Liputan6.com, Malang - Dinas Kesehatan Kota Malang, Jawa Timur, menyebut sekolah menjadi kawasan yang paling rawan penyebaran virus difteri. Siswa mulai tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah yang belum imunisasi rentan terjangkit penyakit ini.
Kepala Dinkes Kota Malang, Asih Tri Rachmi, mengatakan, sepanjang Januari–Oktober 2017, tercatat ada 15 kasus difteri dengan paling banyak ditemukan di sekolah, mulai SD hingga SMA.
"Kalau yang positif segera diobati. Berdasarkan temuan kasus itu, sekolah paling rentan karena kontak lewat udara dan berkumpul," kata Asih di Malang, Jumat (8/12/2017).
Baca Juga
Advertisement
Meski demikian, Dinkes tak menyiapkan program khusus seperti imunisasi massal di sekolah untuk pencegahan penyebaran penyakit difteri. Sebab, begitu ada temuan kasus di sekolah segera dicek kesehatan secara menyeluruh, baik ke siswa dan guru sampai orangtua siswa.
"Sosialisasi bahaya difteri juga kami informasikan, termasuk pentingnya imunisasi terhadap anak," ucap Asih.
Dinkes berharap seluruh orangtua memahami pentingnya dan mau membawa anaknya ke puskesmas untuk imunisasi difteri. Asih menyebut tidak memberikan imunisasi pada anak merupakan pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapatkan kesehatan.
"Hak anak harus terpenuhi mulai dia lahir. Salah satunya adalah perlindungan dari penyakit berbahaya yang dapat dicegah dengan imunisasi," ujar Asih.
Berdasarkan data Dinkes Kota Malang, kasus difteri pada 2009, ada 39 kasus dengan seorang penderita meninggal dunia. Pada 2010 ada 65 kasus, 2011 ada 42 kasus, 2012 dan 2013 ditemukan 32 kasus, 2014 ada 22 kasus.
Pada 2015, ada 17 kasus dengan seorang meninggal dunia. Kasus difteri naik di 2016 dengan 31 kasus dan dua orang meninggal dunia.
Imunisasi Serentak
Kementerian Kesehatan melalui laman resminya menyiapkan outbreak response immunization (ORI) atau imunisasi serentak di daerah yang terdampak. Imunisasi ulang difteri akan dilakukan di tiga provinsi, yakni Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat pada Senin, 11 Desember 2017.
Imunisasi untuk mencegah penyebaran kasus difteri akan diberikan secara gratis. Pelaksanaannya bisa di sekolah, posyandu, puskesmas, dan faskes lainnya. Kemenkes mencatat hingga akhir November 2017 ada kasus difteri di 95 kabupaten/kota pada 20 provinsi dengan 11 provinsi di antaranya melaporkan kejadian luar biasa (KLB) difteri.
Difteri disebabkan bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini menyerang selaput lendir di hidung dan tenggorokan. Gejalanya ditandai dengan demam yang tak begitu tinggi (38 derajat Celsius), munculnya pseudomembran atau selaput tenggorokan berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan.
Gejala ini juga ditandai dengan rasa sakit ketika menelan, terkadang disertai pembesaran kelenjar getah bening di leher dan jaringan lunak leher yang disebut bullneck. Ada kalanya gejala difteri juga disertai sesak napas dan suara mengorok.
Difteri mudah sekali menular melalui percikan air liur (droplet) dari bersin atau batuk. Umumnya difteri menyerang individu yang tak memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut, terutama anak-anak. Namun, penyakit ini sebetulnya tak pandang usia dan tidak tergantung musim.
Jika gejala difteri tidak segera ditangani atau petugas medis keliru mendiagnosis, maka bisa mengakibatkan kematian pada penderita. Infeksi difteri yang sudah parah bisa merusak sistem saraf pusat, jantung, dan ginjal. Penyakit ini bisa dicegah dengan imunisasi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement