Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan inovasi sains dan teknologi berlangsung semakin cepat. Tak dapat dimungkiri bahwa hal tersebut membawa banyak perubahan ke kehidupan manusia.
Salah satu teknologi yang sedang ramai diperbincangkan adalah self-driving car atau mobil swakemudi -- mobil yang dapat dikendarai tanpa pengemudi. Sejumlah perusahaan pemroduksi moda transportasi darat pun sudah mulai mengembangkan dan menyempurnakan mobil swakemudi.
Meski di kalangan awam mobil swakemudi terlihat menyeramkan, ada sejumlah alasan yang membuat perusahaan mulai melirik teknologi itu. Salah satunya adalah soal keamanan.
Menurut situs web Auto Insurance Center, 81 persen kecelakaan mobil disebabkan oleh kesalahan manusia atau human error. Dengan adanya mobil swakemudi, diharapkan angka kecelakaan lalu lintas dapat berkurang.
Namun, di sisi lain, terdapat sejumlah permasalahan yang dapat ditimbulkan dari mobil swakemudi. Kendaraan yang sangat mengandalkan teknologi internet itu, sangat rawan dibajak dan bisa menimbulkan hal-hal yang tak dapat diinginkan.
Selain itu, jika ada masalah mendadak, seperti kegagalan rem, para pemrogram mobil swakemudi juga sudah harus memikirkan konsekuensinya. Jika hanya ada dua pilihan, yakni melindungi pengemudi atau melindungi pejalan kaki, mana hal yang pemrogram mobil tersebut harus pilih?
Hal itulah yang dibahas oleh Senior Vice-President & Chief Ethics Officer L'Oréal, Emmanuel Lulin, saat berdiskusi dengan mahasiswa dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada Oktober lalu.
Baca Juga
Advertisement
Dalam wawancara eksklusif dengan tiga media dari Indonesia, Lulin turut menyebut bahwa dalam diskusi soal inovasi sains dan teknologi tersebut, mereka membahas soal dilema etik.
"Kami mendiskusikan fakta bahwa inovasi sains atau teknologi membawa dilema etik yang baru," ujar Lulin pada 27 November 2017.
Lalu, mengapa etik menjadi hal yang penting dalam diskusi tersebut?
Menurut Lulin, ketika ada kemajuan inovasi dalam sains dan teknologi, segala hal bergerak dengan cepat. Namun, kerangka hukum yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan tak bergerak secepat inovasi itu sendiri.
"Saat ini inovasi sains dan teknologi bergerak sangat cepat. Robotisasi, artificial intelligence (kecerdasan buatan), big data, semua bergerak sangat cepat," ujar Lulin.
"Dan sering kali hukum terlambat. Terlalu sering terlambat. Oleh karena itu, ada kekosongan karena inovasi ilmiah dan teknis jauh lebih cepat dibanding kecepatan inovasi hukum, kerangka hukum," imbuh dia.
Untuk mengisi kekosongan itu, Lulin mengatakan bahwa etiklah yang digunakan untuk mengambil sebuah keputusan.
"Jadi ketika kecepatan inovasi lebih cepat dari kecepatan hukum, kekosongan itu diiisi dengan etik," ujar dia.
Atas dasar itu, Lulin menyebut bahwa "ethics beyond the law" atau etik berada di atas hukum.
Apa Itu Etik?
Jika dilihat dari kbbi.kemdikbud.go.id, etik adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Lulin sendiri, sebagai Chief Ethics Officer L'Oréal, menyebut bahwa etik adalah tentang menerapkan nilai atau prinsip etik tertentu terhadap cara berperilaku sebagai perusahaan dan juga cara bersikap sebagai anggota organisasi.
"Etik membantu kita untuk membuat keputusan yang baik, keputusan bisnis yang baik," ujar Lulin.
"Kami berpikir bahwa perusahaan dengan martabat budaya yang baik, perusahaan dengan budaya etik yang baik lebih berkelanjutan," kata pria yang pernah mendapat Arol R Marshal Award atas Inovasi dalam Etik Perusahaan dari Ethics & Compliance Initiative (ECI) pada 2015 itu.
Dalam wawancara eksklusif tersebut, Lulin menyebut terdapat beberapa poin untuk mengembangkan budaya etik. Pertama adalah menjamin seseorang untuk merasa bebas untuk mengemukakan pendapat.
"Kita harus memastikan bahwa seseorang bebas berbicara sehingga kita dapat menentukan keputusan yang lebih baik, keputusan bisnis yang lebih baik. Seperti halnya kita dalam pertemuan dan bosnya berkata, 'Saya menyukai proyek ini', jika tak ada percakapan, kita mungkin saja memilih keputusan yang salah," ujar Lulin.
