Hilangnya Keutamaan Etika

Etika sebagai sebuah perintah, harus dijalankan demi menjaga martabat pejabat publik. Juga agar menjadi contoh serta role model.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Nov 2017, 19:54 WIB
Opini Benny Susetyo PR (liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan untuk tidak menyelidiki kemungkinan pelanggaran etika oleh Ketua DPR yang juga Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto alias Setnov, terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.

Adies Kadir, anggota MKD dari Fraksi Golkar, menyebut keputusan itu diambil meskipun sejumlah anggota mempertimbangkan hal yang sebaliknya, dalam rapat yang berlangsung dua jam.

"Karena statusnya masih tersangka, MKD belum dapat menindaklanjuti (dugaan pelanggaran etika Setya)," kata Adies di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 16 November 2017.

Padahal, persoalan mendasar mengenai etika kepantasan publik dengan jelas dikatakan dalam TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, masih berlaku.

Ada pula TAP No. XI/MPR/1998 yang mengamanatkan penyelenggaraan negara yang bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. TAP No. VI terbit 9 November 2001 lalu.

Pasal 3 TAP MPR No. VI/2001 merekomendasikan kepada Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan TAP ini sebagai 'acuan dasar dalam kehidupan berbangsa'.

Etika pemerintahan mengamanatkan, agar penyelenggara negara siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai, atau dianggap tidak mampu memenuhi amanat masyarakat, bangsa, dan negara.

Misinya adalah agar setiap pejabat publik dan elite politik bersikap jujur, amanah, sportif, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan hal yang menimbulkan kegaduhan yang berstatus tersangka.

Persoalannya, banyak pejabat publik tidak memiliki keutamaan dalam membatinkan etika publik. Etika menyangkut kepantasan dan kelayakan, menyangkut citra jabatan dan lembaga.

Etika itu sendiri sebuah perintah menjalankan yang baik dan benar. Etika sebagai sebuah perintah, harus dijalankan demi menjaga martabat pejabat publik. Juga agar menjadi contoh serta role model kepada publik.

Persoalannya sekarang, etika publik rendah. Adapun etika politik, menurut Ricoeur, tidak hanya menyangkut perilaku individual, tapi juga terkait tindakan kolektif.

Ketika suatu keputusan butuh persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara, legitimasi kolektif publik dapat dimanfaatkan dalam menerapkan politik yang beretika.

Seorang yang memiliki keutamaan publik, ketika kasusnya sudah menjadi pembicaraan publik dan menimbulkan situasi gaduh, seharusnya memiliki jiwa besar untuk berani mundur dari jabatan.

Pengunduran diri ini adalah momentum para pejabat yang memiliki kepantasan publik, menggunakan fasilitas jabatan. Itu karena rakyat merindukan pemimpin berjiwa kesatria, dan mampu membedakan mana kepentingan negara atau kepentingan politik yang mencari kekuasaan semata.


Budaya Mundur

Namun, dalam budaya demokrasi kita, sudah lama tidak dikenal budaya mundur karena ketidakmampuan atau alasan lain.

Budaya mundur dianggap sesuatu yang tabu, sebagaimana budaya malu yang hampir musnah dalam kamus para pejabat.

Mundur bahkan sering dianggap aib, karena masyarakat seolah akan seterusnya menorehkan tinta hitam sepanjang masa untuk itu.

Seseorang akan merasa malu jika mundur, karena sepanjang masa publik melihatnya sebagai masalah.

Berbeda dengan di Jepang, seorang pejabat tinggi atau pemimpin perusahaan dengan sangat cepat memutuskan mundur, bila berbuat salah atau merasa berbuat salah. Mereka malu terhadap masyarakat.

Di Negeri Matahari Terbit, mundur menjadi kesepakatan umum, bukan aib. Begitu pula di Inggris.

Mengundurkan diri bagi kalangan politikus dianggap tindakan perwira, jantan, dan ekspresi rasa malu karena merasa telah melakukan kesalahan atau kegagalan dalam menjalankan tugas.

Tradisi ini dilakukan tanpa melihat seberapa besar kekuasaannya, atau betapa kuat posisi politiknya dibandingkan dengan seberapa kecil kesalahannya.

Banyak pula contoh dari negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia. Dalam etika kekuasaan, mereka justru lebih memiliki rasa malu. Dalam banyak hal, para pejabat kita sering mempersepsikan yang ada dalam masyarakat sebagaimana yang ada dalam dirinya, subjektif, dan sering simplifikatif.

Pandangannya sering meleset dan tidak objektif. Hal yang dianggapnya sebagai benar, ternyata menurut sebagian besar masyarakat salah. Begitu juga sebaliknya.

Hal esensial dalam sebuah jabatan publik adalah etika dan kepantasan. Apakah suatu perbuatan menyalahi kepantasan publik atau tidak, itulah yang seharusnya menjadi perhatian utama.

Semua orang berebut menjadi pejabat tanpa mengukur kemampuannya. Segala cara dilakukan untuk menjadi pejabat, termasuk melakukan hal-hal tersembunyi, walaupun bertentangan dengan hati nuraninya. Apalagi hati nurani publik.

Jabatan dimaknai sebagai kekuasaan daripada kemampuan. Etika politik tidak berjalan.

Etika yang semestinya menyangkut dimensi etis seorang pemimpin, yang berani bertanggung jawab terhadap segala persoalan, tidak lahir karena dimensi kekuasaan yang terlalu besar.

 

 


Nilai Malu

Sikap kesatria, yang mengakui bahwa dia tidak seharusnya menjalankan tugasnya, tidak lahir. Jalaluddin Rakhmat pernah mengatakan, "Kita gagal menjadi bangsa besar karena kita kehilangan rasa malu." Jepang menjadi bangsa yang kokoh karena memiliki budaya malu (shame culture) yang sangat tinggi.

Padahal, malu adalah nilai moral yang paling utama, yang mengendalikan perilaku moral masyarakat, walau tanpa aturan tertulis.

Bangsa ini membutuhkan teladan yang baik dari pejabatnya. Teladan buruk yang selama ini diadopsi rakyat dari pejabat, secara tidak langsung telah ikut mempengaruhi cara masyarakat umum berperilaku dan menentukan tindakan.

Politik seharusnya mencerahkan, bukan menambah awan kegelapan dan ketidakjelasan. Para elite kita, bagai singa sirkus yang lihai memerankan tipu muslihat yang membuai dan menipu penonton.

Mereka bagai pemain sulap yang pandai membuat penonton tertawa sekaligus menangis. Mereka pandai menyembunyikan sesuatu tanpa terlihat penonton dan memperlihatkan sesuatu yang menakjubkan.

Demokrasi yang kita tumbuhkan selama ini seharusnya disadari baru seumur jagung. Kekeliruan kita dalam memelihara nilai dan moralitas demokrasi secara tidak tepat, akan menghasilkan kualitas demokrasi yang buruk pula. Itu merupakan kualitas demokrasi yang rapuh dari dalam.

Setiap tindakan dan sikap pejabat, merupakan pencerminan langsung dari nilai-nilai demokrasi yang hendak dikembangkan. Apabila selama ini demokrasi hanya ditegakkan pada aspek ritual dan formal, perlahan-lahan demokrasi akan punah karena kehilangan semangat dan nilai-nilai kokoh yang dihormati bersama.

Kekuasaan akan menjadi penguasa demokrasi, bukan sebagai penjaga nilai-nilai yang ditaati bersama. Siapa pun kelompok penguasa akan mudah membelokkan aturan dan menjadikan kepentingan rakyat hanya untuk keuntungan pribadi.

Dalam konteks ini, kita sedang diuji untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi secara substansial. Teladan para pejabat sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian bahwa demokrasi sungguh-sungguh ditegakkan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya