Liputan6.com, Pyongyang - Ian Collins (38) adalah seorang warga Australia yang telah melakukan perjalanan ke berbagai negara, seperti Arab Saudi, Pakistan dan Libya. Kali ini, ia berkesempatan untuk mengunjungi Korea Utara, salah satu tempat paling "tertutup" di Bumi.
Collins adalah seorang pekerja di sebuah perusahaan konsultan di Singapura. Ia pergi ke Korea Utara pada awal bulan ini bersama Choson Exchange, badan amal Singapura yang mengajarkan keterampilan bisnis sembari memberi informasi kepada pengusaha setempat melalui berbagai lokakarya. Demikian seperti dilansir dari news.com.au pada Senin (27/11/2017).
Advertisement
Lokakaryanya sendiri diadakan di Pyongsong, 45 menit di sebelah timur laut Ibu Kota Pyongyang.
"Dalam beberapa tahun belakangan ini, kewirausahaan berskala kecil tengah berkembang di negara itu. Hanya sedikit warga yang bergantung pada pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah atau sistem distribusi publik," ujar Collins.
Dia juga mengaku senang atas kesempatan mengunjungi Korea Utara, meskipun awalnya sedikit gugup ketika waktu perjalanan semakin mendekat.
Collins mengatakan, beberapa orang mungkin memandang kepergiannya ke sana sebagai bentuk dukungan pada rezim Kim Jong-un. Namun ia percaya, menjalin hubungan diplomasi lebih baik daripada mengisolasi negara dan warga Korea Utara.
"Bagi saya pribadi, tujuan perjalanan ini didasari atas ketertarikan dan rasa ingin tahu tentang Korea Utara. Lebih utamanya, kesempatan untuk membuat perbedaan," tuturnya.
"Apa yang saya lakukan ini bukan soal militer, tapi sikap saling pengertian dan bertukar informasi."
Berikut beberapa hal yang Collins pelajari selama 10 hari di Korea Utara:
Saling Menghormati hingga Hidup Tanpa Ponsel
1. Saling Menghormati adalah Keharusan
Collins mengaku, ia merasa aman selama kunjungannya. Namun, pengalamannya di sana sebagai seorang sukarelawan itu mungkin berbeda jika ia menjadi turis.
"Ada beberapa larangan yang diberlakukan untuk turis. Namun begitu, pergi berkunjung ke sana adalah pengalaman yang luar biasa," ujarnya.
"Jika Anda sama seperti saya yang tertarik untuk mengenal lebih jauh seputar Korut, saya sangat menyarankan untuk coba pergi ke sana.
"Kuncinya sama seperti di tempat baru lain, hargai budaya dan adat istiadat setempat, serta hormati segala permintaan mereka," imbuhnya.
2. Tidak Menyukai Amerika Serikat
Keberangkatan Collins ke Korut ternyata bertepatan dengan kunjungan yang dilakukan Presiden AS Donald Trump ke Korea Selatan. Ia baru menyadarinya, setelah melihat koran lokal memberitakan demonstrasi di Seoul seputar lawatan Trump itu.
"Orang-orang sana tidak pernah membicarakan politik, tapi kebencian terhadap AS jelas," tegasnya.
"Anda bisa melihatnya pada propaganda mereka. Namun begitu, mereka juga sebenarnya penasaran dengan dunia luar."
3. Kebebasan Tanpa Telepon Genggam
Meskipun istrinya sebal karena mereka tidak dapat saling bertukar kontak selama perjalanan, Collins merasa nyaman tanpa harus mengaktifkan ponsel pintar di sakunya. Di Korea Utara, ponsel memang "diharamkan".
Ia juga mengaku kecewa saat kembali menyalakan telepon genggamnya, saat sudah keluar dari negara tersebut.
Advertisement
Persepsi Keliru tentang Warga Korea Utara
4. Korea Utara Suka Bir
Salah satu hal yang menarik dari perjalanan Collins ke Korea Utara adalah keramahan warga lokal.
Pemandunya mengajak timnya keluar untuk minum bir dan berkaraoke, di mana mereka dapat bernyanyi sebebasnya.
"Birnya mantap. Kami tidak mabuk, hanya saja saya kesulitan menjelaskan rasanya," tukasnya.
