Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerbitkan dua kebijakan baru guna mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dua kebijakan baru tersebut yaitu dengan pajak rokok dan Dana Bagi Hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT).
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Boediarso Teguh Widodo mengatakan, penerimaan pajak rokok pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp 13 triliun.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, 50 persen dari penerimaan pajak rokok bisa dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dari penyakit yang timbul akibat rokok.
Namun demikian, lanjut dia, nantinya hanya 75 persen dari ketentuan UU tersebut akan digunakan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Artinya, jika 50 persen dari penerimaan pajak rokok sebesar Rp 6,5 triliun, maka hanya 75 persennya atau sekitar Rp 4,9 triliun saja yang akan dialokasikan untuk BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Baca Juga
Advertisement
"Untuk yang pajak rokok, saya sampaikan 75 persen maksimal dari 50 persen yang di-earmarked (diperuntukkan), yang digunakan untuk BPJS. Pajak rokok itu kan 75 persen dari 50 persen itu untuk JKN. Dari situ nanti kan pajak rokok satu tahun sekitar Rp 13 triliun. Jadi Rp 6,5 triliun-Rp 7 triliun setengahnya. 75 persen dari setengahnya tadi untuk JKN," ujar dia di Jeep Station Indonesia, Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/12/2017).
Sebagai payung hukum dari pemanfaatan pajak rokok ini akan tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) melalui Revisi PMK Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Ditargetkan aturan tersebut bisa terbit pada akhir tahun ini.
"Ini PMK lagi dibuat. Tentu paling berlakunya tahun depan, sekarang ini kan 2017 sudah di ujung. Untuk JKN kita akan eksekusi untuk 2018. Revisinya baru akan kita selesaikan," kata dia.
Sementara untuk DBH CHT, akan dialokasikan sebesar 50 persen dari penerimaan dari CHT untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Pada tahun ini, CHT diperkirakan akan mencapai Rp 2 triliun.
"CHT kan totalnya Rp 2 triliun. Dari total Rp 2 triliun kan 50 persen. Itu antara lain bisa digunakan untuk dukungan JKN. Tapi dari more or less Rp 1 triliun sebagian bisa untuk supply side penyediaan sarana prasarana kesehatan, penyediaan alat kesehatan, tapi juga bisa untuk iuran JKN," tandas dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Defisit Keuangan
Sebelumnya, BPJS Kesehatan menargetkan defisit neraca keuangan perusahaan bisa di bawah Rp 9 triliun hingga tutup tahun nantinya. Adapun salah satu penyebab defisitnya keuangan terkait banyaknya peserta yang menunggak iuran.
Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan, Kemal Imam Santoso mengungkapkan, awalnya diprediksi defisit neraca keuangan sampai akhir tahun sebesar Rp 9 triliun. Namun, manajemen memastikan mengupayakan agar bisa di bawah angka tersebut.
"Jadi kalau bicara menutup tahun ini, kita maunya bisa di bawah Rp 9 triliun, banyak upaya yang terus kita lakukan," kata Kemal di Wisma BNI, Jakarta, Rabu (22/11/2017).
Dia menjelaskan, defisit ini terjadi akibat iuran yang saat ini diberlakukan tidak sesuai dengan perhitungan aktuaris. Seperti diketahui, saat ini untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 23 ribu dan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) sebesar Rp 25.500.
Adapun upaya yang dilakukan manajamen untuk mengatasi hal ini, di antaranya memberikan pembinaan dan sosialisasi kepada para peserta untuk patuh iuran, bekerja sama dengan perbankan untuk mempermudah pendaftaran dan pembayaran iuran.
Dia mengatakan, salah satu penyebab defisitnya keuangan terkait banyaknya peserta yang menunggak iuran. "Yang menunggak iuran itu ada 10 juta peserta, angkanya segitu-segitu aja," terang dia.
Oleh karena itu, BPJS kesehatan menggandeng PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk untuk meluncurkan tabungan sehat yang dikhususkan bagi para peserta yang menunggak iuran.
Advertisement