Liputan6.com, Jakarta - Difteri kembali mewabah di Tanah Air. Bakteri yang sudah terlumpuhkan puluhan tahun lalu itu terdeteksi di 95 kabupaten/kota pada 20 provinsi di Indonesia. Setidaknya itu yang tercatat oleh data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia hingga November 2017.
Bahkan, 11 provinsi melaporkan kejadian luar biasa (KLB) difteri ke Kemkes.
Advertisement
Pemerintah pun bergerak cepat. Imunisasi ulang massal atau Outbreak Response Immunization (ORI) akan dilakukan. Senin, 11 Desember 2017, pemerintah akan menggelar ORI serentak di tiga provinsi: Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.
Kenapa imunisasi ulang massal dilakukan di tiga provinsi tersebut, sedangkan kasus difteri tertinggi tercatat di Jawa Timur?
Kasus difteri tertinggi memang terjadi di Jawa Timur. Ada 271 kasus yang dilaporkan, 11 di antaranya meninggal dunia. Namun, pemerintah telah menggelar imunisasi ulang massal di daerah terdampak tersebut jauh hari sebelumnya.
Oleh karena itu, DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat sebagai daerah terdampak difteri terbanyak setelah Jawa Timur-lah yang kini mendapat giliran penanganan dari pemerintah.
Jumlah penduduk yang padat di ketiga provinsi tersebut juga menjadi alasannya. Belum lagi mobilisasi yang tinggi di ketiga wilayah itu dianggap berpotensi tinggi mentransmisi penyakit menular, seperti difteri.
Masih merujuk pada data Kementerian Kesehatan RI, ada 22 kasus difteri yang dilaporkan di DKI Jakarta, meliputi 123 kasus dengan 13 kematian di 18 kabupaten/kota di Jawa Barat. Kemudian ada 63 kasus difteri dengan sembilan kematian di Banten.
Kasus difteri terbanyak di Jawa Barat terdapat di Purwakarta dengan 27 kasus dan di Karawang 14 kasus. Sementara di Banten, sampai saat ini ada tiga pasien difteri yang tengah dirawat di RSUD Kabupaten Tangerang, dua pasien di Kota Tangerang, dan satu orang di Depok.
“Saya mengumpulkan tiga provinsi, Banten, DKI Jakarta, dan Jabar untuk melakukan respons cepat terhadap kejadian kasus difteri di Indonesia. Pada saat ini sudah ada 20 provinsi yang melaporkan kasus. Dari 20 provinsi itu bukan satu provinsi semuanya terkena difteri, tapi ada beberapa kabupaten/kota yang melaporkan KLB dan di sebagian Kabupaten/kota tersebut KLB sudah tertangani dengan baik,” kata Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Mohamad Subuh, di Jakarta, Rabu (6/12).
Imunisasi ulang serentak dilakukan 3 putaran
Outbreak Response Immunization (ORI) atau imunisasi ulang serentak yang dilakukan pada 11 Desember esok menyasar anak usia 1 tahun hingga di bawah 19 tahun di 12 kabupaten/kota di Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Pemberian imunisasi antara lain digelar di Kota Jakarta Barat, Kota Jakarta Utara, Purwakarta, Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Serang.
Imunisasi ulang pemberian vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) secara massal itu akan dilakukan dalam tiga putaran dengan rumus 016.
"ORI ini kami lakukan dengan rumus 016. Maksudnya, tahap pertama itu penyuntikan (pada 11 Desember). Penyuntikan diulangi lagi pada bulan depan. Kemudian penyuntikan diulangi 6 bulan berikutnya," jelas Subuh.
Artinya, jika imunisasi ulang difteri dilakukan pada 11 Desember, maka imunisasi tahap kedua pada 11 Januari 2018. Kemudian penyuntikan ketiga dilakukan enam bulan setelahnya, yakni pada 11 Juli 2018.
Target ORI di masing-masing provinsi tersebut adalah sebagai berikut,
DKI Jakarta
- Jakarta Utara: 512.208 orang
- Jakarta Barat: 722.202 orang
Jawa Barat
- Purwakarta: 310.150 orang
- Karawang: 713.087 orang
- Depok: 668.835 orang
- Kota Bekasi: 836.660 orang
- Kabupaten Bekasi: 1.100.446 orang
Banten
- Kota Tangerang: 618.509 orang
- Kabupaten Tangerang: 1.189.124 orang
- Kabupaten Serang: 526.270 orang
- Kota Serang: 238.491 orang
- Kota Tangerang Selatan: 478.594 orang
Menurut Subuh, seluruh Kepala Dinas Kesehatan telah menyatakan kesiapan melaksanakan imunisasi ulang massal itu.
"Seluruh Kepala Dinas Kesehatan menyatakan siap melaksanakan ORI 3 putaran dan kami siapkan logistiknya," kata Subuh.
Dua kali lipat
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan dari Januari sampai akhir November 2017, dilaporkan ada 593 kasus difteri dengan 32 kematian yang terdata.
Menilik data tersebut, Subuh menjelaskan, mengapa kasus difteri disebut KLB. "Disebut KLB itu karena ada peningkatan dua kali kasus pada periode yang sama. Misal, pada tahun Desember 2016 ada satu kasus. Kemudian Desember 2017 ada dua kasus," jelas Subuh.
Selain itu, bila di daerah itu ditemukan kasus difteri, padahal kasus itu sebelumnya tidak ada, maka tetap dikategorikan KLB. Adanya peningkatan kematian juga termasuk kategori disebut KLB.
Advertisement
Kenali gejala dan bahaya difteri
Mengutip laman Mayo Clinic, difteri adalah infeksi serius pada selaput lendir di hidung dan tenggorokan akibat bakteri Corynebacterium dipththeriae.
Gejala difteri ditandai dengan demam yang tak begitu tinggi (38 derajat Celsius), munculnya pseudomembran atau selaput tenggorokan berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, sakit ketika menelan, terkadang disertai pembesaran kelenjar getah bening di leher dan jaringan lunak leher yang disebut bullneck. Ada kalanya gejala difteri juga disertai sesak napas dan suara mengorok.
Difteri disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae dan bersifat mudah sekali menular melalui percikan air liur (droplet) dari bersin atau batuk.
Umumnya difteri menyerang individu yang tak memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut, terutama anak-anak. Namun, penyakit ini sebetulnya tak pandang usia dan tidak tergantung musim. Terbukti ada pasien usia 45 tahun asal Jawa Timur yang terkena difteri di 2017.
"Jadi, sebenarnya (difteri) itu tidak terbatas pada usia," ujar Subuh, Senin (4/12/2017) di Jakarta.
Masa penularan difteri dari penderita, yakni 2-4 minggu sejak masa inkubasi (2-5 hari). Masa inkubasi adalah waktu masuknya bakteri ke dalam tubuh hingga menimbulkan gejala.
Mengingat penularannya begitu cepat, maka bila ada anggota keluarga yang positif mengalami gejala difteri, anggota keluarga lainnya harus mendapat imunisasi. Tujuannya agar anggota keluarga yang lain tak ikut tertular difteri.
Jika gejala difteri tidak segera ditangani atau petugas medis keliru mendiagnosis, maka bisa mengakibatkan kematian pada penderita. Menurut Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Provinsi Jawa Barat, Yus Ruseno, difteri yang sudah parah bisa merusak sistem saraf pusat, jantung, dan ginjal.
Penyebab kasus difteri meningkat
Munculnya KLB difteri bisa terkait dengan adanya kesenjangan atau kekosongan kekebalan (immunity gap) di kalangan penduduk di suatu daerah.
Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri karena tidak mendapat imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya.
Adanya penolakan imunisasi di beberapa daerah di Tanah Air akhir-akhir ini menyebabkan cakupan imunisasi juga tidak sampai 95 persen. Hal itu meningkatkan risiko penyebaran difteri.
Bila semua masyarakat mendukung imunisasi, termasuk difteri, langkah ini bukan hanya melindungi dirinya, melainkan juga mencegah orang lain tertular penyakit tersebut.
"Imunisasi itu pencegahan. Dan tentu harus tahu, melakukan imunisasi itu untuk menolong yang lain juga. Bukan hanya diri sendiri," tegas Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, Senin (4/12/2017) di Jakarta.