Batam - Sultan Mahmud Riayat Syah adalah raja kedelapan sekaligus raja terakhir dari Kesultanan Melaka. Dia terpilih menjadi raja menggantikan ayahnya, Sultan Alauddin Riayat Syah I. Sultan Mahmud Riayat Syah merupakan salah satu dari empat tokoh yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Tahun 2017 yang berasal dari Kepulauan Riau.
Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Sultan Mahmud Riayat Syah tercatat pernah memimpin dan berjuang dengan mengangkat senjata atau perjuangan politik untuk merebut, mempertahankan, mengisi kemerdekaan, dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sultan Mahmud Riayat Syah juga dinilai memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi hingga perjuangannya dinilai berdampak luas di kalangan masyarakat.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, Sultan Mahmud Riayat Syah juga dianggap tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan, mengabdi dan berjuang sepanjang hidupnya bahkan melebihi tugas yang diembannya. Dia pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara, hingga pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Sultan Mahmud Riayat Syah merupakan tokoh yang sangat disegani di tanah melayu terutama di Kepulauan Riau. Sultan Mahmud Riayat Syah adalah pemimpin Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Sultan Mahmud Riayat Syah atau dikenal juga dengan nama Sultan Mahmud Syah III dilantik menjadi sultan di usia yang sangat belia, ketika masih berusia dua tahun di tahun 1761 Masehi.
Kisah kepahlawanan Sultan Mahmud Riayat Syah yang begitu tersohor adalah perlawanannya terhadap pasukan Belanda di Tanjungpinang.
Abdul Malik, Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah), mengisahkan sepak terjang Sultan Mahmud Riayat dalam tulisannya yang berjudul "Sultan Mahmud Riayat Syah: Berhijrah ke Lingga demi Kelangsungan Perjuangan mengutip cerita E.Netscher, residen Belanda di Riau (1861-1870) dalam bukunya De Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865.
Baca berita menarik lain Batamnews.co.id di sini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Perlawanan Sengit di Tanjung Pinang
Kala itu, tanggal 13 Mei 1787 pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah menyusup ke selatan Terusan Riau melalui Penyengat dan Senggarang. Saat malam tiba, pasukan Sultan mulai terlihat dari benteng kecil di bukit. Tidak lama kemudian, pasukan Sultan maju dari arah gunung merapat ke pencalang atau kapal besar yang mengangkut barang dagangan sehingga pertempuran di terelakkan lagi.
Akibat dari serangan itu, banyak pasukan Belanda yang melarikan diri. Bahkan, seorang residen Belanda di Tanjungpinang kala itu, David Ruhde, melarikan diri ke Malaka.
Mengetahui armadanya dibuat tidak berdaya, Belanda kembali menyerang Tanjungpinang dengan angkatan perang yang lebih banyak di bawah pimpinan Pieter Jacob van Braam. Namun sekali lagi, Belanda harus pulang dengan tangan kosong. Hal ini lantaran pasukan Belanda tidak menemui Sultan beserta rakyatnya di pusat kesultanan di Pulau Bintan.
Sultan Mahmud sudah tahu rencana Belanda untuk menyerang balik. Karenanya, Sultan memindahkan pusat kesultanan ke Daik, Lingga. Sultan membawa rakyatnya dengan 200 perahu ke Lingga, ada yang ke Pahang, Bulang, Trengganu, Kalimantan dan kawasan lain di bawah kekusaaan Sultan Mahmud Riayat Syah. Taktik ini sengaja Sultan pilih untuk mengantisipasi jika satu kawasan diserang, maka tentara dan rakyat dari kawasan lain akan menyerbu musuh secara bersama-sama.
Dengan perpindahannya ke Lingga, Sultan menjadi penghalang besar bagi perdagangan Belanda di Selat Malaka sehingga Kejayaan Belanda di Malaka pun runtuh. Pada 1795, Inggris mengakui kedaulatan penuh Sultan Mahmud Riayat Syah. Pengakuan itu akhirnya diikuti oleh Belanda. Sultan Mahmud Riayat Syah wafat pada 1812 setelah memimpin Kesultanannya selama 51 tahun.
Advertisement
Pertempuran Bersejarah Riau Lingga
Nyat Kadir, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepri menyebut, untuk melengkapi data dan dokumen tentang Sultan Mahmud Riayat Syah, Pemprov Kepri sampai berburu dokumen ke Belanda. Dokumen yang dicari, kata Nyat, di antaranya; sejarah tentang pertempuran Kerajaan Riau-Lingga dengan VOC Belanda, siapa itu Sultan Mahmud Riayat Syah, dan wilayah kekuasaan Raja Riau-Lingga.
Selain itu, buku sejarah Kerajaan Riau-Lingga berjudul Tuhfat A-Nafis karya Raja Ali Haji dan buku berjudul Salatussaladin menjadi referensi untuk mengantar Sultan Mahmud Syah III sebagai Pahlawan Nasional.
Data pendukung lainnya yang berhasil didapatkan Pemkab Lingga yakni pengakuan VOC Belanda terhadap keberanian Sultan Mahmud Riayat Syah berperang di laut. Nyat menuturkan, Sultan Mahmud Syah III dikenal sebagai pejuang yang pantang menyerah melawan penjajah Belanda. Ia bahkan satu-satunya pejuang yang punya kemampuan bertempur dan bergerilya di laut.
"Sosoknya sangat disegani dan ditakuti dalam pertempuran di laut," ungkap Nyat.
Anggota Komisi VI DPR RI ini menambahkan, dalam sebuah pertempuran melawan Belanda pada tahun 1784, pasukan Kerajaan Riau-Lingga yang dipimpin panglimanya, Raja Haji Fisabilillah berhasil menenggelamkan kapal perang Belanda.
"Dalam peristiwa itu, sekitar 800 tentara VOC Belanda tewas. Ini merupakan pertempuran bersejarah Kerajaan Riau-Lingga. Peristiwa itu terjadi pada 6 Januari 1784," jelasnya.
"Tanggal itulah yang kemudian dijadikan sebagai Hari Jadi Kota Tanjungpinang karena pertempuran tersebut berada di wilayah sekitar perairan Tanjungpinang, Pulau Bintan," tambah Nyat.
Semasa kepemimpinannya, Sultan Mahmud Riayat Syah tak mau sedikit pun memberikan sejengkal wilayah kepada VOC Belanda. Meski VOC sempat membangun benteng di Tanjungpinang, berkat kemampuan pasukan Kerajaan Riau-Lingga dan dibantu pasukan Kerajaan Mempawah (Kalbar), benteng tersebut berhasil diledakkan.
Hingga akhirnya, setelah pertempuran itu, Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat kerajaannya dari Hulu Riau, Pulau Bintan, ke Kabupaten Lingga.
"Sultan Mahmud Riayat Syah punya alasan memindahkan pusat kerajaan di Lingga, karena wilayah tersebut tidak mudah dimasuki Belanda. Terdapat ratusan pulau di sekeliling pusat kerajaan Riau-Lingga tersebut. Terlebih pulau-pulau tersebut telah dihuni oleh lanun (warga suku laut) yang sangat hormat dan setia kepada Sultan Mahmud Riayat Syah.