Kekalahan Nian Shou, Tonggak Awal Imlek

Seorang nenek dan pria tua bersiap menghadapi monster Nian Shou di sebuah desa. Pertempuran ini diyakini sebagai momen bersejarah lahirnya perayaan Tahun Baru Imlek.

oleh Liputan6 diperbarui 16 Jan 2012, 23:30 WIB
Liputan6.com, Jakarta: Penduduk desa di sebuah kaki gunung di daratan Tionghoa, Cina, gemetar ketakutan. Mereka meninggalkan rutinitas sehari-hari dan bergegas mengemasi barang berharga yang dapat dibawa. Pada hari itu, menjelang pergantian tahun, mengungsi dari pemukiman adalah pilihan paling logis. Mereka tak ingin berakhir tragis di hadapan Nian Shou.

Makhluk menakutkan bernama Nian Shou disebut-sebut memiliki tanduk, bermata besar, dan berkuku tajam. Selain berpenampilan seram, sosok yang hidup di dasar laut atau di atas gunung ini bersifat buas, keji, dan tak mengenal belas kasih. Nian kerap bangun dari tidur panjang untuk menyerang manusia di musim semi atau menjelang momen Tahun Baru Cina. Nian Shou yang bermakna tahun (Nian) dan binatang (Shou) ini dilambangkan dengan dua belas jenis hewan, yakni naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, babi, tikus, kerbau, macan, dan kelinci.

Di saat semua mengungsi, seorang nenek terlihat berdiri kaku di teras rumah. Kondisi tubuh renta membuatnya tak bisa ikut menyelamatkan diri bersama warga lainnya. Perempuan yang berpuluh-puluh kali selamat dari ancaman Nian Shou ini menyerah, lelah, dan pasrah. Tak apalah, pikirnya, jika harus berakhir di perut seekor monster legendaris. Setidaknya ia akan membuat Nian Shou sedikit terpuaskan, dan mungkin, mungkin saja segera meninggalkan desa. Dengan begitu, para penduduk tak perlu berlama-lama diam di persembunyian. Sang nenek pun tersenyum membayangkan semua harapan menjadi kenyataan.

Keringat dingin membasahi dahi sang nenek. Berdasarkan pengalamannya selama ini, Nian Shou segera keluar dan menebar teror lebih kurang enam jam dari sekarang. Nenek yang berdiri gemetar sembari memegang erat sebatang sapu sebagai senjata seadanya, memicingkan mata, berusaha melihat sesosok bayangan di kejauhan. Bulu kuduk si nenek sempat berdiri, namun kembali normal saat mengetahui sosok tersebut hanya seorang manusia.

Pria asing yang berpenampilan lusuh itu kemudian bertanya mengapa tidak ada seorang pun di desa ini. Setelah mendapat penjelasan, sang pria yang juga berusia lanjut itu mengangguk, seolah mengerti harus berbuat apa. Ia tak menghiraukan anjuran si nenek untuk ikut melarikan diri ke balik bukit. Pria tua itu menepuk pundak sang  nenek dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Niat "bunuh diri" di hadapan pun Nian Shou sirna.

Entah karena nada bicara lembut atau pembawaan yang santai, sang nenek memercayai ucapan orang yang baru dikenalnya. Secercah harapan pun muncul. Berdasarkan perkataan si kakek, Nian Shou bukanlah makhluk yang tak bisa dikalahkan. Monster pemakan manusia dan hewan ternak itu juga memiliki kelemahan. Nian Shou takut terhadap tiga hal: warna merah, suara bising, dan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Waktu kemunculan Nian Shou semakin dekat. Sang pria tua meminta si nenek membantu persiapan mengusir monster. Mereka berdua bahu membahu mengecat semua dinding rumah dengan warna merah, memasang berbagai ornamen merah di berbagai titik, membuat petasan dari batang bambu, serta membentangkan kain lebar yang digambari layaknya sesosok makhluk besar. Karena menyangkut hidup dan mati, pria dan perempuan berumur lanjut itu berhasil menyelesaikan semuanya dalam waktu lima jam saja. Desa kecil itu disulap menjadi lautan merah.

Saat yang ditunggu tiba. Nian Shou muncul ke permukaan. Sang monster lapar terlihat bergerak mendekat, berniat mengisi perut usai tidur panjang di musim dingin. Nian Shou yang semula beringas mendadak ciut saat melihat sejuta merah di depan mata. Sang monster gemetar, berjalan terhuyung-huyung, seperti seekor anjing sekarat. Di salah satu sudut rumah, duo kakek nenek bersiap melakukan serangan lanjutan.

Momentum ini tepat, pikir si kakek. Pria berambut perak itu mengerutkan kening, bertindak ekstra hati-hati. Ia tidak ingin salah memberi aba-aba kepada rekan kerja dadakannya. Semua harus berjalan sempurna, demi menyudahi malapetaka yang menimpa desa ini sejak puluhan tahun lalu. Dan, semua pun dipertaruhkan pada saat itu.

"Sekaraaaang!!!" teriak pria tua itu. Kain lebar yang tergulung di sudut 45 derajat dari tempat Nian Shou berdiri, terbuka. Sontak, sang monster melompat ke belakang dan jatuh tersungkur, terkejut melihat kain besar yang ia duga sebagai makhluk berukuran raksasa. Nenek tua yang berdiri gemetar sembari memegangi sebatang bambu, seakan tak percaya menyaksikan pemandangan di depan mata. Nian Shou, monster mitologi legendaris pemakan manusia, terlihat begitu tak berdaya. Walau sudah dimakan usia, perempuan tua yang belum pernah melakukan hal luar biasa selama hidupnya, merasa yakin dapat mengalahkan Nian Shou saat ini.

Aba-aba kedua terdengar jelas di kuping sang nenek. Ia pun segera menyalakan petasan, persis seperti yang dilakukan pria tua misterius di sudut rumah tepat di seberang jalan. Suara bising petasan menggelegar, memecah keheningan malam sunyi. Sang kakek kemudian keluar dari tempat persembunyian, mendekati Nian Shou sambil tertawa keras. Nian Shou terlihat kesakitan, didera derita dahsyat. Selang beberapa menit, makhluk yang selama ini mengganggu ketenteraman warga, terbang menghilang ke langit.

Semua berakhir. Mimpi buruk itu berakhir, pikir si nenek. Kini, ia dan penduduk lainnya dapat menjalani kehidupan normal tanpa gangguan Nian Shou. Sang nenek yang larut dalam kegembiraan tak kuasa menahan tangis dan berlutut penuh haru. Dari balik mata sembabnya, ia melihat sang pria tua tersenyum di kejauhan sebelum akhirnya ikut terbang ke angkasa. Sang nenek bersyukur. Doanya selama ini dijawab. Kerajaan langit ternyata mengirim seorang dewa untuk mengakhiri penderitaan manusia di bumi, di desa kecil ini.

Keesokan harinya, para penduduk kembali. Mereka terkejut melihat tempat tinggal mereka menjadi serba merah, namun tanpa ada kerusakan. Sang nenek tersenyum melihat beberapa tetangganya diantara kerumunan orang. Air mata pun kembali jatuh. Dan, cerita heroik sang nenek bersama dewa langit menyebar luas ke seantero daratan Cina.

Terdapat beberapa versi terusirnya Nian Shou dari muka bumi. Dikisahkan monster ganas itu lari ketakutan setelah bertemu seorang bocah yang kebetulan mengenakan pakaian berwarna merah. Ada pula yang menyebut bahwa sosok pria tua misterius hanyalah pengemis biasa yang kebetulan melintas. Kendati begitu, kesamaan dari beragam cerita ini adalah Nian Shou takut terhadap warna merah dan suara bising.

Semenjak Nian Shou tidak lagi terlihat, otomatis warga Tionghoa tak perlu lagi mengungsi. Sebagian orang mempercayai Nian Shou hanya melarikan diri dan dapat kembali sewaktu-waktu. Untuk mengantisipasinya, mereka memasang kain merah, menyalakan petasan dan menyalakan lentera sepanjang malam, menunggu datangnya Tahun Baru. Adat istiadat ini mengakar kuat dan menjadi sebuah perayaan tradisional orang Tionghoa dalam menyambut "berlalunya Nian" (dalam bahasa Tionghoa, Nian berarti tahun).

Orang Tionghoa selalu mengkaitkan periode waktu dari hari ke-23 hingga ke-30 dalam dua belas bulan sistem kalender lunar (bulan) tepat sebelum Hari Raya Imlek sebagai "Nian kecil." Ketika malam Tahun Baru tiba, seluruh keluarga berkumpul bersama. Di wilayah utara Tiongkok, setiap keluarga memiliki tradisi memakan kue bola apel bernama Jiao. Dalam bahasa Tionghoa, Jiao memiliki pelafalan yang sama dengan kata "bersama." Dengan kata lain, kue bola apel ini melambangkan kebersamaan dan kebahagiaan keluarga. Selain itu, "Jiao" juga memiliki makna lain yaitu datangnya tahun baru.

Di wilayah selatan Tiongkok, masyarakat setempat senang mengonsumsi kue manisan Tahun Baru yang terbuat dari tepung beras. Kue ini melambangkan manisnya kehidupan dan diyakini mampu membuat kemajuan dalam hidup. Dalam bahasa Tionghoa, kata "kue" dan "membuat kemajuan" memiliki pelafalan yang sama dengan sebuah karakter Cina, yaitu "Gao."

Menjelang jam 12 malam, setiap keluarga akan menyalakan petasan. Ini menandakan kebisingan yang dipercaya telah mengusir Nian Shou di masa lalu. Di hari pertama Tahun Baru Imlek, sebagian orang Tionghoa mengenakan baju baru dan mengucapkan selamat kepada orang yang lebih tua. Anak-anak biasa mendapat angpao atau amplop berisi uang dari anggota keluarga yang sudah bekerja. Sementara di hari kedua dan ketiga, mereka saling mengunjungi teman dan kerabat dekat.

Selama masa perayaan Tahun Baru Imlek, pada umumnya beberapa ruas jalan di area perdagangan penuh sesak dengan keluarga Tionghoa yang sibuk berbelanja. Mereka juga biasa menggelar berbagai acara hiburan seperti pertunjukkan Barongsai atau Naga, pasar bunga, serta pameran di area kelenteng.

Setelah hari ke-15 bulan pertama dalam kalender lunar atau kalender Cina, warga mengadakan Festival Lentera, yang menandakan berakhirnya perayaan Tahun Baru Imlek.

Imlek juga bisa diartikan sebagai perayaan menyambut musim semi, sekaligus penanda berakhirnya musim dingin. Perayaan ini berkaitan dengan pesta para petani yang mengucap syukur atas limpahan kemakmuran. Acara ini meliputi sembahyang dan perayaan Cap Go Meh.

Pada 1911, presiden pertama Cina Sun Yat Sen mengubah perayaan Imlek menjadi festival musim semi. Bahkan, festival tersebut ditetapkan sebagai hari besar nasional yang dirayakan setiap tahun. Di Indonesia, masyarakat keturunan Tionghoa mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada 2000 di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid.

Setelah itu, Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001, yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif alias hanya berlaku bagi yang merayakan. Pada 12 Februari 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. (dari berbagai sumber)


POPULER

Berita Terkini Selengkapnya