"Namun jika, semua orang dalam pertemuan bebas mengemukakan pendapat, bagaimana kita mencari (solusi) dalam isu, kita mungkin berada di jalan untuk membuat keputusan yang lebih baik," jelas dia.
Poin kedua dalam mengembangkan budaya etik adalah keadilan internal yang baik. Menurutnya, penting untuk memastikan tidak ada standar ganda yang berlaku dalam perusahaan.
"Bila ada standar ganda, berarti kita hanya bisa melindungi orang-orang penting di perusahaan, dan kita lebih giat mendisiplinkan orang-orang yang lemah atau mereka yang berada dalam posisi kurang di perusahaan," kata Lulin.
Ketiga adalah soal berbagi informasi dan keempat adalah kejelasan ekspektasi. Menurut Lulin, penting dalam sebuah kelompok atau perusahaan untuk mengetahui apa ekspektasi dari masing-masing anggota atau karyawan.
Menurutnya, dengan mengetahui ekspektasi, stres seseorang dalam bekerja dapat berkurang dan bekerja lebih baik.
Advertisement
Menyesuaikan Etik Sesuai Perubahan Zaman
Menurut Lulin, L'Oréal selama ini menganut empat prinsip etik, yakni integritas, menghargai, keberanian, dan transparansi. Empat prinsip tersebut ditentukan oleh manajemen senior, yang kemudian diterjemahkan dalam dokumen yang lebih praktis, kode etik, dan juga kebijakan soal keragaman.
Agar keempat prinsip itu sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh generasi baru (new generation), L'Oréal membentuk kelompok kerja di seluruh di seluruh benua di mana para new generation dilibatkan. Hasil dari pertemuan itu adalah sebuah dokumen yang menyuarakan suara mereka.
"Ini bukan dokumen yang dibuat untuk melindungi generasi yang lebih senior, ini adalah dokumen untuk masa depan, dokumen aktif untuk masa depan," ujar Lulin.
Waktu berkunjung ke Indonesia, Lulin juga menyempatkan untuk melakukan diskusi terbuka dengan pegawai L'Oréal dari berbagai jenjang organisasi. Jika ada hal yang dirasa Lulin perlu disampaikan ke pihak manajemen, maka ia akan menyampaikannya.
"Itu adalah cara kita memastikan ada hubungan baik dengan generasi baru," kata dia.
Selain itu, setiap tahunnya L'Oréal memiliki program yang disebut dengan "Ethics Day", yang dilaksanakan setiap 10 Oktober. Saat itu, karyawan dari seluruh dunia dapat mengajukan pertanyaan kepada CEO dan general manager dari semua negara tempat L'Oréal beroperasi.
"Kami ngobrol dengan tim via web chat. Jadi, tim bisa bertanya langsung dan mereka mendapat jawaban langsung, jadi setiap orang bisa melihat pertanyaan dan semua orang bisa melihat jawabannya," ujar Lulin.
"Kami mengukur partisipasi, kami mengukur apakah ada banyak atau sedikit pertanyaan. Terkadang, Anda tahu hanya sedikit pertanyaan karena orang takut untuk berbicara. Kita juga bisa melihat subjek umum dalam pertanyaan," imbuh dia.
Head of Human Resource PT L'Oréal Indonesia, Restu Widianti, mengatakan bahwa selain melalui web chat, diadakan juga sesi diskusi langsung dengan pekerja dalam town hall.
Selain mereka yang bekerja di kantor, para pekerja pabrik juga dapat bertanya secara langsung, di mana pihak manajemen akan menjawab pertanyaan secara langsung dan terbuka.
"Ini hanya beberapa contoh dari apa yang kita lakukan dan bagaimana membuat karyawan sadar akan etika. Serta untuk mendorong mereka agar memiliki keberanian mengajukan pertanyaan dan melakukan pembicaraan terbuka dengan pihak manajemen," ujar Restu.
Baca Juga
L’Oreal Indonesia Buka Lowongan Kerja Buat Lulusan SMK hingga S1, Simak Cara Daftarnya!
L'Oreal-UNESCO For Woman in Science Umumkan 4 Pemenang Peneliti Perempuan dengan Inovasi Berkelanjutan
Penghargaan untuk 4 Perempuan Peneliti Indonesia yang Meneliti Pengurangan Emisi Karbon sampai Ketangguhan Hadapi Bencana