5 Alasan Keputusan Donald Trump Atas Yerusalem Dianggap Gegabah

Tak hanya melanggar kesepakatan internasional soal Yerusalem, Donald Trump dianggap mendukung diskriminasi.

oleh Afra Augesti diperbarui 07 Des 2017, 16:30 WIB
Donald Trump telah mendapat gelar Person of the Year pada tahun lalu. Di tahun pertama ia menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat ia menjadi orang yang cukup kontroversial di negaranya bahkan dunia. (George Frey/Getty Images/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel menuai kecaman dunia. Amerika Serikat adalah negara pertama di dunia yang melakukannya. 

Isu Yerusalem adalah salah satu kebijakan kontroversial Donald Trump, pada tahun pertamanya menjadi Presiden AS.

Soal itu, ia dinilai gegabah. Sebab, Yerusalem bukan hanya sekedar wilayah yang dibingkai garis batas. Kota tersebut adalah tanah suci tiga agama -- Islam, Kristen, dan Yahudi.

Dengan menjadikannya ibu kota negeri zionis, sama saja menjadikan Yerusalem secara keseluruhan di bawah hegemoni Israel. 

Sejumlah pemimpin negara mengaku cemas. Keputusan sang miliarder nyentrik dikhawatirkan memicu kekacauan, ketidakseimbangan, dan kegentingan yang diprediksi kian memanaskan situasi dunia internasional.

Pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel akan dilanjutkan dengan proses perpindahan kedutaan AS dari Tel Aviv ke kota itu.

Setidaknya ada 5 alasan mengapa pengakuan Donald Trump bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel dinilai gegabah, seperti mengutip dari The Hill, Kamis (7/12/2017):

 

 


1. Terlihat Pro-Israel

Keputusan Donald Trump tak hanya memberikan dukungan diplomatik -- yang belum pernah ada sebelumnya -- untuk klaim eksklusivitas Israel.

Sudah sejak lama Yerusalem menjadi kota yang diperebutkan. Kota ini dianggap suci bagi penganut tiga keyakinan, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam.

Tak ayal, keputusan Donald Trump itu mendorong pemikiran keliru Israel bahwa pemerintahnya dapat terus menguasai semua wilayah yang juga diakui Palestina.

Palestina, yang saat ini sedang berjuang untuk merdeka dan diakui sebagai negara berdaulat, menganggap Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depannya. 

Artinya, apabila Yerusalem diakui sebagai ibukota Israel, Donald Trump sama saja menyangkal kedaulatan Palestina atas tanah airnya.

Langkah Donald Trump tersebut juga mengandung unsur-unsur fanatik dari satu agama. Sebagai gambaran, Israel secara aktif berkampanye akan menghancurkan tempat-tempat suci umat Islam di Yerusalem dan menggantinya dengan sebuah kuil Yahudi. Prospek ini pastinya akan memantik perang agama di kota itu.

Padahal, status Yerusalem adalah salah satu kendala terbesar bagi tercapainya perdamaian dalam skema solusi dua negara (two states solution) antara Israel dan Palestina.

Dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Donald Trump mementahkan upaya perdamaian. 


2. Dukung Diskriminasi terhadap Warga Palestina

Pengakuan Trump memperkuat diskriminasi pada warga Palestina di Yerusalem. Selama ini, pemerintah Israel memperlakukan mereka secara berbeda, terutama di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.

Keputusan AS untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, menempatkan kota tersebut sepenuhnya di bawah kendali negeri zionis, termasuk wilayah Yerusalem Timur beserta seluruh warganya yang mayoritas keturunan Arab.  

Padahal, sejarah mencatat Tepi Barat dan Jalur Gaza merupakan wilayah Palestina yang dideklarasikan pada 1988. 

Namun, wilayah Tepi Barat sebagian besar dikuasai Israel setelah perang Arab-Israel 1967.  Hukum negara tersebut yang berlaku di wilayah itu. 

Meski warga Palestina di Yerusalem tidak tunduk pada keadaan darurat militer Israel -- seperti yang diberlakukan di Tepi Barat -- mereka masih belum bisa membuat keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Orang-orang Palestina di Yerusalem hanya memiliki hak kependudukan yang lemah -- yang kerap dicabut oleh Israel dengan dalih untuk meminimalkan kehadiran orang-orang Palestina di kota tersebut.

Sementara itu, pemerintah kota Yerusalem secara terang-terangan mendiskriminasikan penduduk Palestina.

Mereka kekurangan layanan seperti rumah, fasilitas kesehatan, pendidikan dan sanitasi. Pemerintah Yerusalem memberikan hak istimewa atas layanan tersebut kepada orang Israel.


3. Mencoreng Citra AS

 

Israel menganeksasi Yerusalem Timur usai Perang Enam Hari pada 1967. Negara itu secara sepihak mengklaim Yerusalem secara utuh sebagai ibu kotanya yang 'abadi'.

Negeri zionis telah membangun selusin permukiman, rumah bagi sekitar 200.000 orang Yahudi di Yerusalem Timur. Itu dianggap ilegal menurut hukum internasional, namun Israel tak mau mendengar.

Rencana pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem, yang diputuskan Donald Trump, sesuai dengan keputusan Kongres AS pada 1995. Namun dengan berbagai pertimbangan, para pendahulu Trump -- Bill Clinton, George W. Bush, dan Barack Obama -- memilih tak melakukannya. 

Keputusan Donald Trump dianggap serong dari kebijakan AS yang selama lebih dari 50 tahun tak mendukung tindakan ilegal Israel di Yerusalem Timur.

 


4. Ada Pembersihan Etnis?

Pada masa pemerintahan George W. Bush, Israel membangun tembok pemisah seperti Tembok Berlin, yang menghadang akses warga Palestina ke pusat kota.

Apa yang dilakukan Trump, membuat Israel seakan sah mengasingkan warga Palestina di Yerusalem, mengurung mereka dalam 'ghetto' -- permukiman khusus Yahudi yang didirikan Nazi pada masa lalu.

Bahkan sebelum pendirian negara Israel pada bulan Mei 1948, milisi zionis mulai meneror Yerusalem dan lingkungan sekitarnya. Serangan ini dirancang untuk mengusir penduduk Palestina dari rumah mereka.

Pada bulan Januari 1948, militan Haganah meledakkan Hotel Semiramis di kawasan Qatamon di Yerusalem, menewaskan 26 warga sipil.

Pada bulan April 1948, beberapa milisi zionis bersatu untuk membunuh ratusan orang Palestina di desa dekat Deir Yassin. Orang-orang Palestina panik, kabur, dipindahkan secara paksa dari permukiman mereka yang makmur.

Kota bagian barat hampir dikosongkan dari penduduk Palestina. Sampai hari ini, Israel telah menolak untuk mengizinkan pengungsi Palestina dari Yerusalem kembali ke asalnya.

Tempat tinggal mereka telah diambil alih Israel dan dihuni kembali oleh orang Yahudi Israel tanpa membayar kompensasi apapun pada pemilik lama. 


5. Donald Trump Tak Mengakui Adanya PBB

Keputusan Donald Trump bertentangan dengan kebijakan AS -- dan masyarakat internasional -- yang dengan teguh menolak untuk mengakui klaim kedaulatan Israel atas Yerusalem.

Pada tahun 1947, ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan pembagian wilayah sengketa ke dalam dua negara, Israel dan Palestina.

PBB juga mengusulkan agar Yerusalem menjadi corpus separatum, wilayah demarkasi yang dikelola oleh PBB. Tidak dikuasai kedua negara. 

Rencana ini tidak pernah terealisasi. Saat itu, ada gencatan senjata yang memperkokoh kontrol Israel dan Yordania secara de facto di bagian barat dan timur kota, status quo tersebut yang tetap bertahan sampai pendudukan Israel di Yerusalem Timur pada tahun 1967.

Inilah alasan, mengapa tidak ada satu negara pun yang mau mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Karena sejak awal, ada rencana untuk menginternasionalisasi Yerusalem. Kota suci itu menjadi milik masyarakat dunia. 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya