Pesan Tersembunyi di Borobudur Writers and Cultural Festival 2017

Relief Gandawyuha menjadi salah satu simbol toleransi tertua di Nusantara.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 24 Nov 2017, 06:00 WIB
Relief Gandawyuha menjadi tema dalam Borobudur Writers And Cultural Festival 2017 yang berlangsung pada 23 sampai 25 November 2017 (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Borobudur Writers and Cultural Festival ke-6 yang diselenggarakan pada 23 sampai 25 November 2017 mengambil tema Gandawyuha. Salah satu relief di Candi Buddha terbesar di dunia itu menjadi salah satu rujukan tertua di Nusantara, tentang toleransi dan pluralisme.

"Belum pernah ada simposium yang membahas Gandawyuha. Padahal di dalamnya tersimpan cerita yang sejalan dengan kemajemukan religi di Indonesia," ujar Seno Joko Suyono, salah satu kurator dalam Borobudur Writers and Cultural Festival 2017 dalam jumpa pers di Yogyakarta, Kamis, 23 November 2017.

Sebanyak 460 buah panel relief Gandawyuha terpahat di dinding lorong dua, tiga, dan empat Borobudur. Relief ini berbicara tentang pengembaraan untuk mencari kebenaran. Relief ini kerap dipandang sebagai inti dan kunci untuk memahami dimensi ketuhanan Borobudur.

Gandawyuha merupakan bab 34 dari Sutra Avatasamka, salah satu sutra besar agama Buddha Malaysia. Bagian ini bercerita tentang anak muda bernama Sudhana yang berkelana untuk mencari pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi. Ia melakukan perjalanan religi keliling India menemui guru-guru spiritual.

Foto dok. Liputan6.com

"Kisah ini diperkirakan muncul pada awal abad 1 Masehi di India Selatan dan menyebar ke seluruh Asia," kata Mudji Sutrisno, kurator lainnya, dalam pembukaan Borobudur Writers and Cultural Festival 2017.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Pengembaraan Sudhana

Relief Gandawyuha menjadi tema dalam Borobudur Writers And Cultural Festival 2017 yang berlangsung pada 23 sampai 25 November 2017 (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Di lorong kedua Borobudur, Sudhana mengunjungi bodhisatwa Manjusri yang mengarahkan perjalanan. Ia menemui berbagai rahib, biarawati, dewi-dewi, dan orang suci serta memperoleh beragam nasihat. Sampai akhirnya, Sudhana bertemu dengan bodhisatwa welas asih bernama Avalokitesvara dan mendapatkan kebijakan yang selama ini dicari.

Memasuki lorong ketiga, Sudhana berjumpa bodhisatwa Maitreya yang dalam pandangan Mahayana dianggap sebagai Buddha masa depan. Sudhana mencapai kearifan tertinggi dan kebenaran hakiki serta mengalami berbagai dimensi semesta.

Foto dok. Liputan6.com

Di lorong keempat, relief Gandawyuha dilanjutkan dengan relief Bhadracari yang menampilkan Sudhana bertemu dengan bodhisatwa Samanthabadra dan diajarkan tentang kebijaksanaan harus dilakukan dan tidak boleh disimpan sendiri. Pencerahan yang diperoleh Sudhana terpahat lewat relief sosoknya yang melayang sembari tersenyum.

"Relief Gandawyuha sangat relevan dibicarakan terutama di tengah kecenderungan fanatisme dan intoleransi agama saat ini," kata Mudji.

Ia menuturkan pencarian ketuhanan dalam kisah Gandawyuha sangat universal dan mencerminkan tingkat toleransi agama yang tinggi. Kebenaran dalam perspektif Sudhana bisa datang dari segala lapisan sosial, termasuk yang dipandang rendah dalam masyarakat.

Sudhana pernah menemui seorang pelacur bernama Vasumitra untuk mencari kebenaran. Dalam pandangan Buddha Mahayana, semua makhluk bisa ambil bagian dalam hakikat Budha. Artinya, kebenaran berada di mana pun tanpa memandang kasta.

 

 

 


Diskusi Tokoh Agama dan Aliran Kepercayaan

Relief Gandawyuha menjadi tema dalam Borobudur Writers And Cultural Festival 2017 yang berlangsung pada 23 sampai 25 November 2017 (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Ia mengatakan, perjalanan mencari guru sejati yang dilakukan Sudhana di relief Gandawyuha menjadi payung untuk mendiskusikan berbagai pengalaman religi. Tidak terbatas pada agama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Katolik, melainkan juga agama yang ada di Nusantara.

Foto dok. Liputan6.com

Borobudur Writers and Cultural Festival 2017 mengundang sejumlah pakar Budhisme, Konghucu, Katolik, muslim, Sunda Wiwitan, Samin, Kaharingan, Marapu, Sumarah, dan sebagainya.

Tujuannya, mendapatkan pengalaman tentang pergulatan religiusitas yang memberikan rasa damai serta pengalaman transendensi yang menyuarakan kepekaan kasih sayang terhadap sesama.

"Melalui Borobudur Writers and Cultural Festival ke-6 ini, kita semua bisa merawat Indonesia untuk lebih toleran, pluralis, dan damai," tutur Mudji.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya