Liputan6.com, Jakarta - China masih menjadi salah satu tujuan ekspor produk alumina asal Indonesia. Alumina merupakan salah satu bahan baku yang digunakan dalam proses produksi logam aluminium.
Direktur PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW AR), salah satu produsen alumina terbesar di Indonesia, Stevi Thomas mengatakan, di tengah kelesuan ekonomi global, China memang masih menjadi pangsa pasar yang menjanjikan bagi produk alumina nasional.
Menurut dia, kurun waktu satu tahun terakhir, WHW AR telah melakukan ekspor 1,1 juta ton alumina ke sejumlah negara dan sebagian besar diekspor ke China. Ekspor ini melengkapi target yang ditentukan WHW AR yaitu 1 juta ton per tahun
"Ekspor alumina milik WHW AR masih ke negara China, dan berharap dapat tersebar hingga ke seluruh dunia," ujar dia di Jakarta, Sabtu (9/12/2017).
Baca Juga
Advertisement
Stevi menyatakan, dalam pengembangan industri alumina, produsen di dalam negeri memang kerap dihadapkan pada sejumlah tantangan. Salah satunya yaitu soal isu lingkungan dan pengolahan limbah dalam proses produksi.
Namun, Stevi memastikan, dalam menjalankan produksinya, perusahaan yang memiliki fasilitas produksi di Katapang, Kalimantan Barat ini tetap bertanggung jawab terhadap kegiatan lingkungan yang ada di sekitar pabrik serta di masyarakat. WHW sendiri telah menyediakan gudang TPS Limbah B3 untuk menampung setiap limbah hasil produksi.
"Kami juga melakukan pengukuran kualitas udara, melakukan pemantauan flora dan fauna, serta mengambil sampel air untuk diteliti," kata Stevi.
Sementara itu, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Lingkungan Hidup Kabupaten Ketapang Sukirno mengungkapkan, bagi sebuah perusahaan, masalah lingkungan hidup menjadi hal utama sebagai syarat untuk mengekspor barang produksinya. Logikanya, jika kegiatan lingkungan hidupnya tidak bermasalah maka perusahaan bisa melakukan ekspor.
"Kalau WHW AR bisa melakukan ekspor artinya urusan lingkungannya tidak ada masalah. Karena ada indikatornya yang apabila tidak terpenuhi bisa membuat ekspornya disetop," ungkap dia.
Sukirno juga mengatakan, walau WHW AR sempat mengalami kendala ketika ingin mengajukan ekspor yaitu pada masalah izin limbah dalam kegiatan produksi. Namun, hal tersebut bisa langsung diselesaikan setelah dinas lingkungan hidup melakukan verifikasi.
Selain itu, lanjut dia, keberadaan WHW AR secara umum memberikan dampak positif bagi masyarakat di Kalimantan Barat. Karena dengan melakukan ekspor, artinya sudah ada output yang diberikan untuk masyarakat dan lingkungan sekitar.
"Kemarin terkendala satu itu, tapi kita verifikasi, kita cek dan kita berikan, sehingga mereka bisa melakukan ekspor. Hanya satu itu saja kendalanya, tapi sudah kita selesaikan karena masalahnya juga tidak terlalu serius dan sebelumnya juga mereka sudah melakukan ekspor," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Rayu Eropa Permudah Ekspor Teh, RI Kirim Delegasi
Sebelumnya, Indonesia melaksanakan misi advokasi bertajuk Indonesia Tea Trade Mission (ITTM) ke Eropa. Delegasi ini akan mengunjungi Hamburg, London, dan Brussel dengan membawa pesan meminimalisasi hambatan ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa. Misi advokasi ini berlangsung pada 3-9 Desember 2017.
“Misi advokasi teh ini diharapkan dapat meminimalisasi hambatan ekspor teh Indonesia ke Uni Eropa, sehingga ekspor produk teh Indonesia di kawasan ini kembali berjaya,” kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan dalam keterangannya, Minggu (3/12/2017).
Delegasi Indonesia memiliki beberapa agenda selama misi advokasi, salah satunya adalah melaksanakan konsultasi teknis dengan pemangku kepentingan teh Uni Eropa yaitu Tea & Herbal Infusion Europe (THIE).
Delegasi juga diagendakan menjajaki kerja sama penelitian sampel teh dengan laboratorium Eurofins Scientific di Hamburg, Jerman.
Selain itu, akan dilaksanakan diskusi akses pasar dan preferensi pasar dengan pembeli/pemangku kepentingan teh di London, Inggris. Delegasi juga akan berkunjung dan berkonsultasi ke Directorate General for Health and Food Safety (DGSANTE) Komisi Eropa di Brussel, Belgia.
Dalam kunjungan kerja ini, delegasi Indonesia akan mempresentasikan bukti saintifik yang merupakan hasil studi ilmiah Pusat Pengujian Mutu Barang Kementerian Perdagangan bersama peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Hasil studi menunjukkan bahwa ambang batas residu anthraquinone (AQ) yang dapat ditoleransi manusia adalah 0,2 mg/kg dengan mempertimbangkan analisis risiko, lebih longgar dari yang ditetapkan Komisi Eropa.
“Pemerintah Indonesia telah berhasil menyelesaikan riset ilmiah yang membuktikan bahwa ambang batas residu AQ daun teh kering sebesar 0,02 mg/kg dalam Peraturan Komisi Eropa Nomor 1146/2014 terlaluketat,” ungkap Oke.
Selain kunjungan, Delegasi Indonesia juga akan melakukan networking dan tukar pandangan dalam bentukfocus group discussion dengan International Tea Committee, pengemas teh, pedagang ritel teh, dan pengelola toko teh premium (tea specialty) di London.
Menurut Oke, agenda ini adalah upaya meningkatkan pangsa pasar produk teh Indonesia dan menjadi kesempatan untuk menjajaki selera konsumen teh di Eropa.
Delegasi Indonesia dipimpin Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati. Anggota delegasia, yakni Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu Kemendag Chandrini Mestika Dewi, para peneliti dariITB, serta Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung.
Pemangku kepentingan teh Indonesia yang ikut sertaadalah PT Perkebunan Nusantara VIII, PT KPB Chakra, dan PT Grice Konsultama. Perwakilan perdagangan Indonesia di luar negeri yang ikut dalam misi advokasi ini adalah Atase Perdagangan dan Atase Pertanian Brussel, Atase Perdagangan London, dan Kepala ITPC Hamburg.
Indonesia masuk dalam 10 negara produsen teh terbesar di dunia. Di Indonesia, teh merupakan pendukung ekonomi dan salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Saat ini teh diproduksi oleh badan usaha milik negara, perusahaan swasta, dan petani kecil. Sekitar 44,4 persen dari luas area perkebunan teh di Indonesia adalah perkebunan rakyat.
Setidaknya, 500 ribu orang bergantung secara langsung maupun tidak langsung pada sektor ini.
Berdasarkan data International Tea Committee, konsumsi teh secara global di tahun 2010 melonjak 60 persen dibanding tahun 1993.
Pertumbuhan signifikan komoditas ini diprediksi akan terus berlangsung karena masyarakat dunia semakin menyadari khasiat teh untuk kesehatan.
Advertisement