Harga Premium Tak Naik, Pertamina Kehilangan Pendapatan US$ 1,2 M

Pertamina menyatakan harga minyak dunia sudah naik 30 persen tapi tidak diimbangi dengan harga Premium dan Solar.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 04 Des 2017, 19:45 WIB
Ilustrasi Pertamina

Liputan6.com, Jakarta - PT Pertamina (Persero) mencatat kehilangan pendapatan sebesar US$ 1,2‎ miliar atau sekitar Rp 16,11 triliun (asumsi kurs Rp 13.520 per dolar Amerika Serikat), akibat keputusan pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak jenis Premium dan solar bersubsidi sepanjang 2017.

Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik menegaskan, Pertamina tidak mengalami kerugian karena harga Premium dan solar subsidi tidak naik sepanjang 2017. Akan tetapi, kehilangan pendapatan mencapai US$ 1,2 miliar.

"Pertamina seharusnya mendapat tambahan revenue US$ 1,2 miliar, jadi bukan rugi tapi kehilangan pendapatan, karena pemerintah memang sebagai pemilik Pertamina tidak mengizinkan kenaikan harga," kata Elia, saat rapat dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR Jakarta, Senin (4/12/2017).

Elia mengungkapkan, saat ini harga minyak dunia sudah meningkat 30 persen, sejak ditetapkannya harga Premium Rp 6.450 dan Solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Namun, kenaikan harga minyak ini tidak diimbangi dengan kenaikan harga kedua jenis BBM‎ tersebut.

"Harga crude ini naik 30 persen, itulah yang tadi masuk mekanisme kenaikan harga," tutur dia.

Elia menuturkan, sebenarnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pertamina telah menyepakati formula sebagai pembentukan harga Premium dan Solar bersubsidi, dengan mengacu pada harga minyak dunia. Jika harga minyak dunia berubah, harusnya harga Premium dan Solar subsidi disesuaikan.

‎"Kalau dilihat kami di Pertamina sudah memberlakukan satu formula harga yang disepakati Pertamina dan ESDM. Itu berdasarkan SK menteri, kami menghitung harga crude memang harga patokan transparan, kami menghitung berdasarkan formula," tutur Elia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


DPR: Dapat Subsidi dari Pemerintah, Pertamina Tak Boleh Rugi

Sebelumnya, Komisi VI DPR RI menilai potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 19 triliun yang dialami PT Pertamina (Persero) perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Sebab, selama ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut telah mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Anggota Komisi VI DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan, ‎saat ini Pertamina merupakan satu-satunya penyedia energi utama di Indonesia. Bahkan, kata dia, Pertamina menguasai kebutuhan energi di dalam negeri baik dari sisi harga maupun pasokan.

"Hampir bisa dikatakan Pertamina ini monopoli dari sisi harga dan pasokan," ujar dia di Jakarta, Senin, 27 November 2017.

Selain itu, lanjut Bambang, sebagai BUMN, Pertamina juga masih mendapatkan suntikan subsidi dari pemerintah. Hal ini khususnya untuk jenis energi atau bahan bakar minyak (BBM) penugasan, seperti Premium, Solar dan elpiji.

"Pertamina juga mendapatkan subsidi dari APBN, jadi harusnya tidak boleh rugi," kata dia.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan meminta Pertamina untuk melakukan efisiensi terhadap model bisnisnya, terutama dalam hal distribusi BBM.

Jonan mencontohkan, dalam menjual BBM jenis Premium yang merupakan penugasan dari pemerintah, Pertamina mulai mengeluh karena tidak mendapatkan untung. Hal ini salah satunya disebabkan oleh harga minyak mentah yang mulai mengalami kenaikan.

"Pertamina jual Rp 6.450 (Premium) ini sudah mulai teriak karena harga minyak mentahnya naik terus," tutur dia.

Padahal, ada perusahaan baru, yaitu Vivo, yang juga menjual BBM RON-nya tidak jauh berbeda dari Premium, bahkan dengan harga yang lebih murah, tetapi mengaku masih mendapatkan keuntungan.

"Kalau kita lihat penjualan BBM yang RON 88 itu harganya ditetapkan pemerintah Rp 6.450. Ada perusahaan swasta buka SPBU, baru satu, tapi nanti dia akan buka di Serang, Ambon, terus ke timur dan sebagainya. Itu jualnya harganya RON 89 itu Rp 6.100. Lah ini yang baru masuk Rp 6.100 enggak apa-apa. Saya tanya masih untung enggak? Masih," kata dia.

Menurut Jonan, hal ini membuktikan jika selama ini Pertamina belum efisien dalam menjalankan bisnisnya. Padahal, jika bisa lebih efisien, dirinya yakin Pertamina akan mendapatkan untung yang lebih besar.‎‎

"Ini harus lebih efisien lagi, bisnis modelnya Pertamina dalam distribusi bensin. Ada yang bilang itu kan cuma 1-2 SPBU (Vivo). Lah 1-2 ini justru cost-nya lebih besar, daripada 5.000-6.000 SPBU," ujar Jonan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya