Liputan6.com, Washington, DC - Pertengahan pekan ini, Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Ia juga berencana akan memindahkan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Al Quds Al Sharif (bahasa Arab untuk Yerusalem).
Sangat kontroversial memang sikap yang diambil olehnya. Mengingat, belum pernah ada orang nomor satu Negeri Paman Sam yang pernah melakukan pengakuan semacam itu, terutama sejak 1995 ketika AS menetapkan kebijakan tersebut.
Namun, Trump memiliki argumentasi tersendiri, bahwa pengakuan itu, tak lain dan tak bukan adalah sebuah "kenyataan diplomatik" atas status pemerintahan Israel.
"Pengakuan ini, tak lain dan tak bukan didasari sebuah kenyataan dan sebuah langkah yang benar untuk dilakukan," kata Trump pada Rabu lalu.
Baca Juga
Advertisement
Melengkapi penjelasan tersebut, Duta Besar AS untuk RI, Joseph Donovan pun berkomentar. "Presiden (Trump) merasa, adalah fakta bahwa banyak lembaga pemerintahan besar Israel berlokasi di Yerusalem," paparnya usai bertemu Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi Rabu kemarin.
Akan tetapi, menurut sejumlah laporan, langkah yang diambil Trump sebenarnya tidak didasari oleh alasan diplomatik.
Keputusan itu berlandaskan pada motif ideologi dan ekonomi. Demikian seperti dikutip News.com.au, Jumat (8/12/2017).
Media ternama asal Amerika Serikat, Time mengungkap, 10 hari sebelum Donald Trump disumpah sebagai presiden, ia dikabarkan sempat bertemu Sheldon Adelson -- orang tajir kelas kakap, pemilik bisnis kasino sekaligus penyokong dana utama untuk Partai Republik dan kelompok pro Israel.
Time melanjutkan, usai Trump bertemu dengan Adelson, bos kasino itu kemudian menelepon temannya Morton A Klein. Ia mengatakan bahwa sang Presiden Terpilih menjadikan pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem sebagai sebuah prioritas.
Klein, simpatisan Israel dan Presiden Zionist Organization of America itu, dilaporkan sangat gembira mendengar kabar tersebut.
Dari laporan tersebut, kini muncul dugaan bahwa sikap yang diambil Presiden Trump terkait Yerusalem pada pekan ini, tak lepas dari pengaruh Adelson dan Klein.
Namun, mengapa kedua orang itu diduga memiliki pengaruh terhadap langkah Trump?
Donor Utama Raksasa
Sheldon Adelson, orang tajir kelas kakap. Ia merupakan penyumbang dana utama bagi Partai Republik -- yang menyokong Presiden Donald Trump -- dan kelompok pro Israel.
Ia juga dilaporkan sebagai salah satu pendonor dana kampanye Donald Trump kala mengikuti Pilpres AS 2016 lalu.
Jaringan politik Adelson dikabarkan juga cukup signifikan. Bahkan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Wakil Presiden AS Mike Pence -- yang diketahui sebagai pendukung pro Israel -- dilaporkan menjadi sejumlah figur pejabat yang masuk dalam jaringan politik Adelson.
Pengaruh politik semacam itulah yang membuat Adelson mampu memengaruhi Trump untuk memprioritaskan agenda seputar Israel, salah satunya pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Negeri Bintang David itu.
Trump, saat masih berstatus sebagai Capres AS dan sebelum mulai menjalin hubungan ekstensif dengan Adelson, mengisyaratkan sikap yang netral dan terlalu memperhatinkan isu Israel.
Ketika ditanya apakah Yerusalem secara utuh merupakan ibu kota Israel, Trump menjawab, "Saya harus bertemu dulu dengan Bibi (Benjamin Netanyahu) terlebih dahulu."
Namun, ketika persaingan Pilpres AS 2016 semakin ketat dan hubungan dengan Adelson semakin dekat, Trump mulai garang mendukung agenda kelompok pro Israel.
Adelson, selama kurun waktu tersebut, dikabarkan intens menjalin sambungan telepon dengan Trump. Dalam sambungan itu, sang bos kasino intens mendorong isu pro Israel kepada sang capres AS.
Mengomentari paparan dugaan di atas seputar Trump dan Yerusalem, analis Timur Tengah, Zuhairi Misrawi mengatakan, "Ini masalah ideologi, di mana Donald Trump berusaha menarik hati konglomerat pro Israel demi kepentingan ekonomi," paparnya lewat sambungan telepon dengan Liputan6.com, Rabu 6 Desember 2017.
Agenda Politik
Mengutip News.com.au, berbagai laporan media Amerika Serikat menyebut bahwa Donald Trump -- pada dasarnya -- adalah figur yang tak begitu memprioritas isu pro Israel.
Namun, akibat sejumlah peristiwa krusial yang melemahkan posisinya di mata simpatisan Partai Republik (seperti skandal Rusia), membuatnya sadar bahwa satu-satunya cara untuk memenangkan hati para pendukung GOP adalah memprioritaskan isu seputar pro Israel.
Apalagi, semakin dekatnya Midterm Election 2018 (Pemilu Paruh Waktu 2018) semakin memperkuat Trump untuk memprioritaskan hal tersebut. Itu karena, Trump khawatir jika simpatisan GOP berkurang, Partai Republik akan kehilangan kursi di Senat dan Kongres pada Pemilu Paruh Waktu 2018.
Seorang analis asal AS pun mengamini dugaan tersebut.
"Saya yakin apa yang dilakukan oleh Trump didorong oleh keinginan pribadinya untuk membuat presiden sebelumnya terlihat buruk dibandingkan dirinya," kata Larry Sabato dari University of Virginia.
Zuhairi Misrawi, cendekiawan Timur Tengah asal Indonesia pun sependapat dengan komentar tersebut. Ia mengatakan, "Ada ambisi pribadi dari Donald Trump (terkait pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan bukan untuk kepentingan damai."
Advertisement