Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Rabu waktu Washington secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusannya tersebut "bertentangan" dengan kebijakan luar negeri AS yang telah berjalan selama tujuh dekade.
Pengumuman Trump sekaligus menandai langkah awal pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
"Hari ini, akhirnya kita mengakui hal yang jelas: bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Ini tidak lebih dari sekadar pengakuan akan realitas. Ini juga hal yang tepat untuk dilakukan. Ini hal yang harus dilakukan," ujar Trump saat berpidato di Diplomatic Reception Room, Gedung Putih, seperti dikutip dari nytimes.com, Kamis (7/12/2017).
Selama tujuh dekade, AS bersama dengan hampir seluruh negara lainnya di dunia, menolak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sejak negara itu mendeklarasikan pendiriannya pada 1948. Sementara, menurut Trump, kebijakan penolakan tersebut membawa seluruh pihak "tidak mendekati kesepakatan damai antara Israel-Palestina".
"Akan menjadi kebodohan untuk mengasumsikan bahwa mengulang formula yang sama persis sekarang akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda atau lebih baik," ungkap Presiden ke-45 AS tersebut.
Pengakuan terhadap Yerusalem, menurut Trump, adalah "sebuah langkah terlambat untuk memajukan proses perdamaian".
Baca Juga
Advertisement
Trump sebelumnya telah bersumpah akan menjadi perantara "kesepakatan akhir" antara Israel dan Palestina. Terkait hal ini, ia menegaskan bahwa dirinya tetap berkomitmen untuk melakukan hal tersebut mengingat "itu sangat penting bagi Israel dan Palestina".
Ayah lima anak itu mengatakan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel tidak seharusnya ditafsirkan bahwa AS mengambil posisi tertentu atau bagaimana kota itu akan dibagi.
"Dalam pengumuman ini, saya ingin mempertegas satu hal: keputusan ini tidak dimaksudkan, dengan cara apa pun, untuk menunjukkan penarikan diri dari komitmen kuat kami untuk memfasilitasi kesepakatan perdamaian abadi. Kami menginginkan sebuah kesepakatan yang menjadi kesepakatan baik bagi Israel maupun Palestina."
"Kami tidak mengambil posisi untuk status akhir pada isu-isu tertentu, termasuk perbatasan spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem atau resolusi perbatasan yang diperdebatkan. Itu menjadi urusan pihak-pihak yang terlibat," ujar Trump.
Sebagai gantinya, Trump menekankan dimensi politik dalam negeri atas keputusannya tersebut. Ia mengatakan bahwa dalam kampanye Pilpres 2016, ia telah berjanji untuk memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem yang berarti mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel.
"Presiden-Presiden sebelumnya telah menjadikan itu sebagai janji utama dalam kampanye mereka, tapi mereka gagal mewujudkannya. Hari ini, saya melakukannya," tutur suami dari Melania tersebut.
Meski tidak disinggung dalam pidatonya, Trump dilaporkan akan tetap menandatangani perintah suspensi per enam bulan untuk menunda kepindahan Kedubes AS ke Yerusalem. Pejabat Gedung Putih menjelaskan bahwa hal tersebut harus dilakukan mengingat butuh waktu beberapa tahun untuk "memboyong" misi diplomatik AS ke Yerusalem.
Trump menyadari pertentangan yang timbul atas keputusannya. "Jadi hari ini, kami serukan agar ketenangan, sikap menahan diri, suara-suara toleransi harus menang atas penebar kebencian".
Pengakuan Trump atas Yerusalem dinilai mengisolasi AS dalam salah satu isu diplomatik paling sensitif di dunia. Sebelumnya, wacana Trump tersebut telah menimbulkan badai kritik dari para pemimpin negara-negara Arab dan Eropa.
Peringatan Bahaya untuk Donald Trump
Presiden Prancis Emmanuel Macron (39) via telepon pada Senin, 4 Desember telah menyampaikan pada Trump bahwa ia "prihatin" dengan rencana sepihak Presiden AS itu mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Setiap keputusan mengenai status kota yang diperebutkan harus 'dalam kerangka negosiasi antara Israel dan Palestina'," kata Macron seperti dimuat dalam keterangan Kementerian Luar Negeri Prancis yang dilansir CNN.
Lebih lanjut, Macron menegaskan bahwa standar posisi internasional, status Yerusalem harus diselesaikan melalui perundingan damai antara Israel dan Palestina dan terutama yang berhubungan dengan pembentukan dua negara, hidup berdampingan secara damai dan aman dengan Yerusalem sebagai ibu kota mereka.
Sekutu utama Negeri Paman Sam di Timur Tengah, Arab Saudi, melalui Duta Besarnya di Washington, Pangeran Khalid bin Salman merilis pernyataan senada dengan Macron.
"Setiap pengumuman sebelum penyelesaian akhir memiliki dampak merugikan pada proses perdamaian dan akan meningkatkan ketegangan di kawasan," kata Pangeran Khalid bin Salman.
Di samping itu, diplomat Saudi tersebut juga menyatakan bahwa pihaknya bekerja sama dengan AS mengenai penyelesaian damai di Timur Tengah dan tetap berkomitmen atas solusi damai 1967.
"Kami bekerja sama dengan tim negosiasi damai Presiden untuk mencapai penyelesaian yang adil," imbuhnya.
Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shukri dilaporkan telah berbincang dengan mitranya Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson. Shukri memperingatkan Negeri Paman Sam akan bahaya yang mungkin terjadi jika Trump nekat melaksanakan rencana tersebut.
Seperti dikutip dari haaretz.com, Shukri menekankan bahwa pengakuan terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel tidak hanya akan mengubah kebijakan luar negeri AS yang konsisten selama beberapa dekade, tapi juga dapat memicu kekerasan di Timur Tengah dan runtuhnya proses perdamaian dua negara.
Diplomat Mesir itu menyatakan bahwa makna historis dan religius Yerusalem harus disikapi dengan kehati-hatian ketika dikaitkan dengan status diplomatik kota tersebut. Menurutnya, isu ini tidak hanya penting bagi Palestina, tapi juga dunia Arab dan muslim.
Shukri menambahkan bahwa Mesir tertarik untuk membantu membangun kepercayaan antara Israel dan Palestina sehingga kedua belah pihak dapat mencapai kesepakatan damai yang adil dan komprehensif.
Menteri Luar Negeri Yordania memperingatkan Amerika Serikat akan "konsekuensi berbahaya" jika Negeri Paman Sam memutuskan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Ayman Safadi mengatakan, ia telah menegaskan hal tersebut kepada Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson bahwa deklarasi pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel akan memicu kemarahan besar di dunia Arab dan muslim.
"Berbicara dengan Menlu AS Tillerson mengenai konsekuensi berbahaya bila mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan itu akan memicu kemarahan di dunia Arab dan muslim, memantik ketegangan dan membahayakan upaya perdamaian," tulis Menlu Safadi di akun Twitter-nya pada Senin 4 Desember.
Sebelumnya, tepatnya pekan lalu, Raja Abdullah telah memperingatkan pemerintahan Trump bahaya tentang memindahkan Kedubes AS ke Yerusalem.
Suami dari Ratu Rania itu menerangkan bahwa langkah tersebut dapat menjadi "amunisi" bagi kelompok teroris di Timur Tengah dan menyebabkan runtuhnya inisiatif perdamaian yang tengah diupayakan.
Turki juga bergabung dengan pihak yang menentang rencana Trump. Harian berbahasa Inggris Turki, Hurriyet Daily News, pada Senin melaporkan bahwa Wakil Perdana Menteri, Bekir Bozdag menyebut pengakuan atas Yerusalem merupakan "bencana" bagi kawasan.
Bozdag menuturkan, jika Trump ngotot dengan keinginannya, pihaknya akan "sepenuhnya mengabaikan proses perdamaian" dan "membuka jalan bagi sebuah ketidaknyamanan baru".
Menurut Bozdag, baik warga Israel dan Palestina tidak akan diuntungkan dengan kebijakan Trump. "Jika langkah lain diambil atas Yerusalem yang statusnya dilindungi kesepakatan internasional, maka hasilnya akan menjadi bencana".
"Kesepakatan internasional dan resolusi PBB mewajibkan perlindungan terhadap status Yerusalem dan PBB memiliki komitmen terpisah untuk menjaga status ini. Turki, sekali lagi mengingatkan semua orang akan tanggung jawab dan komitmen mereka terkait hal tersebut," ungkap Bozdag.
Advertisement