kuasa atas tanaman asli sepuluh gugusan Kepulauan Banda Neira sejak abad ke-16.

Titarubi, sosok perempuan yang memiliki kegelisahan atas pudarnya rempah, sumber konflik dunia di masa lalu. (foto : Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Titarubi, seniman Bandung yang menggubah karya ini menyebutkan bahwa Hallucinogenic dikerjakan sejak 2011. Pengerjaannya sendiri membutuhkan waktu empat bulan. Dibuat dari 25.000 butir pala yang didatangkan dari Banda dan 35.000 butir pala di Maluku.

"Butuh waktu 12 jam untuk pengeringan. Ini didatangkan dari Banda, untuk mendapatkan spirit kemewahan rempah masa lalu. Pelapisan emas dan pengeringan butuh waktu delapan jam. Pengerjaan berulang hingga seluruh buah pala terlapisi prada dengan baik," kata Tita.

Efek halusinogenic semakin menguat saat kedua tangan dan batang tongkat tumpuan berbahan kayu dibakar hingga legam. Melalui Repeats History Itself, Tita seakan berpesan bahwa di balik kemilau keuntungan perdagangan pala pada masa tersebut, tersimpan penderitaan penduduk asli kepulauan Banda.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 


Efek Hallusinogenic

Hallusinogenic, kemewahan akibat komoditi Pala yang bergelimang darah. (foto: Liputan6.com/relawan rempah/edhie prayitno ige)

Kemilau pala setakar emas adalah gelimang darah dalam musnahnya bangsa Banda, jubah kebesaran berkilau emas sebagai perangkap jiwa kosong para penduduk Banda. Buku di tangan kanan itu merupakan lambang kuasa pengetahuan. Siapa bisa menguasai ilmu pengetahuan, maka akan menguasai dunia.

Sebelum merangkai Repeats History Itself, Tita melakukan riset mengenai sejarah rempah, jalur sutra, masa lalu Banda. Titarubi menemukan kisah tentang pembantaian penduduk Banda Neira untuk merebut monopoli perdagangan pala pada 1621. Jan Pieterszoon Coen menjadi aktor di besar pembantaian tersebut. Sebagian penduduk Banda dibawa ke Batavia dan dijadikan budak. Sementara, para budak dari Batavia dibawa ke Banda untuk menggarap perkebunan lada.

"Repeats History Itself adalah sebuah respons dan tindak lanjut karya saya berjudul Hallusinogenic. Baru kali ini ada gagasan yang menggabungkan karya seni dengan komoditas rempah yang sejatinya sangat nyambung," kata Tita.

Dari kiri : Ariyani Djalal (relawan rempah), Agus Purwoto (sekretaris Menko Maritim), dan Titarubi berbincang di depan karya Tita. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Titarubi lahir di Bandung, 15 Desember 1968. Menapaki dunia seni dari seni keramik dengan mayoritas karya mengapresiasi gerak tubuh manusia. Tita mulai berkarya sejak tahun 1998 dan mendirikan Indonesia Contemporary Art Network (iCAN).

Karya-karyanya telah dipamerkan di Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2013, Singapore Arts Museum, ZKM Center for Art and Media di Jerman, National Gallery of Singapore, Singapore Bienalle, Museum and Art Gallery of the Northen Territory of Australia, Busa Bienalle Sculpture Project di Korea Selatan, Museo d'Arte Contemporanea di Italia, dan sejumlah tempat lain berskala dunia.

Dalam Pekan Rempah Poros Maritim Dunia itu, ditemui nyaris seluruhnya. Ada bahan mentah, industri dan karya seni dan bahkan ada juga seminar dan temu wicara. Temu wicara dengan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Laksda TNI (Purn) Agus Purwoto membuat serangkaian acara menjadi menarik, karena karyanya juga tentang maritim, kapal, laut, dan rempah. Pada saat penutupan acara Pekan Poros Maritim Berbasis Rempah ikrar kembali dibacakan oleh kaum muda dari komunitas Jamupedia, komunitas seniman Yogyakarta dan mahasiswa.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya