Liputan6.com, Jakarta - Banyak di antara kita yang sering khawatir akan potensi ekonomi di 2018. Sering kali kita yang berada di industri keuangan ditanya oleh para nasabah ataupun teman-teman sekitar, akan risiko yang mungkin dihadapi di 2018.
Sebagian besar karena Indonesia akan memasuki masa kampanye di tahun tersebut dalam menyongsong pemilu 2019.
Sebenarnya, berdasarkan data historis, kita mungkin tidak perlu terlalu khawatir. Berdasarkan data seputar pemilu 2004, 2009 dan 2014, sebenarnya konsumsi pemerintah maupun rumah tangga memiliki kecenderungan positif selama 12 bulan sebelum pemilu.
Hal ini mungkin tidak terlalu membingungkan mengingat akan adanya dana-dana kampanye yang dibelanjakan dalam masa-masa tersebut.
Memang banyak di antara kita yang keliru saat melihat situasi ekonomi di periode sebelum pemilu 2004, 2009 dan 2014. Ini dikarenakan sebenarnya pertumbuhan ekonomi riil menurun di periode sebelum pemilu.
Hal ini sebenarnya lebih dikarenakan lemahnya harga komoditas sebelum pemilu 2004 dan 2009. Seperti yang kita ingat, setelah pemilu 2004, dunia dikejutkan dengan harga komoditas yang sangat fantastis, bahkan dengan harga minyak yang melampaui US$ 100 per barel.
Baca Juga
Advertisement
Tentunya, di mana sebagian besar ekspor Indonesia berasal dari komoditas, kenaikan ini menunjang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
Sama juga dengan kejadian di seputar pemilu 2009. Seperti yang kita ingat, sebelum pemilu 2009, dunia terkendala dengan krisis global yang menyebabkan harga komoditas cenderung melemah.
Namun, dunia juga dikejutkan dengan betapa cepatnya harga komoditas melonjak kembali di tahun 2010 hingga 2012.
Tentunya, harga komoditas sangatlah bergejolak dan sulit sekali diprediksi. Terlebih lagi, bahwa pergerakan komoditas sangat tergantung kepada permintaan dunia, terutama dari China, Amerika dan zona Eropa.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa Indonesia maupun pemerintah Indonesia memiliki andil yang relatif rendah terhadap pergerakan harga komoditas.
Sekitar setengah dari ekonomi Indonesia tergantung kepada konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga dan pemerintah. Maka, dapat dikatakan, untuk membuat keputusan investasi, salah satu yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan memandang ke depan, ke tahun 2018 dan menyadari bahwa, data historis menunjukan potensi penguatan konsumsi di tahun 2018, saat Indonesia mulai menyongsong pemilu 2019.
Terlebih, di tahun 2018, akan diadakan pilkada yang mencakup 17 propinsi, di mana tiga propinsi besar, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur akan menyelenggarakan pilkada.
Ketiga propinsi ini memiliki populasi kurang lebih 40 persen dari total populasi Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 36 persen dari total ekonomi Indonesia. Sehingga, terdapat kemungkinan bahwa pilkada-pilkada tersebut dipandang sebagai hidangan pembuka bagi pemilu 2019.
Bukan tidak mungkin bahwa sejarah terulang di 2018 kita melihat peningkatan konsumsi dikarenakan beredarnya dana kampanye.
Tentunya, sejarah tidak dapat dijamin selalu terulang, dan kita hanya dapat menganalisa menggunakan data historis, sembari bertanya, akankah sejarah terulang?
Teddy Oetomo, PhD
Head of Intermediary Business
PT Schroder Investment Management Indonesia
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini: