Liputan6.com, Jakarta Sudah bisa berjalan tapi kok belum bisa bicara ya? Salah satu kekhawatiran ini yang kerap melanda orangtua terkait proses tumbuh kembang anaknya. Hal ini dialami oleh Rafie (2). Anak ketiga seorang pengusaha ATK ini mengalami terlambat bicara, apa penyebabnya?
Orangtua Rafie juga telah melakukan konsultasi dengan dokter. Mereka juga sepakat berdiskusi dengan pakar FengShui dan ahli akupunktur, Master Wong. Dari hasil analisa wawancara, diketahui apa yang jadi penyebab anak tersebut terlambat bicara.
Advertisement
"Sejak kecil, Rafie sering dibiarkan menonton teve dengan bahasa Inggris. Akibatnya, saat ortu mengajak dia bicara bahasa Indonesia, jadi tidak merespon, sehingga dikonsultasikan ke dokter dan terapi wicara dengan terapis. Saya ajak Rafie bicara bahasa Inggris dan direspon, cukup bagus interaksinya," papar Ferry Wong, saat dihubungi Health-Liputan6 via aplikasi layanan pesan singkat, Kamis (30/11/2017).
Lalu seperti apa saran yang diberikan Master Wong untuk menyiasati Rafie yang terlambat bicara?
Akhirnya saya sarankan ortunya belajar bahasa Inggris untuk bisa komunikasi dengan Rafie. Saran lainnya tentu titik andalan speakpunktur dengan totok dan urut titik akar lidah di bagian leher depan dan belakang. Saya juga menganjurkan agar Rafie sering mengunyah es batu dan bikin es mambo dari teh manis agar melatih otot-otot lidah dan mulut," urai Master Wong.
Simak juga video menarik berikut:
Sindrom Anak Kota
Salah satu penyebab anak terlambat bicara karena pemberian gadget terlalu dini. Tujuannya sih baik, supaya anak kecil bisa anteng dan tidak nangis. Dampak yang kemudian terjadi, anak masih saja tidak lancar bicara, padahal sudah berumur dua atau tiga tahun.
Kalau anak Anda di usia 2-3 tahun belum mengeluarkan sepatah kata pun, itu artinya ia mengalami terlambat bicara. Sejumlah praktisi medis menyebutnya sebagai “Sindrom Anak Kota” karena dominan dialami oleh anak-anak perkotaan. Kondisi ini disebabkan oleh pola asuh orang tua yang salah. Selain itu, faktor yang juga dianggap berkontribusi besar adalah karena perkenalan anak dengan gawai (gadget) dan kebiasaan salah dalam menonton televisi.
Menurut dr Eva Devita, SpA, Dokter Tumbuh Kembang Anak di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, keterlambatan bicara pada anak biasanya terjadi saat anak berusia 2-3 tahun. Ciri-ciri anak terlambat bicara antara lain, tidak mengeluarkan kata-sepatah kata pun, misal Ah, eh, ah, eh. Atau ada anak yang bisa bicara tapi belum bisa merangkai kata dengan benar. Yang lebih parah lagi kalau ada yang tidak bisa bicara dan tidak merespons saat diajak berkomunikasi.
Advertisement
Terlambat Bicara
Rifa Yustiani, pengurus Ikatan Terapis Wicara Indonesia (IKATWI), menambahkan, keterlambatan bicara ini kerap dialami anak di kota besar, seperti Jakarta, karena beberapa gerak motorik dan sensoriknya yang kurang berfungsi. Refleks dan respons anak juga kurang distimulasi.Akibatnya, anak kurang mampu berbicara. Kalau berbicara, kosakata yang dikenalnya juga masih minim.
Tren kasus keterlambatan bicara diyakini mengalami peningkatan di Jakarta, meski belum ada statistik secara menyeluruh dari rumah sakit. Data di Poliklinik Neurologi Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Januari 2006-Juli 2008 memperlihatkan prevalensi anak yang tidak bisa bicara dan berjalan sebanyak 71 kasus (47,1 persen) dari total 151 anak.
Menurut Kepala Divisi Pediatri, Departemen Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dr Luh Karunia Wahyuni, penyebab anak terlambat bicara terjadi akibat proses isolasi, yaitu tidak atau kurang berhubungan dengan lingkungan atau akibat penyebab lain yang tidak teridentifikasi.
Dampak Keterlambatan Bicara
Kondisi ini dapat terjadi secara bersamaan dengan kondisi lainnya akibat ketulian dan gangguan perkembangan lainnya, seperti keterbelakangan mental dan autisme. Wahyuni mengatakan, kontak sosial yang minimal berarti dia tidak punya teman bermain dengan anak yang usianya sebaya. Bisa juga karena permainan yang tidak sesuai usia. Misal, usia 2-3 tahun, anak selalu bermain sambil duduk dan tidak ada peluang untuk bermain di luar rumah. Selain itu, bisa juga karena faktor pengasuh yang kerap berganti-ganti.
Di lingkungan keluarga, orangtua bisa saja cerewet. Tapi, itu sifatnya satu arah saja. Anak hanya mendengarkan saja dan hanya melihat saja orangtuanya mengambil dan menaruh benda. Tapi dia tidak diajak ikut mempraktikkan dan mengenal benda.
Advertisement