Liputan6.com, Kepahiang - Para petani kopi di Provinsi Bengkulu mulai mengalihkan pola tanaman kopi tradisional yang selama ini dipertahankan kepada sistem stek. Kebun kopi yang didominasi tanaman tua itu mulai diremajakan dengan menggunakan sistem sambung atau stek.
Azhar Alamsyah (46), petani kopi Desa Batu Bandung, Kecamatan Muara Kemumu, Kabupaten Kepahiang mengatakan, peralihan sistem ini tetap mempertahankan pohon kopi tua atau indukan yang disambung dengan stek yang menghasilkan kopi jenis Vietnam Stek, Libericca, dan jenis kopi unggul lain.
"Indukannya tetap kopi Robusta tua yang dikombinasikan dengan stek unggul," ucap Azhar di Kepahiang, Minggu (10/12/2017).
Baca Juga
Advertisement
Pohon kopi tua indukan yang sudah mencapai tinggi lebih dari empat meter dipangkas dan menyisakan tunggul setinggi satu meter saja. Sambungan yang dilakukan pada akhir musim periode panen akan menghasilkan beberapa tunas yang akan berbunga dan menghasilkan buah kopi lebih besar, lebih banyak dan rasa yang lebih baik.
Kondisi alam yang berada di ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan laut (mdpl), lahan kebun bekas lelehan lahar gunung membuat tanah pertanian di wilayah ini sangat subur. Dengan demikian, para petani tidak perlu menggunakan pupuk. Mereka hanya melakukan penyemprotan terhadap tumbuhan pengganggu atau gulma ketika pohon kopi mulai berbunga sebelum menjadi buah.
"Kopi kami tidak mengenal pestisida, semuanya alamiah dari nenek moyang kami memang tidak pernah melakukan pemupukan," Azhar Alamsyah menambahkan.
Saksikan tayangan video pilihan berikut ini:
Hasil Kopi Stek Lebih Banyak
Ternyata, pola peremajaan kopi Robusta dengan pola stek mampu mendongkrak penghasilan petani kopi Bengkulu. Keuntungan pola tanam ini bahkan berlipat ganda dan tidak mengenal musim.
Jika selama ini mereka mempertahankan pohon tua dan liar hanya mampu menghasilkan biji kopi olahan setengah jadi sebanyak dua ton kopi untuk satu musim tanam setiap hektare. Dengan pola stek, para petani mampu memetik hasil biji kopi hingga empat ton setiap musim pada periode April hingga September untuk satu hektare kebun kopi.
Menurut Azhar, para petani kopi melakukan pengolahan awal atau dijemur hingga biji kopi setengah kering dilakukan di sekitar kebun. Mereka sangat tergantung sinar matahari ketika menjemur buah kopi sesaat setelah dipetik.
"Ada rest time untuk menghasilkan biji kopi kering dengan kualitas tinggi, jika menumpuk dan harus dibawa ke dusun, kualitasnya akan turun," Azhar menjelaskan.
Nasution (44) petani Desa Air Punggur mengatakan, keuntungan lain pola tanam stek kopi adalah, mereka tetap menghasilkan buah kopi disaat tidak dalam periode panen raya April hingga September. Tanaman kopi akan meghasilkan buah sela atau buah antara yang memang jumlahnya tidak sebanyak saat periode panen raya.
"Hasilnya dua kali lipat, kami juga tetap dapat buah kopi di antara musim panen raya," ujar Nasution.
Advertisement
Siapkan Logistik Panen
Para petani kopi di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, saat ini bersiap untuk memasuki periode panen raya. Diperkirakan memasuki bulan April 2018, puluhan ribu ton kopi akan dihasilkan di hampir semua desa yang berada di punggung jajaran pegunungan bagian barat Bukit Barisan tersebut.
Likwan, petani pengumpul kopi di Desa Sengkuang mengatakan, saat ini mereka tengah menyapkan logistik untuk naik ke kebun. Berbagai kebutuhan makan minum, peralatan dan kebutuhan panen sedang dikumpulkan dan di distribusi ke pondok kebun sejak pertengahan Desember ini.
"Akhir Desember ini kami sudah bisa memetik buah tunas atau panen awal, puncaknya tetap di awal April," ujar Likwan.
Hasil panen kopi petani Bengkulu sangat bergantung kepada sistem tengkulak, untuk memenuhi kebutuhan logistik, mereka biasanya meminjam uang dan barang kepada para tengkulak dan membayarnya dengan kopi yang dibawa turun dari kebun. Harga yang dipatok para tengkulak juga terkadang merugikan petani. Sebab, mereka menggunakan harga dasar yang jauh lebih rendah.
"Harga kopi yang dipatok para toke itu tergantung harga dasar kopi di Lampung, karena kami berutang kepada mereka berapapun harga yang mereka sebutkan kami harus terima," ungkap Likwan.
Suwandi, petani kopi jenis premium atau specialty mengaku sudah bisa mandiri dengan pola pengolahan petik buah merah dan penjemuran menggunakan lantai jemur berdasarkan aturan Cofee Standard Asociation atau SCA. Selain hasil yang lebih baik, harga jual juga lebih tinggi. Tentu saja dia sudah tidak bergantung lagi kepada para tengkulak saat menyiapkan logistik panen.
"Pemerintah harus terlibat mengatasi kondisi ini, pangkas para tengkulak itu dan bekali petani dengan ilmu pengolahan modern," Suwandi memungkasi.