Cegah Bahasa Betawi Punah, Praktisi: Buat Balai Bahasa Betawi

Bahasa Betawi perlu perhatian khusus dan didokumentasikan jika orang Betawi tak ingin bahasanya musnah. Caranya, buat Balai Bahasa Betawi.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 10 Des 2017, 09:21 WIB
Diskusi Bahasa Betawi di Bentara Budaya Jakarta (8/12/207) dengan pembicara Prof Muhadjir dan Ivan Lanin

Liputan6.com, Jakarta - Bahasa Betawi perlu perhatian khusus dan didokumentasikan jika orang Betawi tak ingin bahasanya musnah. Hal itu terungkap dalam sebuah diskusi bertajuk "Abdul Chaer: Pendekar Bahasa dan Budaya Betawi" yang berlangsung pada Jumat, 8 Desember 2017 di Bentara Budaya Jakarta.

Bahkan, praktisi bahasa Indonesia yang juga seorang Wikipediawan, Ivan Lanin, secara tegas menyatakan perlu ada Balai Bahasa Betawi untuk mengurusi bahasa Betawi. "Tiap provinsi punya balai bahasa, misalnya Balai Bahasa Jawa Barat mengurusi bahasa Sunda, atau Balai Bahasa Jawa Timur. Tapi kenapa di Jakarta tidak ada?" ujarnya.

Cara lain untuk mencegah kepunahan bahasa Betawi, menurut Ivan, adalah dengan memakai bahasa Betawi secara terus-menerus. Lebih lanjut, Ivan bahkan mempertanyakan sudah sejauh mana posisi bahasa Betawi. Apakah dia dianggap sebuah bahasa sebagai perangkat kebudayaan yang utuh, atau hanya sebuah dialek, yakni bahasa Melayu dialek Jakarta?

Ivan menganggap bahasa Betawi masih dalam kondisi stagnan karena belum mampu menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Bahkan, ia juga mengkritisi kosakata bahasa Betawi, apakah tumbuh ataukah malah berkurang akibat pengguna bahasa Betawi semakin sedikit dan tergusur ke pinggiran wilayah DKI Jakarta.

Karena itulah, Ivan menyarankan perlunya dibuat tesaurus bahasa Betawi agar pencarian kosakata dan variasi makna sebuah kata di Betawi dapat lebih mudah ditemukan pengguna bahasa Betawi.

Untuk mengetahui secara jelas jumlah pengguna bahasa Betawi, Guru Besar Emeritus Universitas Indonesia, Prof Muhadjir, menekankan perlunya sensus bahasa Betawi.

"Nanti ditanya dia sehari-hari menggunakan bahasa apa. Misal, bahasa Indonesia, lalu bahasa keduanya apa. Dari situ akan ketahuan sebenarnya seberapa banyak pengguna bahasa Betawi," ucap Muhadjir, yang juga penulis buku Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya.

Muhadjir menekankan, penelitian mengenai bahasa Betawi masih sangat sedikit. Selama ini, banyak pihak yang beranggapan bahasa Betawi hanya untuk percakapan. Namun, dalam penelitiannya, bahasa Betawi ternyata bukan hanya bahasa lisan saja.

"Bahasa Betawi digunakan sebagai pengantar dalam wayang Betawi di daerah pinggiran, yaitu di Tambun, Bekasi. Bahasa Betawi juga menjadi bahasa pengantar dalam sahibul hikayat, lenong, dan topeng. Bahasa Betawi juga menjadi bahasa dalam karya sastra klasik hikayat, seperti Hikayat Syeh Abdul Qodir Djaelani," ujarnya.

Menurut Muhadjir, Perpustakaan Nasional DKI Jakarta menyimpan sekitar 30-an naskah sewaan karya keluarga Pecenongan, yakni bersaudara Sapirin bin Usman, Ahmad Beramka, dan Muhamad Bakir. "Dan itu bahasanya belum ada yang meneliti," tuturnya.

Muhadjir juga mengatakan karya kesusasteraan Melayu yang ditulis oleh penulis Cina peranakan juga menggunakan bahasa Betawi, seperti misalnya cerita Nyi Saidah yang perah dimuat dalam sebuat surat kabar di Batavia.

Zen Hae, kurator acara yang juga bertindak sebagai moderator, mengatakan cerita yang ditulis oleh kalangan Cina Peranakan sudah dikumpulkan oleh Claudine Salmon, tetapi belum diteliti lebih lanjut. Selain kesusteraan Melayu-Tionghoa, peluang lain juga datang dari penulis-penulis angkatan 1945 dan sesudahnya yang menulis dalam bahasa Betawi, baik dalam deskripsi maupun percakapannya. Zen Hae menyebut sejumlah nama, seperti M. Balfas, SM Ardan, dan Firman Muntaco.

Karena itu, menurut Zen Hae, jika pun dianggap sebagai sebuah dialek, bahasa Betawi sebenarnya cukup lengkap. "Bahasa Betawi dipakai dalam prosesi adat istiadat, kesenian, karya sastra, ditulis di media massa, hingga bahasa pengantar siaran radio Betawi, yakni Bens Radio," ujarnya.

Karena bahasa akan diingat jika menunjukkan kehebatannya, Muhadjir menyarankan, "Aktiflah menulis dalam bahasa Betawi."

Sebab, kata dia, "Hilangnya sebuah bahasa berarti hilangnya catatan kebudayaan."


Sekilas Abdul Chaer

Abdul Chaer, penulis 30 buku soal linguistik bahasa Indonesia dan budaya Betawi

Acara yang merupakan kerja sama antara Bentara Budaya, Masup Jakarta dan Betawi Kita ini bertujuan untuk merayakan kepakaran Abdul Chaer (80) yang sudah menulis lebih dari 30 judul buku dalam beragam tema, utamanya terkait linguistik dan budaya Betawi.

Karya monumental Abdul Chaer adalah Kamus Dialek Jakarta, yang pada mulanya diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, lalu dicetak ulang dengan penambahan oleh Masup Jakarta (2009).

Dalam perjalanan menyusun kamus ini, Abdul Chaer menyatakan dirinya keluar masuk kampung untuk mencatat kosakata yang dipakai masyarakat Betawi sehari-hari. Namun sekarang, Chaer mengakui banyak orang Betawi yang sudah tak mengetahui istilah dalam bahasanya sendiri. “Tidak tahu karena memang bendanya sudah tidak ada atau hilang akibat perubahan zaman,” ujarnya.

Abdul Chaer pensiun sebagai lektor kepala dalam mata kuliah Linguistik di Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP Jakarta). Sebagai dosen, ia telah menulis 30 buku tentang bahasa Indonesia dan linguistik. Kepeduliannya pada bahasa dan kebudayaan Betawi, telah membuahkan buku, di antaranya: Kamus Dealek Jakarta (1976), Ketawa-Ketiwi Betawi - Kumpulan Humor Betawi (2007), Kamus Ungkapan dan Peribahasa Betawi (2009), Cekakak-cekikik Jakarta ( 2011), Kebijakan dan Politik dalam Ketawaan (2012), Folklor Betawi (2013), Betawi Tempoe Doeloe (2015). Buku terbarunya adalah Tenabang Tempo Doeloe (2017).

Sejumlah penghargaan telah ia raih, seperti penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta(2002), Etnikom Award dari Persatuan Radio-Radio Swasta Sumatera Selatan, Banten, Jakarta dan Jawa Barat (2002) dan Anugerah Budaya sebagai budayawan dari Gubernur DKI Jakarta (2011).

Sebelumnya, Bentara Budaya Jakarta telah memberi penghargaan kepada tujuh orang pengabdi seni budaya, di antaranya Abdul Chaer untuk kategori penelaah sastra Betawi. Penghargaan tersebut diberikan bertepatan dengan milad ke-35 tahun Bentara Budaya Jakarta (26/9/2017).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya