Freeport Berpotensi Rugikan RI Rp 6 Triliun, Ini Kata Pemerintah

Potensi kerugian negara terjadi karena adanya perbedan antara tarif pada Kontrak Karya dengan PP PNBP.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 06 Des 2017, 09:40 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan tanggapan atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terkait potensi kehilangan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kontrak karya dengan Freeport. Dalam temuan tersebut ada kerugian sebesar US$ 445,96 juta atau setara Rp 6,05 triliun (asumsi kurs Rp 13.575 per dolar Amerika Serikat) untuk periode 2009 sampai 2015.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan, temuan BPK merupakan potensi peningkatan penerimaan negara, dari iuaran tetap dan iuran produksi atau royalti PT Freeport Indonesia selama periode 2009 sampai dengan 2015 sebesar US$ 445,96 juta, terdiri dari iuran tetap US$ 1.3 juta, ‎royalti US$ 393,5 juta,‎ royalti sukarela US$ 51,1 juta.

"Potensi tersebut terjadi karena adanya perbedan antara tarif pada Kontrak Karya dengan PP PNBP," kata Bambang, seperti ditulis Rabu (6/12/2017).

Atas temuan tersebut maka dikeluarkan rekomendasi berupa:

Setiap kontrak pertambangan naik bentuk Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dicantumkan klausul untuk tunduk atau menyesuaikan dengan peraturan perundangan yang dari waktu ke waktu berlalu di Indonesia.

Setiap ada perubahan undang-undang maupun peraturan perundangan, terkait pertambangan melibatkan para pemangku kepentingan khususnya pelaku industri, agar aturan perundangan yang baru segera dapat diterapkan.

Kementerian ESDM pun menanggapi temuan tersebut, sejak berlakukanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 KK atau PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap diberlakukan sampai dengan jangka waktu kontrak perjanjian.

Penyesuaian dengan ‎perundang-undangan terkait penerimaan negara atas KK PKP2B, Menteri ESDM telah dan akan melakukan melalui renegosiasi kontrak yang ditargetkan selesai seluruhnya 2017.

"Dirjen minerba akan melakukan peningkatan sosialisasi‎ terkait adanya perubahan kebijakan bidang pertambangan," tutup Bambang.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Temuan BPK

Sebelumnya, BPK menyusun Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017. Dalam IHPS tersebut memuat 687 laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK pada semester I 2017.

687 laporan itu terdiri atas 645 LHP Keuangan (94 persen), 9 LHP Kinerja (1 persen) dan 33 LHP dengan tujuan tertentu (DTT) sebesar 5 persen.

Salah satu dari 33 LHP dengan tujuan tertentu yang signifikan, seperti dikutip dari IHPS I 2017, Selasa (3/10/2017) yaitu pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia.

Mengutip laman tersebut, pemeriksaan atas kontrak karya PT Freeport Indonesia (PT FI) ini terjadi pada 2013-2015. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai kepatusan PTFI dalam hal penerimaan negara dan kepatuhan terhadap peraturan terkait dengan lingkungan hidup, serta menguji apakah perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham PTFI telah berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Hasil pemeriksaaan menyimpulkan, pengelolaan pertambangan mineral pada PTFI belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai ketentuan berlaku untuk menjamin pencapaian prinsip pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.

BPK menemukan beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian. Pertama, pembayaran iuran tetap, royalti dan royalti tambahan oleh PTFI menggunakan tarif yang tercantum dalam kontrak karya, yang besarannya lebih rendah serta tidak disesuaikan dengan tarif berlaku saat ini.

Hal itu mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang diterima periode 2009-2015 senilai US$ 445,96 juta atau sekitar Rp 6,05 triliun (asumsi kurs Rp 13.575 per dolar Amerika Serikat).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya