DPR Kritik Sikap Trump Akui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel

Rencana menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel merupakan salah satu janji kampanye Trump saat pemilihan presiden.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 04 Des 2017, 21:16 WIB
Anggota Komisi VII DPR RI Rofi Munawar

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antarparlemen (BKSAP) DPR Rofi Munawar menilai rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendukung pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem kontraproduktif. Langkah itu akan mengganggu penyelesaian konflik Palestina.

Di samping itu, menurut dia, kebijakan Trump bertentangan dengan resolusi internasional. Ketegangan bisa memuncak di Timur Tengah.

"Yerusalem merupakan salah satu episentrum perjuangan utama bagi bangsa Palestina, karena adanya Al Quds," kata Rofi Munawar dalam keterangan persnya, Senin (4/11) di Jakarta.

Legislator asal Jawa Timur ini menambahkan, relokasi kedutaan besar AS bersamaan dengan rencana menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel merupakan salah satu janji kampanye Trump saat pemilihan presiden. Ironisnya, lanjut dia, kebijakan luar negeri AS ini merugikan serta tidak mempertimbangkan kepentingan Palestina.

"Trump selama ini telah secara jelas menjadikan Yerusalem dan Palestina sebagai komoditas kampanye dalam pemilihan presiden," sesal anggota DPR RI asal Fraksi PKS ini.

Rofi menjelaskan sejumlah alasan mengapa Yerusalem tidak bisa dijadikan ibu kota oleh Israel. Pertama, resolusi Komite Warisan Budaya Organisasi Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) memutuskan hilangnya kedaulatan Israel atas Kota Al-Quds (Yerusalem) yang diduduki. Selain itu, bagi umat Islam keberadaan Yerusalem memiliki sejarah panjang dalam proses perjuangan melawan Israel.

"Komunitas internasional dan PBB harus bersikap tegas terhadap rencana Donald Trump ini. Adapun OKI harus mengambil inisiatif yang lebih proaktif dalam menanggapi isu ini," pungkas Rofi.

 


Permintaan Palestina

Presiden Palestina Mahmoud Abbas dilaporkan berusaha mengumpulkan dukungan diplomatik pada menit-menit terakhir demi membujuk Donald Trump agar tidak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Spekulasi terus menyeruak bahwa Trump akan mengumumkan pengakuan tersebut dalam pekan ini.

Saran agar Trump "mengenali" Yerusalem -- wilayah yang oleh Palestina juga diklaim sebagai ibu kota negara di masa depan -- kencang berembus belakangan menyusul pertimbangan apakah Trump akan bertindak sama seperti para pendahulunya, yakni menghindari pemindahan kedubes AS.

Usulan pemindahan kedubes AS ke Yerusalem ini bukanlah sebuah wacana baru.

Pada 1955, Kongres AS mengesahkan UU yang mewajibkan Gedung Putih memindahkan kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem. Namun, Presiden AS mulai dari Bill Clinton hingga Barack Obama menggunakan hak prerogatif mereka untuk menolak keputusan kongres tersebut dengan alasan mengancam kepentingan dan keamanan nasional.

Keputusan kongres tersebut ditinjau ulang setiap enam bulan sekali. Dan pada Juni 2017, Trump sudah memutuskan menunda pemindahan tersebut. Langkahnya itu membuat Israel kecewa.

Kini, setelah enam bulan berlalu, sang presiden harus kembali memutuskan. Batas waktu bagi Trump adalah hari Senin waktu setempat.

Hingga Minggu malam, menantu sekaligus penasihat seniornya, Jared Kushner, menegaskan bahwa Trump masih belum memutuskan apa yang akan dilakukannya.

Berbicara dalam Saban Forum di Washington untuk pertama kalinya sebagai utusan Trump dalam proses perdamaian Timur Tengah, Kushner mengatakan bahwa mertuanya masih "meneliti banyak fakta".

Rencana pemindahan kedubes AS ke Yerusalem menuai banyak pertentangan termasuk dari pemimpin Liga Arab, Ahmed Abul Gheit. Ia memastikan negara-negara Arab akan segera mengumumkan posisi mereka jika Trump mengambil langkah kontroversial tersebut.

"Sangat disayangkan beberapa orang bersikeras mengambil langkah tersebut tanpa memperhatikan bahaya yang ditimbulkan terhadap stabilitas Timur Tengah dan seluruh dunia," kata Gheit di hadapan wartawan di Kairo.

"Tidak ada yang membenarkan tindakan tersebut ... itu tidak akan menghasilkan perdamaian atau stabilitas, tapi akan memelihara fanatisme dan kekerasan," imbuhnya. 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya