Liputan6.com, Surabaya - RSUD dr Soetomo tetap mewaspadai merebaknya kasus difteri di Jawa Timur. Sebuah ruang khusus bagi pasien difteri dipersiapkan sebagai upaya mengantisipasi membeludaknya pasien.
Menurut Wakil Direktur Penunjang Layanan Medik RSU dr Soetomo, Hendrian D Soebagio, selain ruang isolasi, tim medis yang disiapkan juga khusus. Ruang khusus itu, kata Hendrian, sebelumnya digunakan untuk menangani pasien terduga flu burung, flu babi, dan penderita penyakit menular lainnya.
"Memang RSU dr Soetomo mempunyai ruangan khusus untuk penyakit menular seperti ini. Kita juga punya ahli khusus, sehingga pasien dapat mendapatkan penanganan memadai," tutur Hendrian, Kamis (7/12/2017).
Baca Juga
Advertisement
Ia menyebutkankan selama setahun ini, RSU dr Soetomo menangani 61 pasien difteri. Hingga saat ini, tiga pasien di antaranya masih dirawat dan belum diperbolehkan pulang, meski kondisinya mulai membaik.
"Sebelumnya dua, ketambahan satu, jadi tiga pasien. Jika kita lihat jumlahnya tempat tidur, rata-rata jumlahnya biasa ya. Kondisi pasien relatif ya, sudah membaik," katanya.
Jika dibandingkan tahun lalu, pasien difteri yang ditangani RSU dr Soetomo dapat dikatakan relatif sama. Pada 2016, RSU dr Soetomo menangani 65 kasus difteri, sedangkan hingga awal Desember 2017 hanya sebanyak 61 kasus.
"Sedikitnya, enam kamar isolasi disiapkan dengan dilengkapi respirator dan obat-obatan. Saat merawat pasien, para dokter dan perawat juga memakai pakaian khusus. Bila selesai dipakai, pakaian itu harus dibakar," ujarnya.
Pentingnya Vaksinasi
Sementara itu, dokter spesialis anak dr. Agus Hariyanto SpA(K) menyebut pencegahan difteri bisa dengan vaksinasi. Namun, banyak dari kalangan masyarakat yang justru anti-vaksinasi dengan berbagai alasan.
Padahal, menurut dr Agus, vaksin merupakan modal dasar pencegahan yang relatif murah dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengobati difteri. "Bayangkan berapa banyak yang dikeluarkan, biayanya mahal, obatnya mahal, 10 hari diisolasi," ujarnya.
Pemerintah bahkan telah memprogramkan vaksinasi secara berkala, yakni pada Februari dan Agustus. "Di puskesmas gratis, murah, Februari sama Agustus ada BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah)," kata Agus.
Agus menyayangkan anggapan salah masyarakat yang menyebutkan vaksin haram karena mengandung babi. Penolakan itu salah satunya terjadi di daerah Tapal Kuda. Padahal, vaksinasi diperlukan ketika seseorang pergi ke luar negeri.
"Tapal Kuda tidak mau vaksinasi, padahal kalau mau ke luar negeri diminta untuk memperlihatkan kartu vaksinasi. Oleh karena itu, sebaiknya kartu vaksinasi dimiliki anak Indonesia," ucapnya.
Agus menjelaskan lebih baik melakukan pencegahan dari pada terserang difteri, sebab untuk pengobatan saja biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, baik itu untuk obat dan perawatan di ruang isolasi.
Agus yang juga anggota forum pers RSU dr Soetomo itu meminta pemerintah, dalam hal ini dinas terkait aktif menyosialisasikan pentingnya vaksinasi. Bahkan bila perlu, anak yang belum memiliki kartu vaksinasi di sekolah, wajib dirujuk ke puskesmas untuk divaksin.
"(Difteri) sebenarnya bisa dinolkan asal masyarakat bersedia lakukan vaksinasi," tuturnya.
Advertisement
Bandung Relatif Aman
Di tempat berbeda, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung Rita Verita mengatakan, pada dua tahun terakhir ini, Kota Bandung sebenarnya tidak benar-benar bebas dari kasus difteri. Sepanjang 2016 lalu, terdapat enam kasus difteri yang menimpa warga.
"Terjadi peningkatan pada tahun 2017 ini menjadi tujuh kasus, dengan satu kasus di antaranya sampai meninggal dunia. Namun jika dibandingkan dengan daerah lainnya, Kota Bandung relatif lebih aman dan tidak termasuk yang dicurigai sebagai daerah dengan wabah difteri," ujar Rita dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com.
Kendati demikian, dia menuturkan, pihaknya tetap melakukan berbagai langkah antisipasi agar difteri tidak sampai mewabah di kota ini. Meski hanya satu kasus, pihaknya langsung sigap dengan menginvestigasi kasus dalam 24 jam.
"Kami senantiasa menyiapkan antidifteri serum, melakukan pencegahan kepada orang dengan kontak erat, melakukan profilaksis difteri dengan memberikan antibiotik, termasuk memberikan imunisasi kepada petugas di puskesmas yang melakukan pemeriksaan penderita difteri," ujarnya.
Selain itu, Dinkes juga mengeluarkan surat edaran agar masyarakat waspada terhadap penyakit difteri. Bahkan, imunisasi dan penyuluhan ke sekolah rutin dilaksanakan bagi anak-anak SD kelas 1, 2, dan 5. Semua itu dilakukan untuk memutus mata rantai penyakit difteri di Kota Bandung.
"Banyak kasus difteri terjadi karena lingkungan yang tidak sehat. Oleh karena itu, kami menghimbau kepada seluruh masyarakat Kota Bandung agar berperilaku hidup bersih dan sehat. Kalau ada di lingkungannya terkena difteri, segera antarkan ke fasilitas kesehatan terdekat," ujarnya.
Difteri merupakan infeksi bakteri yang umumnya menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan, serta terkadang dapat memengaruhi kulit. Penyakit itu sangat menular dan termasuk infeksi serius.
Bakteri difteri bisa menyebar cepat 7-10 hari. Pada kasus yang berat, difteri dapat mengakibatkan penderitanya sampai meninggal dunia.
Saksikan video pilihan berikut ini: