Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menegaskan, pemerintah Indonesia bisa memungut bea masuk terhadap barang tak berwujud (intangible goods) dari luar negeri mulai Januari 2018.
Hal ini seiring dengan berakhirnya moratorium atau penghentian sementara pengenaan perpajakan terhadap intangible goods oleh Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) secara elektronik hingga akhir 2017.
"Begitu Januari (2018), itu boleh (dipungut bea masuk)," tegas Darmin saat ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (11/12/2017).
Baca Juga
Advertisement
Darmin bilang, sebetulnya Indonesia maupun negara maju tidak perlu melakukan lobi-lobi atau negosiasi dengan WTO untuk mengenakan bea masuk barang-barang tak berwujud, seperti software (perangkat lunak), buku elektronik (e-book), dan lainnya.
"Tidak perlu (lobi), itu akan berlaku sebagaimana berlaku (setelah moratorium berakhir)," tegas Darmin.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati sebelumnya pernah mengatakan, Kementerian Keuangan akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan untuk meninjau keputusan moratorium, khususnya terkait bea masuk.
"Kami sedang koordinasi antar menteri supaya keputusan moratorium ini bisa ditinjau dan untuk Indonesia bisa jalan (pengenaan bea masuk). Karena moratorium hanya berhubungan dengan bea masuk, sedangkan PPN dan yang lainnya masih bisa dipungut," jelas Sri.
Sementara Kasubdit Komunikasi dan Informasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Deni Surjantoro menambahkan, pemerintah harus bernegosiasi dengan WTO agar dapat menarik bea masuk dari luar negeri.
"Kalau lobi-lobi ke WTO dikabulkan, kami kenakan. Tapi kalau dibilang permanen, kami ikut aturan," ujar Deni.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bea Cukai Pangkas Waktu Urus Bebas Pajak Impor
Sebelumnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memangkas waktu pelayanan untuk mengurus permohonan fasilitas pembebasan fiskal atas impor barang operasi bagi para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang mengeruk minyak dan gas (migas) di Indonesia. Pemotongan waktu layanan ini separuhnya dari 42 hari menjadi 24 hari.
Hal ini ditunjukkan dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara Direktorat Jenderal Migas, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dan Pengelola Portal Indonesia National Single Window (PP INSW) di kantor pusat Ditjen Bea dan Cukai, Jakarta, Kamis 16 November 2017.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi mengungkapkan, sistem informasi antar Kementerian/Lembaga berjalan sendiri-sendiri dan belum terintegrasi, serta penginputan data yang berulang membuat proses permohonan pemberian fasilitas fiskal menjadi panjang.
Fasilitas fiskal ini adalah bebas bea masuk dan pajak dalam rangka impor bagi KKKS yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia.
"KKKS saat ini harus mengajukan permohonan kepada tiga K/L untuk membuat proses permohonan fasilitas fiskal ini, yaitu SKK Migas, Ditjen Migas dan DJBC. Total transaksi yang dibutuhkan enam kali dan butuh waktu 42 hari kerja sampai mendapatkan Surat Keputusan Masterlist," jelas Heru.
Kini, DJBC mengintegrasikan seluruh sistem informasi dengan K/L terkait. Dengan demikian, Heru bilang, hanya perlu melakukan sekali submit dalam mengajukan permohonan dengan menggunakan sistem single submission (ssm) melalui portal INSW. Mulai dari pengajuan Rencana Kebutuhan Barang Impor, Rencana Impor Barang, sampai dengan Surat Keputusan Fasilitas Pembebasan BM dan Pajak Dalam Rangka Impor.
"Jadi untuk kebijakan ini betul-betul paperless, tidak ada lagi hardcopy karena semuanya sudah otomatisasi secara penuh," tuturnya.
Advertisement