Usai Dijatuhi Sanksi, Kapal Korea Utara Hilang secara Misterius

Pada 10 Oktober 2017, sebuah kapal kargo Korea Utara sepanjang 140 meter bernama Hao Fan 6 dilarang masuk ke pelabuhan di seluruh dunia.

oleh Citra Dewi diperbarui 08 Des 2017, 13:02 WIB
Ilustrasi kapal kargo (iStock)

Liputan6.com, Pyongyang - Pada 10 Oktober 2017, sebuah kapal kargo Korea Utara sepanjang 140 meter bernama Hao Fan 6 dilarang masuk ke pelabuhan di seluruh dunia. PBB menetapkan langkah tersebut karena Korut telah melanggar sanksi.

Menurut informasi pelacakan MarineTraffic, saat pengumuman tersebut, Hao Fan 6 sedang berada di selatan Korea Selatan. Kala itu, transpondernya -- alat penerima dan pengirim sinyal -- masih nyala hingga pukul 23.15 dalam Coordinated Universal Time.

Tak lama kemudian, Hao Fan 6 menghilang.

Dikutip dari CNN, Jumat (8/12/2017), Hao Fan 6 adalah salah satu dari empat kapal Korea Utara yang mendapat larangan untuk merapat di seluruh pelabuhan dunia oleh PBB.

Perjalanan Hao Fan 6 dalam beberapa minggu sebelum PBB mengumumkan pelarangannya, memperlihatkan bahwa kapal yang dapat mengangkut 8.343 ton kargo itu melakukan perjalanan di darat melintasi sejumlah wilayah di Korea Selatan.

Kapal yang terlihat melintasi daratan itu bukanlah kesalahan, melainkan sebuah petunjuk.

Sebagian besar kapal modern dilacak menggunakan transpoder Automatic Identification System (AIS). International Maritime Organization menetapkan bahwa kapal-kapal besar setidaknya harus memiliki transponder.

Dengan mematikan alat tersebut, kapal bisa bersembunyi dan tak terlacak. Ketika dihidupkan kembali, data pelacakan akan menunjukkan adanya lompatan besar yang tak biasa.

"Hanya ada sedikit hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kapten kapal mematikannya," ujar seorang rekan peneliti senior yang mengkhusukan diri dalam program dan sanksi senjata Korea Utara di Middlebury Institute of International Studies, Andrea Berger.

Setelah menghilang pada 10 Oktober, Hao Fan 6 tak menyalakan lagi transpondernya. Hingga kini, keberadaan kapal Korea Utara itu belum diketahui.

Berger mengatakan, hal tersebut umum terjadi pada kapal-kapal Korea Utara yang terlibat dalam kegiatan ilegal. Mereka akan mematikan transpondernya selama berlayar.

Para ahli mengatakan, tranponder di kapal biasanya dimatikan jika mereka berada dalam keadaan terancam, seringkali karena pembajakan.

 


Sanksi terhadap Korea Utara

PBB baru-baru ini mengeluarkan resolusi yang melarang Korea Utara untuk mengekspor barang-barang seperti batu bara dan bijih logam.

Barang-barang tersebut merupakan pendapatan terbesar bagi Pyongnyang, salah satunya dialokasikan untuk pengembangan program rudal dan nuklir.

Setelah Korea Utara kembali meluncurkan rudal balistiknya pada akhir November, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson mengatakan bahwa masyarakat internasional perlu mengambil "tindakan tambahan" untuk Korut.

Salah satu hal yang disebut Tillerson adalah menunda lalu lintas maritim yang mengangkut barang ke dan dari Korea Utara.

"Pengiriman (menggunakan kapal) adalah daerah yang paling dapat menimbulkan masalah yang saat ini ditekan oleh sanksi," ujar mantan anggota Panel PBB, George Lopez, yang saat mengajar di University of Notre Dame.

"Begitu Anda berada dalam situasi seperti sekarang, ketika hampir tak ada ekspor yang diizinkan, maka Anda mendapat kesempatan untuk benar-benar mencampuri hampir semua hal," imbuh dia.

Sanksi tersebut sejalan dengan rencana Presiden AS Donald Trump untuk membatalkan demonstrasi nuklir Korea Utara dengan menggabungkan koalisi global yang bertujuan untuk memotong arus kas Korea Utara.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya