Liputan6.com, Oslo - Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini, International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), menganggap bahwa munculnya senjata nuklir akhir-akhir ini hanyalah luapan amarah implusif.
Artinya, pihak yang melibatkan diri di dalam serangan nuklir itu karena ia merasa perlu bertindak cepat menurut kata hati. Ini bisa jadi tindakan yang gegabah.
Advertisement
Kepala ICAN, Beatrice Fihn menegaskan, saling ancamnya praktik uji coba nuklir dari Amerika Serikat dan Korea Utara membuat dunia dihadapkan pada dua pilihan, yakni berakhirnya nuklir itu sendiri atau berakhirnya peradaban manusia.
"Akankah ini menjadi akhir dari senjata nuklir atau akhir dari kita?" kata Fihn usai menerima Nobel Perdamaian atas nama kelompok anti-nuklir di Oslo, Norwegia, melansir laman Daily Mail, Senin (11/12/2017).
Ketegangan di Semenanjung Korea terus memuncak akhir-akhir ini, lantaran Korea Utara terus-menerus menggenjot uji rudal dan nuklirnya.
"Satu-satunya tindakan rasional adalah menghindar dari kehidupan yang menghancurkan kita bersama, di mana kehancuran itu datang dari luapan amarah yang implusif," ucap wanita asal Göteborg, Swedia itu.
ICAN, sebuah koalisi ratusan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di seluruh dunia, berupaya untuk merealisasikan perjanjian yang melarang senjata nuklir. Rencana ini telah diadopsi pada bulan Juli oleh 122 negara.
Namun, isi perjanjian tersebut masih lemah karena tidak adanya "sembilan negara nuklir", di antara para penanda tangan, seperti AS, Rusia, Inggris, Prancis, China, India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel.
Sebagaimana diketahui, puluhan negara menyetujui perjanjian pelarangan penggunaan senjata nuklir dalam sidang umum PBB, Rabu (20/9/2017) di New York. Perjanjian ini akan mulai berlaku 90 hari setelah 50 negara mengesahkannya.
Namun, beberapa negara--termasuk AS, Inggris, dan Prancis--memboikot perjanjian tersebut. Kemungkinan terbesar alasannya karena ketiga negara ini termasuk dalam sembilan negara yang diyakini memiliki senjata nuklir.
Perjanjian tersebut diterapkan pada bulan Juli oleh dua pertiga dari 193 negara anggota PBB setelah melakukan perundingan selama berbulan-bulan.
Namun, penerapan itu sama sekali tidak diikuti oleh AS, Inggris, Prancis, dan beberapa negara lainnya.
Pendukung senjata nuklir berpendapat, para pemboikot menjadi penghalang untuk memulai konflik besar. Mereka akan menghancurkan negara-negara yang terlibat dalam perjanjian.
"Mereka (nuklir) adalah senapan orang gila yang diluncurkan secara permanen ke rumah kita. Senjata ini seharusnya membuat kita tetap bebas, tapi mereka mencegahnya," tegas Fihn.
Ketua Komite Nobel Norwegia, Berit Reiss-Andersen menyebut, pesan ICAN mewakili jutaan orang yang merasa bahwa ancaman perang nuklir memang membahayakan kehidupan dunia, setidaknya karena situasi di Korea Utara.
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump kepergok saling ejek dalam beberapa bulan terakhir. Trump memanggil Kim Jong-un dengan sebutan "Little Rocket Man" dan "anak anjing yang sakit".
"Menghindari kepanikan atau kecerobohan, tidak berkomentar sembarangan atau menahan sikap egois, bisa menuntun kita untuk tidak menghancurkan seisi kota," ucap Fihn.
Berkaca dari Peristiwa Hiroshima dan Nagasaki
Selain Beatrice Fihn, beberapa korban selamat dari pengeboman nuklir Hiroshima dan Nagasaki juga menghadiri upacara penerimaan Nobel di Balai Kota Oslo.
Salah satunya, Setsuko Thurlow. Dia menerima Nobel atas nama ICAN bersama Fihn. Thurlow mengatakan kepada AFP bahwa dia mengingat jelas kejadian mengerikan dari peristiwa Hiroshima, 6 Agustus 1945.
Waktu itu, ia baru berusia 13 tahun. Di umurnya yang masih remaja, Thurlow dihadapkan dengan kenyataan pahit negaranya. Lebih dari 220 ribu mayat tergeletak di tanah.
Ada yang sekarat dan meminta pertolongan. Mereka yang selamat tampak seperti "arak-arakan zombie".
"Rambutnya berdiri dan kulitnya terbakar. Daging mereka bergelantungan di tulang-tulang. Ada yang membawa bola mata mereka. Rasanya seperti neraka di Bumi," kenang Thurlow yang kini berusia 85 tahun.
Meski jumlah senjata nuklir telah menurun sejak berakhirnya Perang Dingin, masih ada sekitar 15 ribu bom atom di Bumi.
"Dengarkan kesaksian kami. Perhatikan dan ketahuilah bahwa tindakan Anda amat berisiko," ucap Thurlow dalam pidatonya, merujuk pada para pemimpin negara-negara bersenjatakan nuklir.
Dalam sebuah upacara terpisah di Stockholm, Minggu, Raja Swedia Carl XVI Gustaf menyerahkan Hadiah Nobel untuk karya sastra, fisika, kimia, kedokteran dan ekonomi.
Setiap hadiah terdiri dari diploma, medali emas dan cek senilai 9 juta kroner Swedia (£ 791.000).
Advertisement