Liputan6.com, Pyongyang - Kepala Departemen Urusan Politik Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jeffrey David Feltman dijadwalkan tiba di Pyongyang, Korea Utara, pada hari Selasa 5 Desember 2017.
Mantan diplomat Amerika Serikat (AS) itu berencana akan berada di Pyongyang selama empat hari, terhitung sejak hari ini hingga Jumat, 8 Desember 2017.
Advertisement
Kunjungan Feltman ke Pyongyang merupakan kunjungan pertama seorang pejabat senior PBB dalam enam tahun terakhir. Mengutip BBC, Selasa (5/12/2017), Feltman bertandang ke Ibu Kota Korea Utara untuk memenuhi undangan informal 'dialog kebijakan' yang disampaikan kepada PBB pada bulan September.
Undangan tersebut baru bisa dikonfirmasi PBB pada tanggal 30 November 2017. Juru bicara PBB mengatakan kepada wartawan bahwa Feltman akan bertemu dengan sejumlah pejabat senior, termasuk Menteri Luar Negeri Korea Utara Ri Yong-ho. Meski demikian, ia tidak akan menemui pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.
Wartawan BBC di Seoul, Paul Adams, mengatakan, dengan tidak adanya ikatan diplomatik yang berarti, PBB meyakini bahwa mengejar peluang sekecil apa pun dalam dialog tersebut sangatlan penting.
Terlebih, lawatan Feltman dilakukan sehari setelah Korea Utara meluncurkan rudal balistik antarbenuanya. Kedatangan Feltman ke Korea Utara dianggap tepat karena dilakukan pada masa-masa ketegangan yang memuncak, termasuk kecaman internasional lantaran peluncuran rudal uji coba Korea Utara.
Sementara itu, sebagai gambaran pembalasan AS dan Korea Selatan, pada hari Senin 4 Desember 2017, kedua negara ini memulai latihan tempur gabungan angkatan udaranya. Latihan ini melibatkan lebih dari 200 pesawat terbang dan ribuan tentara.
Mendengar kabar itu, Korea Utara menjadi 'panas' dan mengecam latihan tersebut. Korea Utara bahkan menyebutnya sebagai tindakan provokasi. Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan, jika peperangan benar-benar pecah, ia menilai rezim Korea Utara akan hancur.
Sementara itu, kunjungan terakhir pejabat senior PBB ke Korea Utara dilakukan ketika Valerie Amos, yang kemudian menjadi kepala bantuan PBB, pada bulan Oktober 2011. Pendahulunya, Feltman Lynn Pascoe, juga pernah berkunjung pada tahun 2010.
Siapa Lagi Yang Pernah Melawat Ke Korea Utara?
China pernah mengirimkan seorang diplomat senior ke Korea Utara sebagai utusan Presiden Xi Jinping.
Seperti dilansir The Washington Post, Rabu 15 September 2017, pengumuman tersebut disampaikan sepekan setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengunjungi China dan mendesak Beijing untuk bekerja lebih keras menangani isu nuklir Korut.
Kantor berita Xinhua melaporkan, Song Tao, yang memimpin Departemen Urusan Luar Negeri Partai Komunis China berkunjung ke Korut pada Jumat 17 November untuk menginformasikan pada Pyongyang tentang hasil yang dicapai Kongres Partai Komunis beberapa waktu lalu.
Beijing, memang secara rutin melakukan perjalanan serupa ke negara-negara komunis lainnya setelah menyelenggarakan Kongres partai. Song juga telah mengunjungi Vietnam dan Laos dalam misi serupa.
Xinhua tidak menerangkan apakah dalam kunjungannya, Song akan membahas isu nuklir Korut atau bertemu dengan Kim Jong-un. Meski demikian, para ahli menilai bahwa lawatan ini merupakan kesempatan yang penting bagi Beijing untuk membuka kembali saluran dialog dengan Korut, menyusul memburuknya hubungan kedua negara selama beberapa tahun terakhir.
China memiliki utusan khusus resmi ke Korut, yakni Kong Xuanyou. Namun, ia diyakini sudah tidak pernah mengunjungi Korut sejak Agustus lalu. Pendahulunya, Wu Dawei, terakhir kali menyambangi Korut pada Februari 2016.
Melalui kunjungannya, Song akan menjadi pejabat setingkat menteri pertama yang berkunjung ke Korut sejak kedatangan anggota Komite Tetap Politbiro, Liu Yunshan, pada Oktober 2015. Dalam kesempatan itu, Liu diketahui bertatap muka dengan Kim Jong-un.
Presiden Xi Jinping dipercaya sangat kecewa dengan keagresifan Korut berikut uji coba rudal dan nuklirnya. Berdasarkan tekanan AS dan sejalan dengan resolusi DK PBB, Beijing sendiri telah menjatuhkan sanksi yang relatif ketat terhadap Pyongyang.
Meski demikian, bagaimanapun, China masih mendominasi perdagangan dengan Korut dan enggan memangkas jalur ekonomi antarkeduanya. Pipa yang memasok minyak mentah dari China ke Korut masih beroperasi sehingga memungkinkan industri dan militer Korut tetap "berdenyut".
Advertisement