Bir yang terkenal di sana adalah bir produk Taedonggang di Pyongyang, dengan tujuh tipe birnya yang populer di kalangan warga Korea Utara dan para pengunjung.
5. Ketekunan Warga Korea Utara
Collins awalnya tidak memiliki bayangan mengenai keadaan Korea Utara, yang sedang ramai diperbincangkan terkait tes rudalnya.
Setelah tiba di sana, ternyata impresi banyak orang akan Korea Utara tidak sepenuhnya tepat.
"Orang Korea Utara sangat inovatif. Saya pikir mereka juga melakukan penelitian dan selalu mencari solusi untuk mengatasi masalah," ujar Collins.
Dia juga merasa, warga Korea Utara pekerja keras.
"Setiap orang memiliki pekerjaan dan gaji, tapi pemerintah setempat juga terlihat membuka diri terhadap kesempatan wirausaha untuk pasar lokal, sejalan dengan usaha untuk meningkatkan perekonomian."
"Informasi mungkin sulit didapat. Namun mereka sangat terbuka terhadap berbagai ide, dan ingin tahu tentang dunia."
Collins juga melihat, penduduk setempat turut mendapat manfaat terkait adanya program yang diadakan oleh Choson Exchange.
"Saya mengunjungi sebuah kedai kopi yang dikelola dua perempuan, mereka mengikuti program (Choson Exchange) ini dua tahun lalu," tukasnya.
6. Dugaan Tidak Selalu Tepat
Collins mengatakan, ia memahami persepsi negatif Barat tentang negara ini, terlebih oleh orang yang sama sekali belum pernah ke sana.
Menurutnya, warga Korea Utara adalah orang-orang yang berusaha menjalani hidup semaksimal yang bisa mereka lakukan.
Dia juga merasa, orang-orang tersebut sama bersahabatnya dengan warga dunia lainnya.
Penasaran dan Ramah
7. Menghormati Pemimpinnya
Collins masih sulit menebak, apakah orang-orang di sana benar-benar menyayangi pemimpinnya seperti yang mereka tunjukkan. Tapi satu yang jelas, mereka menghormati pemimpinnya.
"Hal pertama yang harus kita lakukan ketika sampai di sana, adalah membungkuk di hadapan patung Kim Il-sung dan Kim Jong-il saat turun dari pesawat," katanya.
"Ketika melewati satu bundaran jalan di Pyongyang yang dikelilingi oleh patung para pemimpin, laju kendaraan diperlambat sebagai bentuk tanda hormat."
Collins bahkan menggambarkan bahwa Anda tidak bisa berjalan lima meter tanpa melihat gambar 'dear leader' --julukan bagi Kim Jong-il-- yang tersemat di lencana semua orang.
8. Warga Korea Utara 'Penasaran'
Warga Korea Utara adalah pendengar yang baik dan mau belajar.
"Mengajarkan kewirausahaan di lingkungan yang menantang adalah sebuah pengalaman yang unik dan bermanfaat," ujar Collins.
"Saya merasa terharu, setelah mengetahui tentang apa yang kami lakukan itu memberikan dampak positif kepada orang-orang setempat."
Collins yang sudah banyak melakukan lokakarya di berbagai tempat di seluruh dunia mengaku, Korea Utara adalah negara yang menerima mereka dengan baik.
"Mereka sangat menghargai usaha kami yang mengajarkan mereka secara sukarela, walaupun terkadang sulit bekerja dengan perantara penerjemah. Mereka banyak bertanya dan aktif mencari masukan."
9. Ramah
Collins menganggap, keramahan warga Korea Utara terlihat dari kepercayaan yang mereka berikan padanya.
"Berkunjung ke sini sebagai seorang pendidik memberikan kami lebih banyak hak istimewa dibanding turis. Kita bebas memilih mau makan di mana, dan mereka juga mengizinkan kami untuk bebas mengembara ke berbagai tempat perbelanjaan," ujarnya.
Itu semua dibangun atas dasar rasa percaya satu sama lain. Kelompoknya juga menghormati beberapa permintaan dari warga, seperti tidak mengambil foto di fasilitas militer.
Advertisement