Tato di Dada Pasien Bikin Dokter UGD Dilema, Ada Apa?

Tulisan tato di badan seorang pasien yang tak sadarkan diri membuat dokter di ruang gawat darurat rumah sakit dilema.

oleh Melly Febrida diperbarui 03 Des 2017, 09:00 WIB
Seorang wanita menunjukan tato di tangannya sebelum dihapus di sebuah klinik di Tangerang (11/8). Program hapus tato ini sengaja dibuat untuk mereka yang ingin “berhijrah” dan ingin kembali lebih baik. (AP Photo/Achmad Ibrahim)

Liputan6.com, Jakarta Tulisan tato di badan seorang pasien yang tak sadarkan diri membuat dokter di ruang gawat darurat rumah sakit mengalami dilema etika luar biasa. Tato di dada tersebut bertuliskan "Do Not Resuscitate (jangan disadarkan)", seakan menyampaikan harapan akhir pasien.

Ini membuat tim medis bergulat dengan banyak pertanyaan etis dan legal.

Kasus ini dijelaskan dalam sebuah studi kasus yang diterbitkan di New England Journal of Medicine.

Dokter di Rumah Sakit University of Miami tersebut awalnya berusaha menyelamatkan nyawa pasien berusia 70 tahun itu. Darah pasien itu mengandung alkohol tinggi dan ia memiliki riwayat penyakit paru.

Namun, dokter tidak bisa segera menemukan anggota keluarganya atau mengidentifikasinya.

"Saya pikir banyak orang di bidang kedokteran bercanda soal menemukan tato semacam itu -- dan kemudian ketika Anda akhirnya melihatnya, ada semacam keterkejutan di wajahmu. Lalu kejutan itu mengejutkanmu lagi karena Anda benar-benar harus memikirkannya," tulis Gregory Holt, dokter UGD.

Holt mengatakan pasien tersebut memiliki riwayat penyakit paru-paru, tinggal di sebuah panti jompo tapi ditemukan mabuk dan tidak sadar di jalan dan dibawa ke Jackson Memorial.

Dia tiba tanpa identifikasi, tidak ada keluarga atau teman, dan tidak ada cara untuk memberi tahu dokter apakah dia ingin hidup atau meninggal karena tato itu terpatri di dadanya.

 

Simak video menarik berikut:

 


Shock

Holt mengatakan pasien tersebut memiliki infeksi yang menyebabkan shock septik dan membuatnya mengalami kegagalan organ. Selain itu, pasien tersebut punya tekanan darah sangat rendah.

Ketika tekanan darah pasien mulai turun, dokter khusus penyakit paru di ruang gawat darurat memanggil Holt.

"Awalnya kami memutuskan untuk tidak menghormati tato tersebut, dengan menerapkan prinsip tidak memilih jalan yang ireversibel saat menghadapi ketidakpastian," tulis dokter Universitas Miami dalam studi kasus tersebut, seperti dilansir Foxnews.

Mereka memberi obat infus, antibiotik, dan obat tekanan darah kepada pria tersebut agar memiliki lebih banyak waktu untuk membuat keputusan hidup atau mati.

Namun, keputusan tersebut membuat konflik di antara tim medis. Alhasil, dokter meminta pendapat kepada konsultan etika.

Konsultan etika segera menyarankan kepada dokter bahwa tato tersebut mungkin mewakili keinginannya dan harus dihormati. Konsultan tersebut mengatakan, "Hukum terkadang tidak cukup gesit untuk mendukung perawatan pasien dan menghormati kepentingan terbaik pasien," menurut para dokter.

Pekerja sosial kemudian menemukan salinan resmi perintah Do Not Resuscitate (DNR) pria tersebut dari Departemen Kesehatan Florida. Dokter pun lega. Pasien yang juga memiliki diabetes itu akhirnya meninggal tanpa usaha penyelamatan lebih lanjut.

"Kami merasa lega menemukan permintaan DNR-nya yang tertulis, terutama karena tinjauan terhadap literatur mengidentifikasi laporan kasus seseorang yang tato DNR-nya tidak mencerminkan keinginannya saat ini," tambah para dokter.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya