Liputan6.com, Pyongyang - Dunia saat ini sedang dicemaskan oleh program peluncuran rudal balistik Korea Utara. Setelah sebelumnya sempat vakum selama dua bulan, baru-baru ini mereka kembali menembakkan rudal yang ke-23 sepanjang tahun 2017. Sebuah peluncuran rudal yang tertinggi dan terjauh dari semua percobaan sebelumnya.
Isu tersebut nyatanya tidak menyurutkan niat para turis dunia untuk melancong ke sana. Korea Utara seakan menyimpan misteri tersendiri untuk dikunjungi.
Advertisement
Namun begitu, berkunjung ke Korea Utara itu ternyata dapat menimbulkan dampak luas terhadap keputusan moral, finansial dan politik. Demikian tanggapan dari Rachel Judah, seorang wanita pegiat pers dan peneliti asal London, seperti dikutip dari Independent pada Jumat (01/12/2017).
"Orang-orang yang mendukung tur ke Korea Utara mungkin berpandangan, bahwa mereka dapat membuka mata para penduduk lokal, untuk melihat reaksi dunia luar terkait propaganda yang dikobarkan oleh rezim totaliter di sana. Sebaliknya, justru merekalah yang sebenarnya 'dibutakan' oleh Korea Utara," kata Judah.
Pemandu wisata di sana sangat hebat. Mereka dididik oleh pihak Kementerian Keamanan Negara, untuk memberikan impresi baik kepada para pengunjung luar. Berbagai skenario pun dirancang, seperti mengarahkan para turis untuk bertemu dengan pedagang kaki lima, siswa di perpustakaan, atau bidan di klinik bersalin.
"Mereka semua adalah 'aktor' yang fasih berbahasa Inggris. Jika gagal memerankan perannya, nyawa dirinya beserta keluarga akan terancam bahaya," klaim Judah.
Judah menilai, para turis yang pulang dari Korea Utara adalah orang-orang yang kembali ke rumah dengan pengamatan palsu. Korea Utara seakan telah mendoktrin mereka bahwa kehidupan di sana baik-baik saja, sembari menceritakan pengalaman seru menaiki Pyongyang Metro atau menyantap kimchi terlezat di Restoran Chongryu Hot Pot.
"Tidak ada alasan bagi para turis untuk menyangkal ketidaktahuan akan Korea Utara. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, pelanggaran HAM yang terjadi di sana 'tidak sejalan dengan kondisi dunia saat ini'," lanjutnya.
Diperkirakan, Korea Utara tiap tahunnya berhasil meraup pendapatan dari 'kocek' turis hingga US$ 40 juta, atau lebih dari Rp 541 miliar.
Uang itu kemudian dipakai untuk menyokong program senjata nuklir Kim Jong-un, serta mendukung jaringan kamp kerja paksa di sana.
Judah juga mengkomparasi, "dana sebesar US$ 1353 (Rp 18 juta) yang dihabiskan turis untuk bersenang-senang di sana, dengan Produk Domestik Bruto (GDP) Korea Utara per kapita senilai US$ 583 (Rp 7.894.000) adalah sebuah kejanggalan."
"Turis sebaiknya mencari akun para pembelot negara jika ingin tahu lebih banyak tentang Korea Utara. Ia juga menceritakan sebuah kisah pengakuan, tentang seorang wanita lokal yang memakan belatung dari wajah ayahnya yang sekarat karena sangat kelaparan," ujarnya lagi.
Judah menganggap, turis yang berkunjung ke Pyongyang demi merasa 'berbeda' dari yang lain itu konyol. Tren berwisata ke Korea Utara harus dihentikan.
"Jika Anda tetap ingin berkunjung (ke sana), coba tanyakan pada diri kembali, apakah Anda mau mengunjungi Jerman di era Nazi?" tutupnya.
Korea Utara Tawarkan Paket Wisata ala Buruh
Meskipun banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak, Korea Utara tak henti mempromosikan pariwisata, seperti menawarkan 'Paket Tur Buruh' bagi turis.
Mereka memperlihatkan sejumlah foto turis tengah menanam padi serta membawa hasil panen di ladang untuk mempromosikan paket liburan aneh bagi pelancong Barat.
Pengumuman paket wisata itu diluncurkan oleh situs National Tourism Administration, DPR Korea Tour. Mereka mengklaim, akan jadi perjalanan yang menarik dan akan membuat popularitas pariswisata negara itu meningkat.
"Turis akan 'tenggelam' dalam kehidupan kerja yang berbeda -- penanaman padi secara manual, penyiangan dan pemetikan buah di pertanian atau di kebun buah di negara ini," tulis situs itu.
"Melalui tur, mereka bisa mendapatkan pemahaman tentang kebijakan pertanian dan budidaya pertanian di negara ini dan mengalami profil aktivitas perburuhan masyarakat yang rajin dan ceria."
Namun, mengesampingkan fakta anehnya tur itu, tawaran tersebut dipertanyakan. Mengingat sudah jadi rahasia umum bahwa Korea Utara kerap melanggar hak asasi manusia secara sistemik, salah satunya adalah kamp kerja paksa budak yang mematikan.
Temuan itu didapat dari kematian mahasiwa 22 tahun asal AS, Otto Warmbier yang pulang dalam keadaan koma lalu meninggal di AS. Diketahui, Otto yang jadi turis melakukan kesalahan sehingga dihukum kerja paksa.
Namun bukan hanya orang asing atau tahanan yang ditahan untuk kerja paksa. Pemerintah secara sistematis menggunakan kerja paksa dari warga mereka, untuk mengendalikan rakyat dan mempertahankan ekonominya.
Menurut sebuah laporan dari Human Rights Watch, sebagian besar warga Korea Utara harus melakukan kerja paksa tanpa dibayar di beberapa periode kehidupan mereka.
Mantan siswa Korea Utara yang meninggalkan negara tersebut mengatakan kepada Human Rights Watch, sekolah mereka memaksa mereka bekerja secara gratis di peternakan dua kali setahun, selama satu bulan pada satu waktu, yakni saat membajak dan menyemai waktu, dan lagi pada saat panen.
Dan semua keluarga Korea Utara harus mengirim satu anggota keluarga setidaknya dua jam per hari, enam hari seminggu, untuk mendukung proyek pembangunan pemerintah daerah atau proyek umum, seperti membangun struktur bangunan, memperbaiki jalan, mengumpulkan bahan baku seperti batu hancur, atau pembersihan tempat umum.
Korea Utara juga merupakan salah satu dari sedikit negara di dunia yang belum bergabung dengan Organisasi Perburuhan Internasional. Itu berarti mereka menolak kebebasan berserikat dan hak untuk berorganisasi dan melakukan tawar menawar secara kolektif.
Kendati demikian, seperti kebanyakan industri pariwisata Korea Utara, tak mungkin turis melihat kondisi kerja brutal yang sebenarnya dihadapi warga -- di bawah kediktatoran -- saat mereka mengunjungi peternakan atau kebun pada kunjungan kenegaraan.
Advertisement