Ketua DPP: Surat Setya Novanto Lecehkan Golkar

Golkar punya mekanisme yang seharusnya dipahami seluruh kader partai terkait penunjukkan sosok pengganti. Setya Novanto menabrak aturan.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 10 Des 2017, 19:28 WIB
Tersangka dugaan korupsi pengadaan e-KTP, Setya Novanto (tengah) meninggalkan gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/12). KPK menyatakan, berkas perkara SN lengkap dan segera dilakukan pelimpahan dari penyidikan ke penuntutan. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPP Partai Golkar, Happy Bone Zulkarnain menilai, surat Setya Novanto soal posisi Ketua DPR cacat. Setya Novanto dikabarkan megajukan pengunduran diri sebagai Ketua DPR.

Ia lantas menunjuk anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar, Aziz Syamsuddin, untuk menggantikan posisinya.

"Enggak bisa kemudian dilempar begitu aja ditunjuk-tunjuk lalu kemudian dia menjadi Ketua DPR. Enggak bisa. Itu melecehkan," tutur Happy Bone saat berbincang dengan Liputan6.com di bilangan Kasablanka, Jakarta Selatan, Minggu (10/12/2017).

Menurut Happy Bone, ada mekanisme yang seharusnya dipahami seluruh kader partai terkait penunjukkan sosok pengganti.

Apalagi menjadi janggal jika Idrus Marham yang ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketum Golkar malah ikut menandatangani surat tersebut.

"Kalau Plt mau mengambil suatu keputusan, dia harus membahas dulu, merapatkan dengan ketua-ketua bidang yang ada, ketua korbid yang ada. Jadi nggak bisa dia mengambil keputusan seperti itu," jelas dia.

Keberadaan surat Setya Novanto tersebut memang masih tanda tanya. Namun, beberapa tokoh di internal Golkar menyatakan surat itu sudah diteken. Jika hal itu benar, Happy Bone menilai itu mencederai konstitusi dan DPP.

"Jangan jauh-jauh deh, waktu Setya Novanto menjadi Ketua DPR kan dibahas di DPD DPP. Waktu pemilihan Akom menjadi Ketua DPR dibahas juga di DPP," tandas Happy.


Tak Wajar

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang juga merupakan salah satu Ketua DPP Partai Golkar mengatakan, seharusnya penunjukan penggantian Ketua DPR dilakukan setelah musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) partai selesai digelar.

"Tentu wajarnya itu sesudah Munas Luar Biasa. Karena kalau itu masuk di agenda yang tiba-tiba, ini kan tentu tidak sesuai dengan mekanisme yang bisa berlaku di DPR. Dan DPR kan sebuah lembaga tinggi negara tentu kita wajib menghormati DPR dan proses yang dilakukan parpol," tutur Airlangga di bilangan Kasablanka, Jakarta Selatan, Minggu (10/12/2017).

Menurut Airlangga, kalaupun benar DPR sudah menerima surat tersebut, harusnya disampaikan terlebih dahulu ke Golkar. Terlebih, pembahasan itu merupakan agenda besar yang hasilnya harus ditunjukkan kepada publik.

"Di DPR tetap ada mekanisme. Walaupun sudah menerima surat, harus disampaikan ke Badan Musyawarah (Bamus), dan Bamus itu perlu mengadakan rapat di mana diagendakan dalam rapat DPR," jelas Airlangga.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya