Myanmar-Bangladesh Siap Kembalikan Pengungsi Rohingya, Tapi...

Myanmar dan Bangladesh menandatangani memorandum untuk memulangkan pengungsi Rohingya ke Rakhine. Namun...

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 24 Nov 2017, 09:09 WIB
Pengungsi Muslim Rohingya menunggu antrean distribusi makanan di bawah tenda saat hujan di kamp pengungsi Nayapara, Bangladesh (6/10). Bangladesh akan membangun kamp pengungsi terbesar di dunia untuk menampung 800.000 orang. (AFP PHOTO/Fred Dufour)

Liputan6.com, Naypyidaw - Myanmar dan Bangladesh telah menandatangani sebuah nota kesepahaman mengenai kembalinya ratusan ribu pengungsi Rohingya ke rumah mereka di negara bagian Rakhine. Kabar itu diungkapkan oleh seorang juru bicara pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pada hari Kamis.

Diperkirakan 615 ribu pengungsi Rohingya telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh sejak 25 Agustus. Peristiwa itu terjadi ketika sebuah kekerasan baru dimulai antara militer Myanmar dan militan bersenjata di negara bagian Rakhine.

Sejauh ini, tidak ada rincian resmi yang dikeluarkan mengenai kesepakatan tersebut. Seperti, apa yang akan terjadi dan dalam keadaan seperti apa para warga Rohingya itu akan kembali.

Dikutip dari CNN pada Jumat (24/11/2017), sebuah pernyataan dari juru bicara Suu Kyi mengonfirmasi kesepakatan tersebut telah ditandatangani. Namun, ia hanya mengatakan bahwa pakta tersebut adalah "win-win situation untuk kedua negara."

Ro Nay San Lwin, seorang aktivis Rohingya yang bermarkas di Eropa, mengatakan kepada CNN bahwa Bangladesh seharusnya tidak mengirim warga Rohingya kembali ke Myanmar "kecuali jika kewarganegaraan dan hak-hak dasar dijamin."

"Saya tidak menemukan pernyataan yang jelas bagaimana pengungsi ini akan dipulangkan," katanya.

"Saya tidak yakin apakah mereka akan diizinkan untuk kembali ke desa asalnya, saya tidak yakin apakah mereka akan mendapatkan tanah mereka sendiri kembali."

Adapun warga Rohingya yang telah melarikan diri dari negara bagian Rakhine membawa serta cerita tentang pembunuhan massal, pemerkosaan dan penghancuran yang meluas.

Pada hari Rabu, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan bahwa tindakan Myanmar terhadap orang Rohingya jelas-jelas merupakan "pembersihan etnis." Militer Myanmar berulang kali membantah telah menganiaya warga sipil Rohingya.

Tidak ada indikasi berapa banyak pengungsi Rohingya yang ingin kembali ke Myanmar mengingat apa yang telah terjadi.

 


Dianggap Keputusan Politis

Pengumuman kesepakatan tersebut datang kurang dari seminggu sebelum Paus Fransiskus dijadwalkan untuk melakukan kunjungan tiga hari ke Myanmar.

Pemimpin Katolik tersebut diharapkan dapat menekan agar Myanmar menerima minoritas muslim di negara tersebut.

Sejauh ini, memorandum yang disepakati kedua negara tidak menyebut berapa banyak pengungsi Rohingya yang Myanmar mau terima.

Pada 15 November lalu, Panglima Tertinggi Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, mengatakan persiapan dilakukan untuk mengembalikan pengungsi namun "tidak mungkin menerima jumlah orang yang diusulkan oleh Bangladesh."

"Situasi ini harus dapat diterima baik untuk etnis Rakhine lokal maupun orang Bengali, dan penekanannya harus diberikan pada keinginan orang-orang etnis Rakhine lokal yang merupakan warga Myanmar sejati," tulis Hlaing di halaman Facebook-nya.

"Pengembalian mereka (Rohingya) adalah ketika orang-orang etnis Rakhine setempat mau menerima mereka," lanjut pernyataan Hlaing.

Otoritas senior Myanmar menolak untuk mengakui orang Rohingya sebagai warga negara, dengan mengatakan bahwa mereka orang Bangladesh atau Bengali.

Aktivis Rohingya yang berbasis di Inggris, Jamila Hanan mengatakan bahwa sangat penting agar seluruh orang Rohingya diberi kewarganegaraan di Myanmar sebelum mereka dipulangkan, sesuatu yang telah lama ditolak negara itu.

"Jika tidak, ini akan menjadi kesepakatan untuk mengirim korban genosida ke tangan pelakunya, di mana mereka hampir dipastikan akan dikurung di kamp konsentrasi," tutupnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya